Sunday, July 10, 2005

Usai Shalat Di Raudhah

Subuh belum sampai di Madinah. Menghadap mihrab Paduka Rasulullah, selesai tahajud di Raudhah, saya terkenang saat halaqah bersama di surau subulus salam. Di surau masa kecil itu, pada suatu sore yang beku dan basah, saya dan kawan-kawan berkumpul mengelilingi Pak Ero, ustadz kami di desa. Lepas ashar, menantikan maghrib tiba, dengan tekun kami menyimak Sirah Nabawiyah yang dirawikannya. Dalam suara berat, Pak Ero menguraikan dengan teliti kisah heroik perjuangan Baginda Nabi, dikala mengibarkan panji-panji Islam di segenap jazirah Arab. Suka-duka Baginda Nabi dihidupkannya lewat kata-kata. Waktu cerita memasuki episode memilukan, kami dibuat sedih mengenangkan getirnya penderitaan Baginda Nabi. Waktu cerita memasuki episode gemilang, kami dibuat bangga atas kemenangan yang diraih Baginda Nabi. Dan ketika Pak Ero menuturkan detik-detik kepergian lelaki Junjungan Alam tersebut, dada kamipun menjadi sesak. Mata ikut berkaca-kaca. Mengira-ngira perasaan yang hadir, ketika Izrail tengah menarik ruh suci Sang Nurul Mustafa.

Selesai tahajud di Raudhah, terbayang juga wajah Kang Rofik, wajah 'Mas Iin' Mustain, dua murabi saya semasa kuliah. Sambil memandangi mihrab, langit-langit masjid Nabawi, saya terkenang saat 'mengaji' dahulu : sorogan di beranda masjid Nurul Jamil, diskusi di ruang tamu asrama Indramayu.

***

Kang Rofik, adalah seorang ustadz yang sejak belia sudah didapuk memimpin pesantren besar : Pondok Pesantren Manba'ul Huda-Cijawura Girang, Bandung. Dari murid KH Aceng Zakaria (ulama Fiqh terkemuka Jawa Barat) yang memilih dikawinkan daripada kuliah di Kairo itu, saya sempat dihadiahi beberapa serial kuliah tauhid. Sumber utama kuliah sorogan itu adalah sebuah kitab salaf : Syarah Tsalatsatul Ushul. Risalah karya Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin yang berisi kajian Ma'rifatur Rabb (mengenal Tuhan), Ma'rifatud Din (mengenal agama Islam) dan Ma'rifatun Nabi (mengenal Nabi). Karena runtutnya keterangan dalam kitab tersebut, didukung oleh suasana masjid Nurul Jamil yang balkonnya sejuk, kuliah Kang Rofik bisa saya serap dengan baik.

Jalan mengenali Rabb manusia, menurut Syarah Tsalatsatul Ushul, adalah dengan menatap-merenungkan ayat-ayat kauniyah (alam,mahluk, keajaiban penciptaan), serta menyimak dengan khusyuk ayat-ayat syar'iyah-Nya (nilai-nilai keadilan, kemaslahatan, pencegahan kerusakan yang termaktub dalam firman Al-Qur'an). Berkenaan dengan Ma'rifatud Din, Syarah Tsalatsatul Ushul menentukan beberapa maqam : Islam, Iman, Ihsan. Islam adalah maqam paling dasar dan ihsan merupakan maqam yang tertinggi. Seseorang bisa dikatakan sudah menganut Islam, ketika ia telah mengucap dua kalimat syahadat, menegakkan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan berhaji ke Baitullah Al-Haram ketika mampu. Maqam ke-2 adalah Iman. Rukunnya adalah iman kepada Allah SWT, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari akhir, kepada qadar (takdir) yang baik ataupun buruk. Maqam ke-3 dan terakhir adalah Ihsan. Meski ditentukan sebagai maqam yang tertinggi, Ihsan ini rukunnya cukup satu saja. Yaitu : "Seseorang beribadah kepada Allah seakan-akan ia tengah melihat-Nya. Seandainya ia tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatnya."(H.R. Bukhari-Muslim). Dalil naqlinya sendiri adalah firman Allah SWT : "Sesungguhnya Allah bersama-sama orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan." (Q.S. An-Nahl : 128).

Panjang lebar Kang Rofik menerangkan soal ma'rifatur rabb dan ma'rifatuddin. Baru setelahnya ia menerangkan ihwal ma'rifatun nabi. Dalam Syarah Tsalatsatul Ushul, pengenalan terhadap diri Baginda Nabi meliputi pengetahuan nasab, pengetahuan sunnah, kehidupan kenabian dan mengetahui dengan apa beliau ditahbiskan sebagai nabi dan rasul, serta untuk apa beliau diutus kepada umat manusia. Mengenal nasab artinya mengetahui bahwa Baginda Nabi adalah manusia yang paling mulia nasabnya. Tahu bahwa beliau berasal dari keturunan Bani Hasyim, bersuku Quraisy dan berbangsa Arab. Termasuk pengetahuan nasab adalah mengetahui nama lengkapnya : Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim. Dari garis keturunan tersebut, diakui bahwa beliau termasuk keturunan Ismail a.s. putera pertama Ibrahim a.s. dari Siti Hajar. Setelah mengetahui nasab beliau, lalu dianjurkan untuk mengetahui apa-apa yang pernah disabdakan oleh Baginda Nabi (mengenali sunnahnya). Pengetahuan sunnah tersebut diperkuat lagi dengan pengetahuan tentang apa-apa yang beliau perbuat dalam lingkup dakwah beserta cara hidup keseharian (mengenali kehidupan kenabiannya). Dituliskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin dalam Syarah Tsalatsatul Ushul, bahwasanya Baginda Nabi SAW ditahbiskan sebagai nabi dengan turunnya firman Allah SWT : "Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari sesuatu yang bergantung ('alaq). Bacalah, dengan nama Rabb-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajar dengan perantaraan 'pena'. Dia mengajarkan kepada manusia sesuatu yang belum diketahuinya." (Q.S. Al-A'laq : 1-5). Sedangkan pentahbisan beliau sebagai rasul berlandaskan pada firman : "Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan. Agungkanlah Rabb-mu. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah perbuatan kotor (paganisme). Janganlah kamu memberi dengan tujuan memperoleh balasan yang lebih banyak. Bersabarlah untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu." (Q.S. Al-Muddatstsir : 1-7). Sebagai nabi dan rasul beliau diutus untuk menegakkan kalimat laa ilaaha illallaah, bahwasanya tiada yang patut disembah oleh manusia kecuali Allah SWT, Tuhan sekalian alam. Beliau diutus untuk mencegah manusia dari berbuat sesuatu yang dibenci Allah SWT, dan menyuruh manusia berbuat sesuatu yang bisa mengundang ridha-Nya. Pada hakikatnya, Baginda Nabi adalah rahmat bagi sekalian alam. Yang akan mengeluarkan manusia dari kegelapan dosa musyrik, kekufuran, kejahiliyahan. Terbebasnya manusia dari dosa-dosa besar tersebut membuat manusia berhak memperoleh maghfirah, keselamatan dari siksa neraka yang pedih dan kesempatan meninggali surga yang abadi.

***

Selain kuliah sorogan di beranda masjid Nurul Jamil, seringkali pula saya 'mengaji' ma'rifatun nabi di asrama Indramayu, tempat wong Karang Ampel bermukim di Bandung Utara. Rata-rata penghuni asrama yang letaknya persis di belakang outdoor equipment shop "Alpina" itu adalah kenalan baik. Maklum, beberapa diantaranya teman satu angkatan di universitas. Kebanyakan dari mereka pernah nyantri sebelum kuliah. Bahkan ada yang pernah mukim 10 tahun lebih di Buntet, pondok pesantren asuhan KH Fuad Hasyim (Mbah Hasyim), putra Al-Mukaram KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama.

Mustain, biasa saya panggil Mas Iin, adalah teman paling akrab yang saya dapuk sebagai guru, tempat ngalap elmu. Pengalamannya nyantri sejak kecil, membuat saya percaya untuk bertanya macam-macam hal berkenaan dengan syari'at, aqidah dan bidang spesialisasinya : tarikh Islam. Kang Rofik bahkan menganggap pengetahuan fiqh Mas Iin beberapa tingkat diatas dia. "Ustadz Rofik jelas lebih faqih dari saya. Sebab dia mengamalkan ilmunya dengan ngawuruk di Pesantren." ucap Mas Iin menimpali pujian Kang Rofik. Hal itu dicetuskannya ketika saya, Kang Rofik dan Mas Iin selesai Shalat Jum'at di Masjid Al-Amanah, Bukit Dago Utara, Bandung.

Dalam hemat Mas Iin, aqidah, syari'at dan tarikh perlu serentak dipelajari, agar seorang muslim mampu memahami korelasi antara sub-sub pokok yang terkandung dalam kajian Dinul Islam tersebut. Belajar aqidah dan syari'at tanpa ditunjang pengetahuan tarikh bisa menyebabkan taklid, ketidak-merdekaan dalam menganut Islam, serta salah pemahaman terhadap aspek ritual atau ibadah mahdhah dan ghair mahdhah tertentu. Misalnya, perkara menggerakkan telunjuk dikala tasyahud akhir dalam shalat. Tata cara yang dikuatkan oleh petunjuk hadits dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu itu, terbilang shahih bagi sebagian ulama. Mengingat kronologis atau sejarahnya, Ibnu Mas'ud datang ke surau memang untuk menyaksikan cara shalat Baginda Nabi. Dari takbiratul ihram sampai dengan salam, Ibnu Mas'ud memperhatikan cara shalat Baginda Nabi. Ternyata pada saat tasyahud akhir, Ibnu Mas'ud melihat Baginda Nabi menggerak-gerakkan jari telunjuknya. "Itulah sebabnya beberapa ulama mendukung sikap tasyahud yang demikian. Disinilah letak relevansi tarikh sebagai problem solving bagi masalah-masalah syar'i, khususnya terkait dengan ibadah mahdhah."jelas Mas Iin suatu kali.

Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW adalah teks inti dan urgen dalam tarikh, karena merupakan awal dari kronologi sejarah peradaban Islam, yang bermula dari Arab hingga menyebar ke seluruh penjuru dunia. Membaca teks riwayat hidup beliau, selain berkesinambungan dengan ikhtiar ma'rifatuddin sesuai petunjuk kitab Syarah Tsalatsatul Ushul, membawa diri seorang muslim pada penghayatan nilai-nilai perjuangan Baginda Nabi. Terkait dengan kejelasan unsur deskriptif, kerunutan naratif, akurasi informasi dan struktur bahasa, Mas Iin merekomdendasikan The Sealed Nectar karangan Safiyur Rahman Mubarak-puri dan History Of Life Prophet Muhammad karangan Muhammad Husin Haekal untuk saya pelajari. Mas Iin kebetulan tidak punya terjemahan dalam bahasa Indonesia. Dia hanya punya edisi Arab dan bahasa Inggris, oleh-oleh dari kawannya yang berkesempatan kuliah di Ummul Quro University, Mekkah, dan Madinah Al-Munawwarah University, Madinah. Karena tidak bisa berbahasa Arab, saya pinjam dua edisi terjemahan Inggris. Masing-masing saya khatamkan satu bulan lebih. "Alhamdulillah. Akhirnya buku kiriman kawan saya ini bisa dimanfaatkan. Terus terang saya belum baca yang versi Inggrisnya." kelakar Mas Iin, disaat saya mengembalikan dua buku berjilid hard cover tersebut.

Hampir semua bab dalam The Sealed Nectar maupun History Of Life Prophet Muhammad memberikan kesan kuat. Yatim-piatunya beliau pada usia kanak-kanak, bagaikan awal kisah balada yang sarat dengan pesan kemanusiaan. Membaca episode kehidupan di masa-masa remaja Baginda Nabi, tersimak bakat besar kepemimpinan yang ada dalam diri beliau. Dari biografi yang ditulis sarjana muslim terkemuka itu, saya baru mengetahui bahwa Baginda Nabi di usia 15 tahun pernah terlibat Battle Of Fajjar (peperangan Fijar) : perang antara suku Zubaid dengan Quraisy yang sudah berlangsung seabad lebih. Beberapa tahun setelah itu, Baginda Nabi tercatat sebagai aktivis termuda yang aktif dalam ikrar ishlah Hilful Fazul. Ikrar Ishlah untuk mendamaikan konflik kedudukan, materi dan ambisi kelompok ini kira-kira berisikan : ''Barangsiapa, dari suku mana pun yang menemukan anggota suku yang melanggar aturan, norma, dan nilai yang berlaku, maka perlu dikenai sanksi yang tepat tanpa memandang derajat dan kedudukannya.'' Reformist movement tersebut mengakhiri perseteruan panjang antara dua suku terkemuka di Arab.

Selain kagum akan jiwa kepemimpinan Baginda Nabi yang telah terpupuk selagi muda, selain takjub atas gelar Al-Amin yang diterakan orang-orang Quraisy kepada beliau, saya juga terkesan atas perjuangan Baginda Nabi yang sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis jazirah Arab. Cuaca yang ekstrem di areal gunung cadas dan padang pasir yang terdeskripsikan dalam teks, menggambarkan betapa peperangan melawan kaum kafir, khalwat di Gua Hira, sembunyi di Jabal Tsur, hijrah dari Mekkah ke Madinah, bukanlah semata perkara yang enteng dan demikian mudah. Kemenangan Badr yang diraih pada bulan suci ramadhanpun- dengan demikian- merupakan kemenangan yang sangat fenomenal dalam pandangan saya. Dengan jumlah pasukan yang kalah banyak, sambil menahan haus dan lapar, pasukan Islam mampu meraih kemenangan dikala itu.

Selesai tahajud di Raudhah, sayapun jadi teringat pengalaman ziarah Mekkah, saat mengambil miqat umrah ke-2 dari Masjid Ja'ranah sehari sebelumnya. Menyaksikan Jabal Tsur, Gua Hira, dan menempuh jarak perjalanan Mekkah-Madinah dengan bis milik Syarikat Tamimi, deskripsi dalam The Sealed Nectar dan History Of Life Prophet Muhammad seolah gugur kedahsyatannya. Apa yang saya saksikan lebih dari apa yang pernah terbayang. Jabal Tsur betul-betul terdiri dari batu cadas, Gua Hira begitu terpencil dari Ka'bah, pusat kota Mekkah. Tak terbayangkan oleh saya ketika Abdullah putera Abu Bakar Ash-Shiddiq mesti berjalan mundur dalam mencapai Gua Tsur. Dan lebih tak terbayangkan lagi, ketika saya mengenangkan saat-saat Baginda Nabi hijrah ditemani Abu Bakar r.a., mengarungi padang pasar dan bukit-bukit cadas sampai ke Madinah. Perjalanan hijrah itu tentu dinaungi oleh terik matahari jazirah Arab, yang sanggup mengeringkan kulit dan daging.

Renungan di Raudhah membuat saya mengerti, mengapa seorang nabi akhir zaman mesti menerima kabar pengutusannya di kota Mekkah. Melihat medan dakwah yang sulit, sesungguhnya Allah SWT betul-betul menyiapkan Baginda Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu yang paling sempurna, dibandingkan wahyu-wahyu dan utusan sebelumnya. Dia telah menyiapkan wadah bagi penyucian jasmani dan ruhani Baginda Nabi, agar tugas beliau sebagai pemberi kabar gembira bagi penyembah-Nya tunai, tuntas dan sukses. Kenyataan itu nyata terjadi di jaman kita hidup sekarang ini. Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia, Al-Qur'an menjadi kitab yang selalu dipelajari dan ditadzaburi sepanjang masa, dan Al-Hadits selalu dijadikan acuan komprehensif untuk pemecahan masalah kehidupan yang luas. Michael S. Hart, seorang kristiani, bahkan memposisikan Baginda Nabi sebagai orang nomor satu paling berpengaruh di dunia, dalam buku biografi orang-orang berpengaruh sepanjang masa : The Greatest Hundred In History.

Bukti diseganinya Islam berkat buah perjuangan Baginda Nabi, terlihat pula dari upaya Yahudi-Palangis-Qabalis untuk membekuk perkembangan din yang haq ini, pada waktu sekarang. Gerakan pembekukan itu tampak dari aksi-aksi pembantaian di Irak, Sudan dan Palestina ; atau isyu terorisme yang ditudingkan kepada organisasi-organisasi berbendera Islam. Disamping tindak represif dan propaganda politik, musuh-musuh Islampun rajin mengekspor budaya wadak, paham liberal, ke negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim. Dampak determinasi budaya itu melanda terutama kaum muda Islam. Kegilaan mereka terhadap materi membuat mereka konsumtif. Kehausan mereka akan edukasi seringkali hanya bermotifkan reward- baik reward dalam wujud benda ataupun reward dalam bentuk jabatan dus penghormatan. Lebih tragis lagi ketika pengaruh budaya menyaputkan mereka dari figur teladan. Selebritis, politikus, seniman, di era sekarang sudah lazim diidolakan oleh banyak generasi muda kita. Gaya berbicara, mode berpakaian, bahkan tindak-tanduk pesohor yang sesungguhnya buruk, tak jarang ditiru oleh kalangan anak muda di negara dengan mayoritas penduduk muslim. Nama-nama Richard Gere, Tom Cruise, Brad Pitt atau Ricky Martin, lebih akrab di telinga mereka daripada nama-nama sahabat Baginda Nabi. Polah centil Britney Spears, Christina Aguilera, sampai keseronokan Madonna, lebih menjadi buah bibir ketimbang akhlak luhur Siti Khadidjah, Siti 'Aisyah atau Fatimah Az-Zahra. Tak jarang juga anak-anak muda kita, mereka yang mengaku militan, lebih mengenal riwayat hidup 'Che' Guevara daripada kisah perjuangan Baginda Nabi. Dan tak jarang mereka yang intelek, lebih suka mempelajari filsafat Plato, Aristotles, Sartre, Nietszche dan Derrida, ketimbang mengurai hikmah Al-Qur'an dan mutiara hadits warisan Baginda Nabi.

Sungguh ironis, jika saya memalingkan langkah ke belakang, ke Leicester City, Inggris, pada 13 tahun lalu (1992). Di kota tempat mayoritas kristen bertinggal itu, seorang pemuda muallaf bernama Ahmad Von Denffer menerbitkan sebuah risalah singkat : A Day With The Prophet. Buku yang memuat keseharian Baginda Nabi Muhammad SAW mulai bangun tengah malam hingga kembali ke peraduan itu, mengundang kekaguman banyak orang di Inggris. Banyak dari mereka yang kagum lantas intens mempelajari Islam lalu mengucapkan kalimat syahadat. Buah karya Ahmad Von Denffer yang menurut dia sendiri adalah sebuah tulisan sederhana, diterjemahkan pula kedalam bahasa Arab, dengan judul : Yaumun Ma'a Ar-Rasul. Setelah penerjemahannya, buku tersebut menjadi buku yang laris di kawasan Arab, yang notabene merupakan daerah asal Islam. "Cara yang dilakukan Denffer sangat memikat bagi siapa saja yang membacanya. Saya melihatnya sebagai sebuah karya luar biasa, mendalam dan luas mengenai cara hidup Nabi SAW, meski tak seorangpun mampu melaksanakan seluruh perikehidupan beliau. Yang paling berkesan saat membaca buku ini adalah sisi kesederhanaan Nabi SAW. Begitu tampak kemerdekaan beliau dari menghambakan diri kepada materi, terutama yang berkaitan dengan manusia dan segala sifatnya. Cara Nabi SAW menempuh kesehariannya itu merupakan kabar gembira bagi kemerdekaan seluruh umat manusia." komentar DR. Khurram Murad, Chief of The Islamic Foundation. Ahmad Von Denffer sendiri mengharapkan para pembaca bukunya bisa mengikuti pola hidup - minimal sehari- sebagaimana cara Baginda Nabi menjalaninya. "Tidak ada karunia (kenikmatan) yang lebih besar daripada sehari yang dilalui dalam ketenteraman dan keserasian." ujarnya serius, saat ia menjelaskan isi buku yang referensinya kebanyakan diambil dari kitab : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Misykatul Mashabih dan Riyadush-Shalihin.

Dalam konteks pencarian figur teladan itulah, Pak Ero, Kang Rofik, Mas Iin dan Ahmad Von Denffer menjadi demikian berarti untuk saya. Dari tuturan dan tulisan mereka, saya bisa mengenali Uswatun Hasanah, manusia terbaik : Nabi Muhammad SAW. Atas bekal ilmu yang mereka berikan dan bekal materi yang diberikan orangtua saya untuk berumrah, saya bisa menikmati suasana, khusyuk berdoa dan shalat di ketenteraman raudhah. Selesai shalat subuh sayapun beranjak mengikuti antrian banyak orang. "Salaamun 'alaik Yaa Rasulullah. Salaamun 'alaik Yaa Habibullah." gumam mereka lirih. Sesampainya di gerbang makam Baginda Nabi SAW, yang menurut The Sealed Nectar adalah kamar Siti 'Aisyah r.a., shalawat dan salampun terucap dalam getar terbata-bata. Kendati tak bisa bertatap muka langsung dengan Baginda Nabi Muhammad SAW, setidaknya saya merasa telah 'berjumpa hati' dengan beliau. Maka kendati dengan terbata-bata, dengan pipi berlelehan air mata, bibir inipun terus mengucap : "Allahumma shalli 'alaa Sayyidina Muhammad an-'anbiyi wal 'umiyyi wa shalallaahu 'alaihi wa shahbihi wa saliim."

No comments: