Friday, July 29, 2005

Semua Harus Melalui Proses

Waktu kehamilan adalah sunatullah. Bahkan tak ada yang tahu kapan tepatnya sang bayi terlahir ke muka bumi. Walaupun, secara teoretik, waktu kelahiran normal adalah setelah janin dikandung selama 40 minggu atau lebih. Umumnya ibu yang hamil akan melahirkan paling cepat saat usia janin mencapai 37 minggu, atau 70 persen diantaranya lahir setelah janin berusia 40 minggu. Yang jelas, keakuratan prediksi seorang ginekolog biasanya hanyalah 4 persen saja.

Banyak ditemui kasus tertundanya kelahiran, hingga mencapai waktu kurang lebih satu minggu. Para dokter biasanya akan memberi stimulus untuk mempercepat kelahiran, agar sang anak tidak kekurangan suatu apapun- sekaligus meminimalisir resiko kematian terhadap janin. Disamping penundaan kelahiran ada juga bayi yang malah terlahir sebelum waktunya. Kasus tersebut dikenal sebagai kelahiran prematur. Kasus kelahiran prematur ini meliputi kelahiran kurang dari umur 36 minggu, 28 minggu, 32 minggu, 34 minggu, bahkan ada yang terlahir pada usia 26 minggu. Nah, jika ada janin yang terlahir kurang dari 26 minggu, maka kasus kelahiran tersebut biasa dinamakan : keguguran.


***

Saat janin memasuki usia 7 minggu, jantung janin akan mulai berdenyut dan sistem sirkulasi darahnya mulai terbentuk. Dua keadaan itu memberi kita informasi dan kemungkinan, bahwa bayi akan terus hidup secara normal atau abnormal dalam kandungan ibu.

Mulai dari 7 minggu, struktur jantung sebagai pemompa darah maupun indikator kehidupan bisa dikenali, sehingga sempurna keadaannya saat janin berusia 20 minggu. Perkembangan inipun bisa dipantau oleh manusia, dan sangat berguna bagi para dokter, yang berkepentingan memberikan masukan kepada ibu sedang hamil. “Ebstein Anomalies”, satu kondisi dimana jantung terbentuk abnormal, satu keadaan yang memperkecil kemungkinan hidup si bayi, teridentifikasi pada masa-masa itu.

Ventricula septal defect (cacat dinding jantung ) bisa terjadi dan teridentifikasi pula dalam masa-masa kehamilan. Lewat peneraan ultrasound ke atas janin di dalam rahim pada frekwensi tertentu, dapat diketahui sejauhmana bayi bisa bertahan selepas dilahirkan. Dari peneraan tersebut bisa diketahui pula, apakah perlu/kapan perlu dilakukan pembedahan atau tidak terhadap bayi, setelah ia terlahir kemudian.

Kondisi abnormal yang diketahui secara dini dapat membantu dokter konsul, dalam rangka mempersiapkan mental ibu hamil. Dokter konsul dalam periode minggu-minggu kehamilan itu bisa mengidentifikasi sejauhmana resiko melahirkan, dengan memeriksa apakah terdapat penyakit kronis atau akut dalam diri sang ibu. Segala informasi berkenaan dengan masa-masa homeostasis atau penyesuaian ini perlu dikenali dengan baik oleh ibu hamil, melalui konsultasi yang dilakukan secara rutin dengan sang dokter.

Dalam masa-masa homeostasis, jasmani ibu hamil melakukan adaptasi. Badan menyesuaikan diri untuk menerima janin yang kian bertambah ukuran. Dalam masa homeostasis ini terjadi pelonggaran tulang punggung dan jalan kelahiran, imbangan darah dan hormon, perubahan mental, psikologis, sistem kardiovaskular, gastrointestinal, respiratori dan lain sebagainya. Prosedur kelahiran bisa diperkirakan bahkan ditentukan dalam masa-masa kehamilan. Apakah bayi harus lahir melalui operasi cesar, melalui pembedahan laser, ataukah secara normal bisa diperkirakan merujuk perkembangan di masa-masa homeostasis.

Dari peristiwa pra-kelahiran anak manusia, Allah mengajarkan kepada kita, bahwasanya tak ada sesuatu yang terjadi tanpa melalui suatu proses. Tak ada sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Dan hanya dalam lakon Superman saja, ada bayi bisa langsung berjalan sesaat setelah dilahirkan.

Mengapa Allah menciptakan proses kelahiran bagi seorang anak manusia, padahal sebab kuasa-Nya Dia pasti bisa menciptakan anak manusia cukup dengan ayat Kun (jadilah) saja ?

Ternyata melalui episode 9 bulan itu, kita sebagai mahluk diajari-Nya untuk bersabar menghadapi proses, mengingat ada tenggat yang perlu ditempuh dalam penyempurnaan janin. Proses-proses tersebut berlangsung dengan adapatasi-adaptasi khusus, sehingga pada akhirnya sirkulasi darah atau sistem dan fungsi-fungsi organ tubuh manusia bisa bekerja secara normal. Ibu hamil dan calon ayah jabang bayipun dituntut untuk siap secara mental, untuk mendapatkan anak atau kehilangan janin karena kondisinya abnormal. Menyimak itu semua, mafhumlah kita, bahwasanya penciptaan mahluk yang sempurnapun ditempa oleh suatu proses. Itu tandanya tak ada sesuatupun yang bisa sempurna tanpa suatu proses.

Bidadari Surga, Bidadari Bumi

Waktu pertama penulis mengutarakan niat kepada Abah untuk mencari calon pendamping hidup, Abah menasihatkan supaya calon yang dipilih nanti haruslah wanita yang : taat menjalankan perintah agama, rupawan wajah dan sehat jasmaninya, berasal dari keturunan baik-baik, serta berharta. “Begitulah sabda Rasulullah, Nak.” wasiat Abah kepada penulis ketika itu. Dijelaskan pula oleh Abah, bahwa ketaatan beragamalah yang paling utama diantara empat kriteria yang diungkapkan Rasulullah SAW. “Wanita yang taat menjalankan perintah agama adalah calon bidadari di surga nanti. Gitu, kata Ustadz Husin.” timpal Ummi sambil meletakkan sepiring ulen goreng.

”Sebelum jadi bidadari di surga, jadi bidadari untuk suami dan anak-anaknya dulu dong, Mi.” jawab penulis.

“Ya, pasti. Cuma, ada bedanya 'bidadari surga' sama 'bidadari bumi', Bang.”

“Apa bedanya, Mi ?”timpal Abah dan penulis hampir bersamaan.

Rupanya Nurul, adik penulis, memperhatikan pembicaraan kami sejak tadi. Dari sudut ruangan, tempat ia khusyuk menekuri La Tahzan-nya, Nurul menjawab pertanyaan Abah dan penulis : “Kalau bidadari surga sih selalu wangi dan anggun. Tubuhnya selalu molek, nggak bakal gendut, bau bawang atau keriput. Kalau bidadari bumi nggak begitu, Bang. Kadangkala wangi, kadangkala bau. Kadangkala langsing, kadangkala gemuk. Dan perlu Abang ingat, semua bidadari bumi, kalau usianya sudah sampai 50 tahun kulitnya pasti keriput !”

“Haibat betul anak Ummi. Nelen buku tiap hari sih !” kelakar Abah.

***

Lumrah bagi wanita untuk tampil bersih-wangi, dengan parfum termahal sekalipun. Untuk menyenangkan suami, anak atau handai-taulan, tak ada salahnya wanita berusaha tampil anggun dan menarik. Berkerudung batik, pakai kain etnik, asalkan waktu dan sikon memungkinkan, tentu tidak jadi masalah.

Namun ada juga waktunya bagi wanita, untuk melupakan soal pernak-pernik penampilan itu. Yaitu, tatkala pekerjaan-pekerjaan rumahtangga telah menunggu kecekatan tangan dan ketulusan hati, siap untuk mereka kerjakan. Dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia sendiri disebutkan : kewajiban utama seorang istri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami, dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam ; serta wajib menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Termasuk dalam kewajiban nomor dua ini adalah memelihara anak dengan telaten- penuh kasih sayang.

Saat menekuni kewajibannya, wanita harus rela bersimbah keringat, berkuah peluh, jauh dari oriflame atau davidoff-nya. Begitu pula saat ia menjerang air, menanak nasi, menyiapkan rempah-rempah pelezat bagi makanan keluarga. Jari-jari tangannya bisa menguning oleh warna kunyit, bisa merasa panas oleh lada atau bubuk merica, bahkan tak jarang, jari-jari lentiknya itu melepuh perih- disaat tangannya keliru menyentuh teko penjerangan air.

Kewajiban wanita bertambah berat ketika ia ditakdirkan mengandung. Selama kurang lebih 40 minggu ia mesti merawat kesehatan janin, sembari disibukkan oleh kegiatan harian melayani keluarga, terutama : sang suami. Sambil menahan rasa mual serta penat yang sangat, ia dituntut untuk bersabar melaksanakan kewajibannya.

Setelah menjadi seorang ibu, mulai dari usia jabang bayi satu hari, bertambah lagi amanah seorang wanita. Jika sebelumnya ia hanya disibukkan oleh pekerjaan mengurus suami, maka kini ia disibukkan pula oleh ikhtiar mengurus bayi. Ikhtiar tersebut bahkan tak mengenal jam istirahat. Jam berapapun anak menangis, ngompol, be-a-be (buang air besar), sang ibu harus siap bekerja- menyusui sang anak, meredakan tangisnya, membersihkan tilamnya, serta mengganti pampers yang penuh.

Sampai anak merangkak remaja, beranjak dewasa, menemukan pasangan hidupnya, bahkan hingga sang anak mengaruniainya cucu, kasih sayang seorang ibu tak pernah sedikitpun berkurang. Ibulah yang selalu mencemaskan kesehatan dan keselamatan anaknya. Pun ketika sang anak masih balita, remaja belia atau ketika sudah dewasa. Karena berat amanah dan mulianya seorang ibu ketika tuntas menunaikan amanahnya terhadap sang anak, Rasulullah SAW menempatkan posisi ibu dalam posisi yang sedemikian terhormat. “Ibumu, ibumu, ibumu.” begitulah Rasulullah SAW menjawab pertanyaan seorang sahabat, saat sahabat bertanya : siapa orang yang pertama, kedua dan ketiga, yang harus dihormatinya. Dan barulah pada kali yang keempat, Rasulullah SAW menjawab : “Ayahmu.”

***

“Ummi harus rela mengerjakan semua kewajiban. Sebab itulah bekal Ummi, agar kelak Ummi bisa menjadi bidadari di surga.” ucap Ummi.

“Ya, betul, Mi. Abang kira Ummi sudah berhasil menjadi bidadari bagi Abah dan anak-anak.”balas penulis pelan.

“Jadi nggak betul, Bang, kalau ada yang menganggap perempuan itu tidak setara dengan laki-laki. Seorang bapak nyatanya cuma duduk di nomor empat. 1, 2, 3-nya diborong semua sama ibu.”tambah Abah usai menggigit sepotong ulen.”Dan setelah Abang tahu perbedaan bidadari surga dengan bidadari bumi, Abang dan Nurul perlu juga tahu apa persamaannya.”

“Apa persamaannya, Bah ?”

“Meski kecantikannya hanya berlaku semasa ia masih gadis belia, walau kulit sudah keriput dan badannya tidak semolek dulu, tetapi cahaya yang terpancar dari raut dan pembawaan seorang 'bidadari bumi' nggak ada bedanya dengan 'bidadari surga'. Yakni, tidak pernah mengenal tua dan tidak pernah mengenal masa. ”

“Wah, Haibat betul nih suaminya Ummi. Nelen ketan tiap hari sih !” goda Nurul membalas kelakaran Abah.



*Pengamat Masalah Keluarga & Muslimah

Tuesday, July 19, 2005

Fatwa Sesat Ahmadiyah

Merunut sejarahnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan sebagai lembaga penengah antara umat dan pemerintah. MUI berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dan umat, dan sebaliknya, sebagai saluran aspirasi umat Islam kepada pemerintah. Lembaga ini seharusnya menjadi sebuah lembaga independen. Untuk urusan fatwa yang menjadi salah satu spesialisasinya, pemerintah tak berhak memengaruhi para ulama syuro, yang bernaung dalam wadah tersebut. Keputusan yang diambil MUI harus murni berdasarkan musyawarah ulama. Bukan diarahkan oleh pemerintah, sebagai justifikasi dukungan atas sebuah kebijakan politik.

Namun faktanya, MUI tidak bisa memosisikan diri secara bebas, sebagaimana janji pemerintahan Orde Baru, yang kala itu dijuru-bicarai oleh Menteri Agama, Prof. Munawir Sjadzali. Akh. Muzakki dalam makalah "Relasi Islam-Negara di Era Orde Baru (1980-1990) : Akomodasi Atau Politik Islam ?" mengemukakan :..realitas membuktikan bahwa posisi MUI pada masa itu tidak boleh berseberangan dengan pemerintah, apalagi menentangnya. Lebih lanjut lagi, Prof. Deliar Noer dalam buku Islam And Indonesia menegaskan bahwa MUI saat itu bak lembaga semi pemerintah (a semi-government body). Ia tak banyak berperan penting dalam memengaruhi kebijakan pemerintah terhadap Islam, atau dalam memberikan arahan-arahan penting teruntuk masyarakat muslim.

Pada mulanya pemerintah tidak berkeberatan atas fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI. Fatwa sesat atas kelompok Islam Syi'ah dan Ahmadiyah (1980), adalah fatwa yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Golongan tersebut ditengarai sesat oleh MUI, dianggap bisa merongrong kekuasaan yang absolut, oleh pemerintahan saat itu. Bila MUI mengeluarkan fatwa sesat demi menyelamatkan aqidah umat, maka pemerintah mendukung fatwa tersebut atas pertimbangan stabilitas politik. Dengan simpati umat Islam dan justifikasi fatwa MUI, pemerintah dapat leluasa mengeliminir kelompok-kelompok sempalan. Potensi gejolak yang bisa timbul karena keberadaan kelompok-kelompok itu, diminimalisir sedemikian rupa, untuk menjaga homogenitas politik yang lazim di era Orde Baru.

Namun ketika MUI berbeda pendapat dengan pemerintah, serta-merta pemerintah mengeluarkan peringatan keras terhadap MUI. Misalnya, saat MUI yang diketuai oleh Prof. Dr. Hamka, mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam untuk mengikuti perayaan natal bersama. Pemerintah serta-merta menolak fatwa tersebut. Bila MUI khawatir umat akan masuk dalam aktivitas sakral yang bertolak-belakang dengan keyakinan Islam, pemerintah justru khawatir fatwa tersebut bisa mengganggu tatanan masyarakat homogen yang tengah dibangun, dalam rangka proses pelanggengan kekuasaan. Politik homogenisasi, kendali pemerintah agar rakyat tetap satu sikap-satu suara, adalah motif dibalik penolakan itu. Tak jadi masalah, meskipun harus menafikan fatwa MUI yang shahih, ataupun mengorbankan aqidah umat muslim yang notabene adalah mayoritas.

Pada saat ini, relasi antara MUI dengan pemerintah masih menunjukkan kecenderungan sama dengan realita dimasa-masa awal pendiriannya (MUI berdiri tahun 1980). Kecenderungan itu bisa dilihat dalam kasus fatwa haram MUI, berkenaan dengan keikut-sertaan Putri Indonesia ke ajang Miss Universe. Kala itu Pemerintah tak cepat mengambil inisiatif memanggil pulang Artika Sari Devi, sementara banyak kaum muslimin resah dan mengajukan penolakan keras. Pemerintah sepertinya mengelak dari mengambil keputusan tegas, dengan justifikasi fatwa haram MUI. Mungkin pemerintah takut dicap anti-demokrasi, tidak menghormati HAM, atau menutup pintu keterbukaan- oleh kalangan dalam/ luar negeri yang menganut pola pikir liberal. Mengingat kelompok liberal ini lebih besar dalam jumlah dan lebih berpengaruh dari kelompok Islam kaffah, maka ketimbang mendukung fatwa yang sebetulnya bertujuan menyelamatkan umat secara keseluruhan, pemerintah cenderung berpihak pada kepentingan liberal. Langkah tersebut menjadi mungkin demi terpeliharanya status quo. Walaupun dengan begitu, aqidah umat terpaksa harus disisihkan, ditempatkan sebagai prioritas ke-2.

Kesenjangan pendapat antara MUI dan pemerintahpun dikhawatirkan akan kembali terjadi, saat menyoal aliran sempalan Ahmadiyah, yang kembali menjadi isyu nasional diwaktu-waktu sekarang ini. Kendati Ahmadiyah telah dinyatakan sebagai aliran sesat, mengacu pada fatwa MUI yang ditandatangani ketua pertamanya Prof. Dr. Hamka pada tanggal 1 Juni 1980, ada wacana yang berkembang dikalangan pemerintah untuk kembali meninjau fatwa dan ketetapan yang menyusul setelahnya. Wacana untuk kembali meneliti fatwa MUI itu kembali mengemuka, pasca penyerangan Kampus Mubarak, pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berlokasi di Parung, Bogor, beberapa waktu lalu. Dorongan untuk meneliti fatwa tersebut berkembang diantara tudingan, bahwasanya fatwa tersebut adalah picu kekerasan terhadap JAI, sebagaimana disampaikan oleh Koordinator Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) : Ulil Abshar Abdalla (Tempo Interaktif, Sabtu, 16 Juli 2005).

Salah seorang Ketua MUI, Amidhan, menepis tudingan bahwa fatwa organisasinya adalah pemicu kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Menurut dia, fatwa MUI mengenai Jemaah Ahmadiyah telah dikeluarkan sejak Musyawarah Nasional MUI, 26 Mei-1 Juni 1980 (Bpost,17 Juli 2005), serta mengacu pada Deklarasi Liga Muslim Dunia- tahun 1974, yang dihadiri oleh 140 negara Islam. "MUI cuma membuat peringatan kepada umat, bukan membuat pelarangan," tambahnya lagi. Beliaupun menandaskan bahwa peringatan tersebut bersifat pribadi. Dan setelah fatwa dikeluarkan, yang berhak untuk melarang tentunya adalah pemerintah.

Sikap MUI yang kukuh ditunjukkan dengan tidak pernah digugurkannya fatwa, bahwasanya Ahmadiyah merupakan aliran sesat. Sedang pemerintah tampaknya akan kembali berhitung soal resiko politik. Jika pemerintahan era Soeharto menilai pengeliminasian Ahmadiyah sebagai langkah strategis, pemerintahan sekarang mungkin tak akan mengambil langkah serupa. Karena, langkah pelarangan terhadap jemaat Ahmadiyah berada diluar misi dan kepentingan politik liberal, yang dominan memengaruhi kinerja pemerintahan kita selama era reformasi. Artinya : jika dulu dengan melarang Ahmadiyah pemerintah berusaha menjaga stabilisasi kekuasaan, maka kini, pemerintah berupaya menjaga status quo dengan berlaku permisif, terhadap keberadaan aliran sesat tersebut. Jika begitu, segala sesuatu kemudian menjadi abu-abu. Yang benar dipertanyakan untuk kelak disalahkan. Yang salah mencari alasan pembenaran lantas dibenarkan. Dan akhirnya, umat kebingungan memilih mana Islam yang kaffah, setengah-setengah, atau sesat sekalian.

Penulis berharap paparan diatas hanyalah sebuah prediksi atau dugaan yang keliru. Masih mungkin, pada realitasnya nanti, pemerintah sudi mengikuti fatwa MUI- dengan melarang segala bentuk aliran yang membahayakan aqidah umat, bukan hanya melarang keberadaan Ahmadiyah saja. Selain membekukan Ahmadiyah yang terang-terangan meresahkan umat itu, sekalian juga diusut para provokator dan pelaku penyerangan terhadap Kampus Mubarok. Pemerintahpun perlu melakukan itu. Mengingat umat Islam pada umumnya tidak pernah respek dengan cara-cara represif, kendati itu terpaksa dilakukan untuk memperingatkan golongan yang terang-terangan merusak agama mereka. Semoga harapan penulis bisa cepat terealisasi. Demi gugurnya mitos bahwa pemerintah tak pernah solid dengan MUI, organisasi yang sebetulnya berfungsi mulia sebagai mediator umat dengan pemerintah sendiri. Semoga harapan penulis segera bisa menjadi kenyataan, demi gugurnya mitos bahwa, pemerintahan kita selalu menomor-duakan kepentingan umat, menomor-satukan kepentingan status quo atau kepentingan politik belaka. (red/aea)***

Wednesday, July 13, 2005

Muslim Tanpa Masjid ?

Catatan Kritis untuk Dr. Kuntowijoyo
M. Najib Azca

Dalam buku kumpulan artikel terbarunya terbitan Mizan (2001), cendekiawan muslim Dr. Kuntowijoyo kembali menyuguhkan sejumlah ide cerdas dan menarik seputar Islam dan umat Islam. Salah satu gagasan orisinal Kunto adalah tesisnya mengenai lahirnya generasi baru di kalangan umat Islam yang disebutnya sebagai generasi 'Muslim Tanpa Masjid' --yang kemudian dipilih menjadi tajuk buku tersebut.

Sebagai narasi pembuka artikel yang menarik --yang juga dikutip di sampul belakang buku itu-- Kunto menulis; "Generasi baru Muslim telah lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui oleh saudara-saudaranya. Bahkan kelahirannya tidak terdengar oleh Muslim yang lain." Diawali dengan paparan ringkas fragmen sesaat setelah kejatuhan Soeharto yang disambut oleh para aktivis mahasiswa dengan sujud syukur, yang menandakan kemusliman mereka, namun segera diikuti oleh sikap penolakan mereka terhadap figur BJ Habibie, yang menurutnya merupakan 'lambang golongan Islam,' Kunto menengarai momen kelahiran lapisan generasi baru muslim tersebut.

Karakter utama generasi baru Muslim tersebut, dalam amatan Kunto, adalah mereka merasa bukan bagian dari umat; mereka lebih merasa sebagai bagian dari mahasiswa ketimbang umat; reference group mereka adalah mahasiswa, bukan umat. Salah satu indikasi perasaan non-umat itu, menurut Kunto, adalah keberanian mereka untuk melanggar konsensus umat melalui Kongres Umat Islam (KUI) pada waktu itu (1998) untuk mendukung Sidang Istimewa (SI) MPR.

Menyebut fenomena generasi baru 'Muslim tanpa masjid' itu sebagai gejala perkotaan, Kunto melacak jejak kelahirannya sebagai buah dari proses perubahan sosiohistoris umat Islam terutama di masa Orde Baru. Mereka lebih banyak dibesarkan oleh suasana keagamaan Islam di sekolah, baik melalui pendidikan agama maupun oleh seksi kerohanian Islam, ketimbang oleh masjid. Karena itulah, menurutnya, wajar jika merasa terasing dari umat. Lebih lanjut, sumber pengetahuan keagamaan mereka bukannya lembaga-lembaga keagamaan konvensional seperti masjid, pesantren, dan madrasah, atau perorangan seperti dai, ustadz, kiai, dan sebagainya, melainkan melalui sumber-sumber anonim seperti radio, majalah, CD, VCD, internet, televisi, dan sebagainya.

Menyimak ide Kunto mengenai generasi baru 'Muslim tanpa masjid' dan latar sosial historis yang melatarbelakanginya, saya ingin mengajukan sejumlah catatan kritis. Pertama, ada bias modernis dalam penggunaan label umat pada tulisan itu. Kedua, kurang diperhitungkannya kelahiran lapisan baru umat itu sebagai bagian dari ketegangan internal di kalangan kaum santri. Dengan kata lain, luput diperhatikan adanya arus ketidakpuasan atau bahkan perlawanan terhadap konservatisme dan monolitisme 'masjid' sebagai simbolisme pelembagaan keagamaan Islam. Pada bagian berikutnya, tulisan singkat ini hendak mengajukan kerangka pemikiran yang berbeda dalam menjelaskan fenomena kelahiran generasi baru umat Islam itu.

Bias Modernis
Atmosfer dan bias modernis terasa cukup kuat dalam tulisan Kunto tersebut, khususnya dalam penggunaan label 'umat.' Misalnya penyebutan Habibie sebagai 'lambang golongan Islam,' tak pelak lagi, mengandung bias modernis atau lebih spesifik lagi bias ICMI (Ikatan Cendekiawan Musim se-Indonesia). Sebab jelas tak semua segmen umat merasa terwakili oleh figur pakar aeronatika lulusan Jerman yang menjadi Ketua Umum ICMI tersebut sebagai tokoh Islam. Salah satu segmen penting umat yang secara terbuka tidak merasa terwakili oleh Habibie sebagai tokoh Islam adalah kalangan 'tradisionalis' Nahdlatul Ulama (NU) di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Bahkan jika hendak menggunakan definisi yang lebih inklusif terhadap 'umat', ada segmen penting lainnya yaitu kaum 'Muslim Nasionalis,' yang secara terbuka maupun tertutup menyatakan penolakannya terhadap tampilnya Habibie sebagai tokoh Islam.

Bias serupa juga muncul ketika Kunto mengidentikkan suara KUI sebagai suara umat Islam. Melakukan penyamaan suara KUI dengan suara umat Islam jelas mengandung reduksi yang serius terhadap kenyataan pluralisme umat. Meskipun harus diakui KUI merangkum berbagai kalangan umat Islam yang cukup beragam, namun sulit untuk disimpulkan bahwa semua segmen utama umat Islam terwakili dalam KUI. Kalangan Muslim tradisionalis serta kaum Muslim nasionalis lagi-lagi sulit untuk disebut sebagai terwakili dalam forum yang dimotori oleh kalangan ICMI tersebut.

Sebelumnya ingin dicatat bahwa penggunaan terminologi Muslim modernis, tradisionalis maupun nasionalis memang mengandung sejumlah kerumitan. Diakui terdapat kekaburan dalam kategorisasi umat Islam dengan cara tersebut, terutama oleh kecenderungan pembauran dan bahkan konvergensi khususnya pada generasi baru umat Islam. Namun tak kurang gunanya untuk membedakan tiga kategori umat Islam tersebut dalam kerangka analisis, khususnya untuk mengenali perbedaan latar belakang kultural-ideologisnya. Penggunaan terminologi itu dalam tulisan ini berguna untuk menandai adanya kecenderungan bias 'kelompok' dalam tulisan tersebut.

Otokritik Terhadap 'Masjid'
Kunto menjelaskan munculnya fenomena generasi baru 'Muslim tanpa masjid' sebagai gejala sosiologis dari lapisan dan kelompok muslim baru yang tidak banyak tersentuh oleh masjid dan lembaga-lembaga Islam lainnya. Bagi saya penjelasan Kunto tersebut hanya separuh benar. Dari jurusan lain, Kunto kurang memperhitungkan kemungkinannya sebagai 'perlawanan budaya' dari mereka yang berasal dari lingkaran inti umat Islam sendiri terhadap kelembagaan keagamaan di kalangan umat Islam.

Dengan melihat generasi baru muslim tersebut sebagai lapisan dan kelompok yang 'kurang tersentuh' oleh masjid dan lembaga-lembaga keagamaan Islam konvensional lainnya, Kunto secara tidak langsung membaca bahwa asal usul sosio-kultural mereka adalah dari lapisan 'luar' dari umat Islam (abangan). Kunto luput memperhatikan kemungkinan bahwa asal-usul sosio-kultural sebagian dari mereka justru dari lapisan 'dalam' umat Islam sendiri alias kaum santri.

Dengan kata lain, fenomena tersebut bisa juga dibaca sebagai otokritik dan potret perlawanan budaya terhadap lembaga-lembaga keagamaan yang hidup di kalangan umat Islam. Kemungkinan ini perlu dipertimbangkan dengan melihat bahwa bahwa sebagian dari kalangan yang 'tidak merasa sebagai bagian dari umat' tersebut ternyata berlatar belakang santri. Adalah menarik bahwa sejumlah tokoh penting di lembaga kemahasiswaan radikal seperti Forkot, Famred, PRD dan sejenisnya, ternyata berasal dari kalangan santri, bahkan lulusan pondok pesantren. Sekadar contoh bisa disebut sejumlah nama seperti Andi Arief, Faisol Reza (PRD), Burhan (Famred) dan Mixil (Forkot) ternyata berlatar belakang santri. Bahkan Ketua Umum PRD Budiman Sudjatmiko pun menjalani pendidikan di SMA Muhammadiyah Yogyakarta.

Dengan kata lain, bisa jadi yang berlangsung bukannya sekadar munculnya generasi baru Muslim 'tanpa masjid' melainkan juga barisan baru Muslim 'meninggalkan masjid.' Maksud meninggalkan masjid disini tidak dalam arti secara fisik (meskipun bisa juga terjadi demikian) namun lebih dalam pengertian simbolik, dalam arti mereka menolak dan meninggalkan masjid dan ormas-ormas Islam lainnya sebagai reference group maupun sebagai basis ideologis dan operasional gerakan mereka.

Langkah penolakan mereka terhadap masjid dan lembaga keagamaan Islam lainnya sebenarnya bisa dilihat sebagai bentuk otokritik terhadap masjid dan lembaga-lembaga kesagamaan Islam lainnya dalam dua hal: pertama, ketiadaan perhatian dan pemihakan yang tegas terhadap kaum lemah dan tertindas semisal kaum buruh dan petani serta, kedua, penampilan dan penyikapan yang ekslusif dan tidak simpatik terhadap kelompok dan umat beragama lain.

Wujud dari otokritik dan perlawanan terhadap gejala pertama muncul dalam keterlibatan dan pembentukan lembaga-lembaga yang menjadikan isu pembelaan terhadap kaum buruh dan petani sebagai basis gerakan. Wujud dari otokritik dan perlawanan terhadap gejala kedua muncul dalam keterlibatan dan pembentukan lembaga-lembaga yang bersifat lintas golongan-agama. Bisa dilihat lembaga-lembaga yang dipilih oleh mereka yang disebut sebagai 'Muslim tanpa masjid' tersebut pada umumnya bersifat populis dan pluralis.

Kemunculan ICMI yang di mata sebagian kalangan umat Islam dirayakan sebagai 'kemenangan umat Islam' bagi mereka lebih merupakan 'kemunduran dan gejala konservatisme umat Islam.' Pendirian lembaga cendekiawan muslim yang menyandarkan diri dan memerlukan payung dari kekuasaan tiranik Soeharto bagi mereka merupakan cacat bawaan yang serius dan sulit untuk ditolerir. Melakukan persekutuan politik dengan rezim otoriter yang bertanggung jawab terhadap marjinalisasi kaum buruh dan petani di mata mereka jelas bertentangan dengan spirit Islam yang membela kaum lemah dan terindas. Dari jurusan lain, kehadiran ICMI juga dianggap mereka membuat pengkotakan keagamaan yang semakin mempersenjang jarak dengan umat dan golongan lain.


Meninggalkan Masjid
Dari beberapa catatan tersebut, tesis generasi baru 'Muslim tanpa masjid' kiranya bisa dilihat sebagai sebuah analisis yang menekankan pada konteks sosiologis umat namun kurang memperhatikan dinamika internal yang terjadi di kalangan umat itu sendiri. Analisis lain yang coba ditawarkan oleh tulisan ini ingin memberikan perhatian pada dinamika dan ketegangan intelektual yang terjadi pada lapisan baru umat Islam Indonesia.

Jika tesis 'Muslim tanpa masjid' oleh Kunto diikuti dengan rekomendasi kepada lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti ormas Islam, masjid dan jamaah kampus untuk mendekatkan diri dan mengintegrasikan mereka kepada umat, maka tesis 'Muslim menolak masjid' mensusgestikan kepada ormas Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya untuk mentrasformasi diri sehingga menjadi lebih hirau pada isu-isu kaum marginal seperti kaum buruh dan petani, serta menampilkan wajah yang lebih simpatik kepada umat dan golongan lain.

Jika masjid dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya gagal melakukan ikhtiar transformasi diri sehingga menjadi lebih peduli pada isu-isu populis dan apresiatif terhadap pluralisme, bukan mustahil makin banyak putera-puteri terbaik umat Islam akan memilih jalan 'meninggalkan masjid'…..
***

ceritanet©listonpsiregar2000

TERORIS YANG SESUNGGUHNYA

Sudah bisa ditebak, reaksi warga barat terhadap kaum muslimin, pasca rangkaian peledakan bom di ibukota Inggris, London. Seperti pasca peledakan World Trade Center tahun 2001, kebencian terhadap Islam segera merebak diantara masyarakat Uni- Eropa, warga Amerika, warga Australia, serta negara-negara dimana muslim adalah minoritas. Ketika media-media barat mulai bermain prediksi (tentunya melalui berita yang menyudutkan kelompok Islam), sedang beberapa situs yang mengatasnamakan Islam mengklaim bertanggung-jawab atas aksi teror tersebut, emosi warga barat meluap tak terbendung. Media pertama yang memuat dugaan bahwa pelaku pemboman tersebut berasal dari kelompok jihad Islam adalah Der Spiegel, majalah terbitan Jerman.

Adalah pemimpin negara-negara G8 – negara-negara maju dimana muslim kebetulan menjadi minoritas-, yang ikut memanas-manasi masyarakat barat, serta ikut memperkeruh momen yang sungguh memilukan ini. Bush dan Blair, dua tokoh pencetus “perang dunia ke-4” ( mengutip kata-kata Subcomandante Insurgente Marcos, pemimpin gerilyawan EZLN di Chiapas, Mexico), kembali melantangkan pesan basi mereka, agar dunia tak undur dari : 'Memerangi Terorisme'. Satu perang yang sebenarnya berawal dari inisiatif mereka sendiri. Satu perang yang sebenarnya ditunggangi beberapa tujuan licik, terutama : neoliberalisasi dan kolonialisasi dunia Islam.

Retorika para pemimpin G8 menjadi pengesahan aksi brutal terhadap minoritas muslim di barat. Sehingga, dengan dalih 'demi memusnahkan agama yang kejam dan fanatik', warga barat yang menganggap Islam sebagai virus berani membakar masjid, melecehkan qur'an, menganiaya lelaki muslim, menjahili anak-anak sekaligus menghina para muslimahnya. Belum puas dengan seluruh kebrutalan itu, warga barat yang kalap mencoretkan hinaan dan cemoohan, sebagai ungkapan anti terhadap Islam, pada tembok atau fasilitas umum yang kentara di kawasan kota. “Hancurkan Islam” begitu bunyi grafiti kebencian mereka, yang tertoreh di beberapa halte di kota London.

***
Bukan kali ini saja kaum muslimin didaulat sebagai kambing hitam. Tak hanya kali ini, pemerintah dan masyarakat barat, pada khususnya, atau negara-negara dengan minoritas Islam, pada umumnya, melakukan pelecehan terhadap umat Islam. Sejak tragedi WTC, tak henti-hentinya konspirasi barat mengganyang nama baik 'agama yang sempurna' ini. Afghanistan adalah negara Islam yang pertama diterjang agresi AS, menyusul peristiwa “911 Tragedy.” Waktu itu Bush mengemukakan dalih : “ Operasi pasukan kami bertujuan menangkap Osama Bin Laden dan memusnahkan gerakan Al Qaeda.” Namun pada kenyataannya, sebelum dan setelah Taliban diberangus, rakyat sipil Afghanistan ikut pula menjadi objek kekerasan dan pemusnahan tentara AS. Sampai detik inipun, menyimak fakta peristiwa pelecehan Al Qur'an di Guantanamo, betapa 'perang terhadap teror' yang dipelopori AS justru melahirkan teror lain yang tak kalah pengecutnya.

Tak selang lama setelah agresi militer AS di Afghanistan, dengan dalih untuk memusnahkan senjata kimia dan menumbangkan rejim Saddam Hussein, pasukan AS kembali menyerang Irak. Negeri berjuluk “Negeri 1001 Malam”itu kini telah luluh lantak. Bumi tempat peristirahatan terakhir Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w., Imam Hussein r.a., dan Syaikh Abdul Qadir Jaelani itu, diinjak-injak, diobrak-abrik, oleh pasukan yang konon mengatasnamakan demokrasi dan perdamaian. Selain Baghdad, Fallujah dan Ramallah-pun mencatat banyak korban sipil berasal dari kalangan perempuan dan anak-anak. Bersama kaum lelakinya, banyak dari mereka yang gugur dan berhak digelari Asy-syahidusy Syuhada- syahid menemui Tuhannya. Sementara jauh dari negeri mereka, sebagian warga dunia memandang remeh nasib dan kematian para perlaya itu. Tak cuma anggapan remeh atau pengabaian saja. Niscaya ada kalangan warga dunia, yang membenarkan tindak imperialis AS dan para sekutunya tersebut. Mereka berpendapat, pemusnahan massal itu sesuatu yang mungkin, demi menumpas bahaya terorisme sampai ke akar-akarnya.

***
Skenario pasca ledakan bom di London mengikuti pola runtut dari kejadian-kejadian sebelumnya. Terjadi teror bom- dilakukan pengusutan- kesimpulan sementara menunjuk pelaku dari kelompok Islam –sampai akhirnya dugaan tersebut menyulut perbuatan anarkis terhadap minoritas Islam di negara sasaran teror. Untuk kasus WTC telunjuk AS langsung ditudingkan pada Al Qaeda, padahal sampai saat inipun tuduhan itu belum bisa dibuktikan. Untuk kasus sebelumnya - pemboman di kota Oklahoma- warga AS yang apriori terhadap Islam berbuat anarkis juga terhadap masyarakat muslim di sana. Padahal, kemudian diketahui pelakunya bukanlah orang dari kelompok muslim. Melainkan Timothy McVeigh, seorang mantan anggota marinir, bule asli kelahiran negeri 'Paman Sam' sendiri.

Dalam peristiwa London Underground Bomber, media pertama yang memuat dugaan bahwa pelaku pemboman tersebut berasal dari kelompok jihad Islam adalah Der Spiegel, majalah terbitan Jerman. Semakin dramatik dan tragik, mengingat kejadian bom terjadi setelah London terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2012, dan konferensi tingkat tinggi G8 dibuka hanya satu hari sebelumnya. Gosip media dan efek dramatik adalah tonik sempurna bagi pemicu energi negatif dalam diri manusia. Maka setelah Der Spiegel menyebarkan fitnah-ghibah-nya, sesudah Bush-Blair main retorika bak negawan besar lewat tudingan basinya, vandalisme terhadap warga muslim merebak dimana-mana. Empat Islamic Center dirusak di Auckland, Al-Farouq Cultural Center dilempari di Otahuhu dan Mesjid Mt Roskill dikotori oleh berandalan Sandringham. Tak kalah keji ekspresi vandalistik yang dilakukan di Amerika. Islamic Center Bloomington dibakar oleh orang-orang tak bertanggungjawab. Ditemukan pula beberapa mushaf Al Qur'an yang telah hangus terbakar, pada beberapa penjuru kota negara bagian Indiana itu.

Apapun yang dikoarkan George Bush atau Tony Blair, apapun yang disangkakan mereka yang apriori terhadap muslim juga Islam sebagai agama, dunia seharusnya bisa menatap : siapa yang kemudian menanggung derita setiap usai peristiwa teror selama ini ? Warga Amerika-kah ? Warga Inggris-kah ? Warga Spanyol, Prancis, Portugal, Belanda, New Zealand, Skotlandia atau penduduk Jerman-kah ? Ah, selesai ini mereka akan kembali bersiap menikmati ratusan entertainment, puluhan konser musisi ternama, liga sepakbola lokal atau perhelatan World Cup setahun depan. Sementara kalangan minoritas Islam yang kebetulan berdiam di negara-negara tersebut, menjalankan aktivitas keseharian dalam bayangan trauma vandalisme. Dan jangan lupa, saat warga-warga negara makmur itu sudah kembali asyik dengan kehidupan keluarga, kantoran, atau samen-leven-nya, di Kabul, Baghdad, Fallujah, Karbala, Ramallah, Gaza, Jerussalem, banyak orang tak pernah lagi bisa : menikmati keseharian bersama keluarga, mencari nafkah dengan berikhtiar di tempat kerja, atau duduk khusyuk menjalani ibadah lima waktu. Orang-orang malang di Kabul, Baghdad, Fallujah, Karbala, Ramallah, Gaza, Jerussalem itu telah lama tinggal dalam cekaman imperialisme 'Polisi Dunia' dan kaum sekutunya. Banyak dari mereka telah kehilangan suaminya yang saleh, putra-putrinya yang lucu, atau istrinya yang kerap menunggu dengan senyum di pintu rumah. Mungkin suami mereka saat ini tengah mendekam dalam 'kerangkeng' Guantanamo atau 'gulag' Abu-Ghraib. Mungkin istri dan anak-anak mereka kini telah berpulang selamanya- menjadi korban roket salah sasaran, sebagaimana laporan media massa. Maka, sungguh rendah akal, mata, hati dan orang yang masih belum juga memahami : siapa teroris yang sesungguhnya. (red/aea)

Monday, July 11, 2005

Kaffah Sebelum Khilafah

Sejak Nabi Adam a.s. hidup dan bertinggal di muka bumi, manusia telah dibekali dan diajari- baik secara langsung maupun tak langsung- berbagai norma, nilai serta tata cara hidup. Semenjak kejadiannya, manusia telah menerima peraturan-peraturan ini. Bilamana Allah mengirimkan para Rasul untuk menyampaikan perintah-perintah-Nya, yang kelak berguna sebagai pedoman hablumminallah dan hablumminannaas, dalam hati kecilnya setiap orang pasti membenarkan risalah itu. Sekalipun dia Fir'aun, Qarun, Abrahah atau Abu Jahal yang pada dzahir-nya tampak mengingkari. Hal itu menjadi niscaya, mengingat Allah sendirilah yang telah menanamkan perasaan fitriah itu.

"Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : "Bukankah Aku ini Tuhanmu ?" Mereka mejawab : "Betul (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (Q.S. 7 :172)

Ayat tersebut mengamsalkan, bahwasanya semua manusia telah mengangkat janji dihadapan Allah, jauh sebelum mereka terlahir ke bumi. Isi janji manusia adalah pengakuan terhadap keesaan-Nya : "Tiada Tuhan selain Allah." Alam arwahlah tempat manusia bersaksi, bahwasanya Allah sajalah Tuhan yang patut disembah. Untuk menyembah Khaliq-nya, manusia menganut agama sebagai sebuah sarana. Dalam agama inilah terumuskan : siapa Tuhan, siapa utusan, siapa mahluk dan bagaimana jalinan keseluruhannya.

***

Agama termasuk kebutuhan fitrah. Didalamnya terkandung norma-norma, nilai-nilai, tata cara beribadah serta menjalani hidup. Satu-satunya agama yang diridhai Allah hanyalah Islam (Q.S. 2:19). Barang-siapa mencari agama selain Islam, maka Allah tak akan menerima agamanya itu. Dan kelak di hari akhirat nanti, orang yang keluar dari Islam, akan termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi (Q.S. 2:85).

Allah menjamin setiap orang yang ikhlas menjalankan segala perintah-Nya yang termaktub dalam Al Qur'an. Mereka dijamin akan selamat dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Allah meridhai mereka, atas keistiqamahan mereka mengikuti apa yang dititahkan, menjauhi apa yang dilarang, karena yakin akan kesempurnaan Islam sebagai pedoman. Mereka meyakini kebenaran wahyu, sebagai manifestasi kepercayaan penuh atas firman Allah dalam Al Qur'an surat Al Maa-idah ayat 3 : "... Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu."

***
Sungguh beruntung mereka yang ditakdirkan Allah menjadi bagian umat Muhammad SAW. Mereka tinggal menjalankan apa yang termaktub dalam Al Qur'an dan Al Hadits, dalam mencari kebahagiaan dunia dan akhirat. Tak perlu merasa takut, ragu atau risih dalam menerapkan kaidah-kaidah-Nya dalam perilaku keseharian. Bukankah segala hal telah diatur sempurna ? Bahkan hal-hal kecil seperti cara makan, sikap minum, adab bersin atau mandi saja sudah diatur begitu rapi, dalam dien yang sempurna ini.

Lalu, kenapa masih ada orang yang tak bisa mengecap kebahagiaan, kendati mengaku beragama Islam ? Kenapa masih ada yang merasa tidak bahagia, padahal dzahir-nya rajin melaksanakan shalat, zakat, puasa, bahkan sudah mengenakan gelar haji ?

Allah SWT telah berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam keamanan (Islam) secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (Q.S. 2 :208)

Tanpa mengamalkan Islam secara kaffah atau menyeluruh, seorang muslim tentu sulit merasai kebahagiaan hakiki- meskipun mereka rajin menunaikan berbagai ibadah mahdhah. Orang yang shalat namun tak mampu menjaga lisan, orang yang berzakat dengan harta yang haram, adalah contoh mereka yang memeluk Islam setengah jalan. Pun mereka yang shaum tanpa menjaga pandangan, atau mereka yang berhaji tapi hobi berbuat kemaksiatan. Merekalah contoh orang yang telah mencampur-adukkan antara kebenaran dan kebathilan. Prototype manusia yang menjalankan dien-nya dengan setengah-setengah. Berislam namun tidak kaffah.

Selain merugikan diri sendiri, tipe manusia 'abu-abu'sebagaimana pemaparan diatas, berpotensi merusak kredibilitas Islam sendiri. Gelar khalifatul 'ardh, predikat Islam sebagai agama rahmatan lil 'aalamiin, bakal dipertanyakan oleh penganut kepercayaan lain- melihat ambiguitas yang dipertontonkan para penganut Islam setengah hati itu. Lebih buruk lagi dampaknya terhadap dakwah. Dakwah yang susah payah digagas oleh para penganut Islam kaffah, ujung-ujungnya kembali 'mentah', jika jumlah penganut setengah hati itu lebih banyak, dan ulah mereka lebih ter-expose oleh media atau orang yang apriori terhadap Islam.

Asal satu ucapan dengan perbuatan, lambat laun kita bisa menjalankan perintah agama secara utuh dan menyeluruh. Untuk menjadi muslim seutuhnya memang tak bisa dengan sekali pukul atau sekali jadi. Melalui proses riyadhah kesinambungan- dimulai dengan thalabul 'ilmi, rutin mengamalkan ilmu sesuai kemampuan- lambat-laun kita akan menjadi abdullah yang kaffah. Kunci aplikasi dari proses riyadhah adalah sabar mempelajari dan tekun mengamalkan. Kendali riyadhah adalah tafakur dan rajin bertanya pada guru atau ustadz yang membimbing. Dengan begitu, kita bisa mengevaluasi, mengukur tingkat keislaman, keimanan dan keihsanan dalam diri kita.

Kiranya itulah kiat menjadi kaffah yang paling realistis, untuk saat ini. Kiat kaffah yang sederhana, sekalian menafikan pendapat bahwa : tak mungkin seorang muslim menjadi kaffah, sebelum berdirinya khilafah.

Untuk kembali kepada fitrah kita memang tak perlu menunggu momen atau mencari waktu khusus. Justru gerak kita memperbaiki diri itulah yang besar pengaruhnya terhadap suatu momen. Maka, mulailah ber-riyadhah, ber-marhalah, dan niatkan untuk terus istiqamah- 'menuju' muslim kaffah mulai saat ini. Langkah awal yang dimulai dari kesadaran pribadi untuk menjadi penganut Islam yang utuh itulah, yang kelak membentuk kesadaran umum, akan perlunya sistem sosial dan politik yang juga kaffah, yaitu : khilafah.

Sunday, July 10, 2005

Ketika Qur'an Dihina

9 Mei 2005, Newsweek menyiarkan kabar : "..telah terjadi pelecehan atas Al-Qur'an, kitab suci umat Islam." Dalam kolomnya itu, Newsweek menengarai interogator pasukan AS telah meletakkan copy-copy lembaran Al-Qur'an dalam toilet, sebelum mereka memusnahkannya kedalam kloset. Tindak menghinakan itu bertujuan untuk melumpuhkan mental tawanan Afghanistan di penjara Guantanamo, yang notabene adalah para penganut Islam. Hati umat muslim seluruh dunia tentu saja merasa pilu dan geram mendengar kabar yang memerahkan telinga itu. Kitab berisikan wahyu dari Allah- pemilik jiwa mereka, kitab yang mereka warisi dari Nabi SAW yang mulia, telah dilecehkan begitu rupa. Kemarahanpun berkobar di seantero dunia. Melaknat-mengutuki perbuatan biadab tersebut. Mata sebagian besar umat muslim yang marah, sampai detik ini, masih menyorot tajam pihak yang mereka anggap paling bertanggung-jawab atas tindakan penghinaan itu, yakni : Pemerintah Amerika Serikat.

Dihadapan anggota sub komite senat bidang anggaran negara, operasi luar negeri dan program-program terkait, Condoleeza Rice, Menteri Luar Negeri AS, memberikan pernyataan, untuk menanggapi nota protes dari berbagai negara Islam di dunia. "Jika terbukti benar, kami akan menindak mereka yang terlibat dengan tegas. " ujarnya."Kami menghormati kitab-kitab suci agama-agama besar dunia. Pelecehan terhadap Al-Qur'an adalah tindak yang sangat menjijikkan pada pandangan kami." tambah peraih gelar doktoral studi "International Security And Arms Control" dari Stanford University itu. Rice lalu mengutip prinsip kebebasan beragama yang tercantum dalam pasal undang-undang dasar negara Amerika Serikat. Menurut Rice, AS merupakan negara yang sangat melindungi hak setiap pribadi untuk beribadah sesuai agama yang dianut.

Setelah pernyataan Condoleeza Rice disiarkan Kedubes AS dan ramai dilansir media cetak/ elektronik Indonesia pada jum'at, 13 Mei 2005, reaksi keras mulai ditunjukkan oleh elemen-elemen kaum muslimin di negeri ini. Hizbut Tahrir (HT), salah satu gerakan Islam yang eksis dikalangan kampus-kampus di Indonesia, menggelar tabligh akbar di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tampil sebagai pembicara KH Muhammad Al Khattath dari HT dan Saleh Mahmud dari Front Pembela Islam (FPI). KH Muhammad Al Khattath menuntut George W. Bush, Presiden AS, untuk menyiarkan permintaan maafnya kepada umat Islam seluruh dunia. Saleh Mahmud dari FPI bahkan berbicara lebih lantang. "Kita susun barisan kekuatan Islam. Jangan pernah takut ditangkap atau mati. Jangan ada pendzhaliman atau pelecehan terhadap Islam lagi !" himbaunya dihadapan peserta tabligh yang terdiri dari ormas HT, FPI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Gerakan Pemuda Muslim Indonesia (GPMI). Hadirin yang mayoritas mengenakan sorban-baju koko warna putih, tampak begitu antusias mendengarkan ceramah dari para tokoh-tokoh ormas.

Dari gedung Departemen Luar Negeri Indonesia di Pejambon, Jakarta Pusat, juru bicara departemen, Marty Natalegawa, menyampaikan protes pemerintah Indonesia terhadap AS."Kita sangat menyesali dan sangat tidak dapat menerima terjadinya insiden tersebut," jelas jubir Kementerian Luar Negeri itu pada Jum'at, 13 Mei 2005."Kitab suci seperti Al Qur'an, Injil, ataupun kitab-kitab yang lainnya harus dihormati. Untuk itu kami mendesak pemerintah AS agar menangkap pelaku dan memberinya hukuman setimpal." tambah Marty lagi. Suara pemerintah Indonesia tersebut diimbuhi pula oleh suara dari kalangan parpol Islam. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) meminta Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, mengurungkan kunjungan kenegaraannya ke AS. Menurut Lukman Hakiem, SBY sebagai kepala negara dengan mayoritas Islam terbesar di dunia, harus membatalkan kunjungan kenegaraannya pada akhir Juni, sebagai wujud penghayatannya terhadap luka yang mendalam bagi umat Islam di seluruh dunia. Jika George W. Bush telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, jika pelaku-pelaku pelecehan itu telah ditangkap dan diberi hukuman setimpal, barulah FPPP menganggap layak Presiden RI melakukan kunjungan ke AS.

Jika ormas-ormas Islam, pemerintah RI, ataupun kalangan parpol Islam mengeluarkan pernyataan keras melalui cara-cara yang tertib, maka tidak demikian halnya dengan para pemrotes dari kalangan mahasiswa. Salah satunya di kota Makassar, Sulawesi Selatan. Di sana, reaksi keras diwujudkan oleh mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin dengan cara melakukan sweeping warga AS. Hotel Imperial Aryaduta, Makassar Golden Hotel, dan Hotel Pantai Gapura menjadi sasaran sweeping mahasiswa terhadap warga AS. Saat sweeping mahasiswa sempat bersitegang dengan petugas keamanan hotel dan polisi. Mahasiswa berhasil menduduki lobi hotel lantas ngotot meminta daftar tamu dari pihak hotel. Keinginan itu dipenuhi oleh pihak hotel. Setelah memeriksa daftar tamu yang disodorkan, akhirnya mereka menemukan beberapa nama asing. Ketika mahasiswa menuntut agar ditunjukkan keberadaan tamu-tamu tersebut, pihak hotel menyatakan bahwa tamu yang dimaksud sudah check out. Sempat terjadi ketegangan, sebab mahasiswa masih tidak memercayai keterangan dari pihak hotel.

Kemarahan umat muslim Indonesia tak seberapa besar dibandingkan reaksi saudara-saudaranya di Afghanistan ataupun Pakistan. Di propinsi Baluchistan, seribu warga Pakistan menggelar demonstrasi besar-besaran. Para demonstran yang terdiri dari warga, pelajar, mahasiswa muslim, memulai aksinya dari Masjid di Quetta, perbatasan Afghanistan, sembari membawa spanduk dan gambar bernada protes terhadap aksi interogator AS di Guantanamo. Selesai demonstrasi di jalan-jalan utama Quetta, mereka mendengarkan orasi para pemimpin aliansi enam partai Islam yang tergabung dalam Muttahida Majlis-e-Amal (MMA). Tak hanya menginjak-nginjak bendera AS, setengah histeris para demonstran meneriakkan yel-yel anti George W. Bush, serta kecaman terhadap Presiden Pakistan, Pervez Musharraf. Demonstrasi di Baluchistan itu menyulut aksi yang sama diseluruh wilayah Pakistan. Peshawar dan Lahore mencatat aksi yang tak kalah sengit. Di dua kota tersebut, para demonstran meneriakan kata-kata : "Hancurlah Amerika !", selain melakukan aksi pembakaran bendera AS dan Patung George W. Bush.

Sejak Afghanistan diluluh-lantakkan, dan Irak jatuh dibawah imperialisme AS, tak terhitung aksi-aksi protes serupa yang terjadi terutama di negara mayoritas berpenduduk Islam. Tak jarang aksi menentang pendudukan AS itu malah memakan korban luka atau jiwa dikalangan kaum demonstran- pun aksi-aksi serupa di Afghanistan baru-baru ini. Dalam siaran Radio Jerman, Deutsch Welle, 16 orang tewas karena aksi brutal menentang tindakan oknum pasukan AS, dalam sebuah demonstrasi di Afghan. Setelah korban jatuh, pada hari Senin, 16 Mei 2005, melalui pernyataan salah seorang wartawannya,Daniel Klaidman, Newsweek menarik pemberitaan tentang tindakan para interogator AS di Guantanamo itu. Majalah terkemuka AS itu mengakui adanya kekeliruan dalam depth-reportase mereka, dan meragukan informasi yang mereka peroleh dari sumber mereka di Guantanamo. Mark Whitaker, sang pemimpin redaksi majalah Newsweek, dalam wawancaranya dengan stasiun televisi NBC pada Selasa, 17 Mei 2005, justru malah menuding 'kaum muslim radikal' telah memanfaatkan pemberitaan tersebut sebagai momen untuk berbuat keonaran.

Ketika sesama saudara kita kaum muslimin dihinakan, selayaknya sebagai saudara seiman kitapun merasa terhina. Antara muslim yang satu dengan muslim lainnya ibarat satu tubuh. Jika yang satu perih, yang lainpun akan merasakan kepedihan serupa. Begitulah hakikat persaudaraan sesama muslim. Dan disaat kitab suci Al Qur'an dilecehkan, kemarahan kita bersama adalah sebentuk kewajaran, bahkan suatu kewajiban, sebab pelecehan terhadap Al Qur'an sama saja penistaan terhadap falsafah hidup yang kita anut sebagai muslim. Namun, dalam kegeraman kita masih dituntut untuk berpikir jernih. Jangan sampai reaksi kita menjurus pada tindak berlebihan, misalnya dengan balik mencaci dan menghina perangkat-perangkat sakral agama lain. Itu bukan penyelesaian masalah. Nabi Muhammad SAW pernah memperingatkan kita melalui sabdanya, "Orang yang hina adalah orang yang menghina agama orang lain, sehingga orang yang beragama lain itu balik menghina agamanya sendiri." Dalam berbagai hadits, beliaupun telah menunjukkan bagaimana caranya bersikap sabar, ketika menghadapi celaan dan hinaan kaum kafir quraisy ataupun orang-orang Yahudi.

Untuk menyikapi peristiwa ini dengan benar, sebaiknya kita memilah, meneliti kronologinya secermat mungkin. Salah seorang anggota Majelis Syuro Komite Persiapan Penegakan Syari'at Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, Mansyur Semma, menilai ada apa-apanya dibalik berita pelecehan Al Qur'an yang hanya di-blow up media barat di wilayah sekitar Afghanistan, Pakistan dan Timur Tengah. Bisa jadi pemberitaan Newsweek adalah bagian dari strategi AS untuk memancing reaksi Al Qaeda atau kalangan muslim fundamentalis, yang selama ini mereka anggap sebagai onak imperialisme AS di 'Jalur Emas Hitam'. Andai Al Qaeda atau kalangan muslim lain menunjukkan reaksi kerasnya, berarti kesempatan bagi AS untuk bertindak represif, layaknya pasca Tragedi 911 yang berujung pada invasi AS ke wilayah Afghanistan. Jadi, bisa saja pemberitaan Newsweek ini sekedar alat untuk memancing reaksi kaum muslimin pada umumnya, sehingga AS bisa menyapu semua potensi sumber daya umat dengan sebebas-bebasnya.

Kita memang perlu mengelola emosi, agar reaksi kemarahan kita tetap menghasilkan output positif bagi diri dan sesama umat. Kita bisa memulainya dengan sedikit evaluasi, sedikit bertanya : Apakah ada media Islam yang mampu melayani kebutuhan umat akan informasi, sehingga umat tidak melulu terprovokasi oleh berita-berita media sekuler diwaktu sekarang ini ? Lantas, sampai dimana kepercayaan umat terhadap media Islam yang ada, sehingga umat tak perlu mengambil sikap dengan pedoman referensi media-media sekuler ? Setidaknya itulah sedikit hikmah dibalik peristiwa ini. Hikmah lainnya akan terungkap, setelah kita kembali mentadzaburi Al Qur'an Nur karim. Siapa tahu apa yang diperbuat opsir laknat di Guantanamo itu, pada hakikatnya, tak seburuk perilaku kita yang mengaku muslim, tapi kerap melanggar larangan-Nya ; sering melalaikan perintah-Nya, yang termaktub dalam kitabullah tersebut. Kendati apa yang dilakukan opsir laknat itu -jika memang terjadi - begitu sangat memedihkan hati, mari kita camkan dalam jiwa ini : "Takkan hina Al Qur'an karena pelecehan mahluk ataupun seorang manusia. Kehinaan dan laknat hanya bagi orang yang melecehkannya, enggan membacanya, malas menghayati makna dibalik huruf demi hurufnya, ragu atas petunjuk yang tersirat dalam ayat-ayatnya." Wallahu a'lam bish shawab.

Nilai Sedekah Kita

Saat seorang Bapak terjaga diwaktu subuh, berangkat mandi, melakukan shalat, santap pagi bersama istri dan anak lalu berangkat kerja, adakah terlintas dibenak kita bahwasanya detik-detik yang dilewati sang Bapak adalah sebuah sedekah ? Waktu Ibu menanak nasi-menata meja, menyiapkan baju sekolah lantas membantu Bapak mengenakan dasi, adakah terbersit dipikiran kita bahwasanya kerutinan biasa itu merupakan wujud perbuatan sedekah. Dan saat seorang anak tersenyum pada orangtuanya menjelang berangkat sekolah, adakah terpikir bahwasanya sepenggal tawanya adalah sedekah yang bernilai besar pada pandangan Allah SWT ?

Ada 21 ayat dalam Al Qur'an yang mengandung kata sedekah (2:196 ; 2:263 ; 2:264 ; 2:271 ; 2:276 ; 2:280 ; 4:92 ; 4:114 ; 5:45 ; 9:58 ; 9:60 ; 9:75 ; 9:76 ; 9:77 ; 9:79 ; 9:103 ; 9:104 ; 12:88 ; 33:35 ; 57:18 ; 58:12 ; 58:13 dan 63:10) Besarnya nilai sebuah sedekah salah satunya tersirat dari firman Allah SWT : ''Engkau tak akan mendapatkan kebaikan apa pun hingga kalian menyedekahkan sebagian harta yang paling kalian cintai. Ketahuilah, apa pun yang kalian infakkan, Allah pasti mengetahuinya.''(Ali 'Imran: 92). Dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Musa radhiyallahu 'anhu- juga berkata, bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda, "Setiap muslim wajib bersedekah." Untuk memuaskan pertanyaan sahabat-sahabatnya, Rasulullah SAW lalu mengemukakan empat cara, empat tingkat kesanggupan seseorang dalam bersedekah. Pertama, "Bekerjalah dengan tanganmu sehingga berguna bagi dirimu dan kamu bisa memberi sedekah." Dua, "Membantu orang yang sangat membutuhkan." Tiga, "Menganjurkan kebaikan." Empat, "Menahan diri dari kejahatan, maka itu sedekah untuk dirinya sendiri."

Ustadz H.A. Hasan Ridwan, dalam sebuah rubrik konsultasi Islam, mendefinisikan sedekah sebagai pemberian dari seorang muslim secara sukarela dan ikhlas tanpa dibatasi waktu dan jumlah (haul dan nisab). Dengan demikian, sedekah digolongkan sebagai salah satu bentuk kebaikan pengundang keridlaan Allah 'azza wa jalla. Dari segi bentuk, sedekah sesungguhnya tidak dibatasi pemberian dalam bentuk uang, tetapi sejumlah amal kebaikan yang dilakukan oleh seorang muslim, tambah Ustadz yang sehari-harinya aktif mengajar di IAIN Sunan Gunung Jati itu. Membaca firman Allah, sabda Rasulullah dan definisi mengenai sedekah dari seorang ulama itu, sedekah mengandung nilai sosial sekaligus nilai material. Kedua nilai itulah yang akan menjadi ukuran bobot sedekah sebagai suatu amal shalih.

Dalam Al Jamius Shahih Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah SAW pernah bercerita : - Ada seorang lelaki berkata, "Aku akan memberikan sedekah pada malam ini. Lalu dia keluar membawa sedekahnya dan meletakkannya di tangan seorang perempuan yang berzina yaitu pelacur. Keesokannya, orang ramai mulai membicarakan perempuan yang telah menerima sedekah pada malam itu. Mendengar gunjingan tersebut, lelaki itu lalu berkata: "Wahai Tuhanku! Hanya pada-Mu tempat segala puji ! Sedekahku telah kuberikan kepada wanita yang berzina. Maka aku akan bersedekah lagi." Lalu keluarlah dia membawa sedekahnya dan meletakkannya di tangan seorang kaya. Keesokan harinya orang ramai mulai membicarakan seorang kaya yang telah menerima sedekah. Mendengar hal tersebut, lelaki itu kembali berkata: "Wahai Tuhanku! Hanya pada-Mu tempat segala puji. Sedekahku telah kuberikan pada seorang yang kaya. Maka aku akan bersedekah lagi." Lantas keluarlah dia membawa sedekah dan meletakkannya di tangan seorang pencuri. Esoknya orang ramai mulai bercakap-cakap mengenai seorang pencuri yang telah menerima sedekah. Mendengar peristiwa tersebut, lelaki pemberi sedekah lalu berkata menyesali diri : "Wahai Tuhanku ! Hanya pada-Mu tempat segala puji ! Sedekahku telah aku berikan kepada seorang perempuan zina, pada orang kaya dan pada pencuri." Seseorang kemudian datang kepada lelaki itu. Tamu itu menasehati sang lelaki pemberi sedekah : "Sedekahmu benar-benar telah diterima. Boleh jadi perempuan zina itu berhenti dari zina karena sedekahmu. Orang kaya itu dapat pula mengambil pelajaran dan mau membelanjakan sebagian dari harta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya, dan mungkin juga pencuri itu akan berhenti dari mencuri karena sedekahmu itu." (H.R. Bukhari-Muslim).

Merenungkan sabda Rasulullah SAW itu, selain dampak sosial dan materi, kesempurnaan pemberian ditentukan pula oleh spirit sang pemberi sedekah. Nilai spiritual yang dibangun dari sebentuk keikhlasan. Nilai spiritual ini melengkapi nilai sosial dan material sebuah sedekah, seperti terungkap dalam hadits dari Anas bin Malik r.a. Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW bersabda : -Allah SWT menciptakan bumi, maka bumi pun bergetar. Lalu Allah pun menciptakan gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya : "Ya Rabb, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada gunung?" Allah menjawab, "Ada, yaitu besi" Para malaikat pun kembali bertanya : "Ya Rabb, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada besi?" Allah menjawab, "Ada, yaitu api." Bertanya kembali para malaikat : "Ya Rabb, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada api?" Allah menjawab, "Ada, yaitu air." Malaikat kembali bertanya : "Ya Rabb, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat daripada air?" Allah pun menjawab, "Ada, yaitu angin." Akhirnya, malaikat bertanya untuk kesekian kalinya : "Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih dari semua itu?" Allah yang Maha Gagah kemudian menjawab, "Ada. Yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya."

Masyarakat ahli sedekah adalah masyarakat yang unggul secara sosial, material dan spiritual. Masyarakat dengan keunggulan seperti itu dibangun dari akumulasi keluarga yang gemar bersedekah. Keluarga yang secara sadar maupun tidak terbiasa melakukan sedekah, biasanya adalah sebuah keluarga dengan rutinitas wajar. Deskripsi di alinea pertama menggambarkan sebagian saja dari ciri keluarga dengan rutinitas wajar. Dalam keluarga demikian, rasa kasih-mengasihi, rasa sayang menyayangi mencuatkan sifat empati. Setelah empati tumbuh diantara para anggota keluarga tersebut, masing-masing anggota keluarga akan peka terhadap lingkungan luar keluarganya. Mereka kelak menikmati hubungan baik dengan tetangga, menyukai silaturrahmi antar kerabat dan saudara, serta cepat terpanggil untuk menolong orang lain yang tengah dilanda kesusahan. Sejak awal tahun sampai dengan saat ini, Allah SWT sepertinya tengah melatih kita, baik sebagai individu maupun sebagai institusi keluarga, untuk senantiasa peka dan hirau terhadap kesulitan orang lain. Berawal dari pengumpulan dana untuk korban tsunami Aceh, Nias, maupun banjir dan longsor yang kerap terjadi diberbagai daerah di Indonesia, kita sebagai pribadi maupun institusi keluarga diingatkan juga untuk selalu berempati pada korban wabah penyakit- mulai dari demam berdarah, malaria, kolera, sampai wabah polio liar yang melanda baru-baru ini. Rata-rata mereka yang terjangkiti adalah keluarga golongan ekonomi lemah, yang untuk hidup bersahaja sehari-hari saja sudah demikian sulit. Dorongan untuk bersedekah tersebut sudah semestinya dimanfaatkan dengan baik, mengingat manfaat multi bagi pemberi dan penerimanya. Bukankah hadits telah memberitahu kita bahwasanya sedekah mampu merubah kenistaan seorang pelacur, kerakusan seorang hartawan, juga kelicikan seorang pencuri ? Dan bukankah hadits telah menjanjikan derajat tinggi bagi seorang pemberi sedekah, sekaligus menjanjikan akhir yang baik bagi penerimanya ? Dengan pengetahuan atas janji Allah dan Rasul-Nya tersebut, kita berharap sedekah kita diwaktu lampau dan akan datang selalu mengundang keridlaan Allah dan berkah bagi penerimanya. Ingatlah, banyak saudara kita yang sedang menantikan berkah pertolongan dari sedekah kita.

Usai Shalat Di Raudhah

Subuh belum sampai di Madinah. Menghadap mihrab Paduka Rasulullah, selesai tahajud di Raudhah, saya terkenang saat halaqah bersama di surau subulus salam. Di surau masa kecil itu, pada suatu sore yang beku dan basah, saya dan kawan-kawan berkumpul mengelilingi Pak Ero, ustadz kami di desa. Lepas ashar, menantikan maghrib tiba, dengan tekun kami menyimak Sirah Nabawiyah yang dirawikannya. Dalam suara berat, Pak Ero menguraikan dengan teliti kisah heroik perjuangan Baginda Nabi, dikala mengibarkan panji-panji Islam di segenap jazirah Arab. Suka-duka Baginda Nabi dihidupkannya lewat kata-kata. Waktu cerita memasuki episode memilukan, kami dibuat sedih mengenangkan getirnya penderitaan Baginda Nabi. Waktu cerita memasuki episode gemilang, kami dibuat bangga atas kemenangan yang diraih Baginda Nabi. Dan ketika Pak Ero menuturkan detik-detik kepergian lelaki Junjungan Alam tersebut, dada kamipun menjadi sesak. Mata ikut berkaca-kaca. Mengira-ngira perasaan yang hadir, ketika Izrail tengah menarik ruh suci Sang Nurul Mustafa.

Selesai tahajud di Raudhah, terbayang juga wajah Kang Rofik, wajah 'Mas Iin' Mustain, dua murabi saya semasa kuliah. Sambil memandangi mihrab, langit-langit masjid Nabawi, saya terkenang saat 'mengaji' dahulu : sorogan di beranda masjid Nurul Jamil, diskusi di ruang tamu asrama Indramayu.

***

Kang Rofik, adalah seorang ustadz yang sejak belia sudah didapuk memimpin pesantren besar : Pondok Pesantren Manba'ul Huda-Cijawura Girang, Bandung. Dari murid KH Aceng Zakaria (ulama Fiqh terkemuka Jawa Barat) yang memilih dikawinkan daripada kuliah di Kairo itu, saya sempat dihadiahi beberapa serial kuliah tauhid. Sumber utama kuliah sorogan itu adalah sebuah kitab salaf : Syarah Tsalatsatul Ushul. Risalah karya Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin yang berisi kajian Ma'rifatur Rabb (mengenal Tuhan), Ma'rifatud Din (mengenal agama Islam) dan Ma'rifatun Nabi (mengenal Nabi). Karena runtutnya keterangan dalam kitab tersebut, didukung oleh suasana masjid Nurul Jamil yang balkonnya sejuk, kuliah Kang Rofik bisa saya serap dengan baik.

Jalan mengenali Rabb manusia, menurut Syarah Tsalatsatul Ushul, adalah dengan menatap-merenungkan ayat-ayat kauniyah (alam,mahluk, keajaiban penciptaan), serta menyimak dengan khusyuk ayat-ayat syar'iyah-Nya (nilai-nilai keadilan, kemaslahatan, pencegahan kerusakan yang termaktub dalam firman Al-Qur'an). Berkenaan dengan Ma'rifatud Din, Syarah Tsalatsatul Ushul menentukan beberapa maqam : Islam, Iman, Ihsan. Islam adalah maqam paling dasar dan ihsan merupakan maqam yang tertinggi. Seseorang bisa dikatakan sudah menganut Islam, ketika ia telah mengucap dua kalimat syahadat, menegakkan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan berhaji ke Baitullah Al-Haram ketika mampu. Maqam ke-2 adalah Iman. Rukunnya adalah iman kepada Allah SWT, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari akhir, kepada qadar (takdir) yang baik ataupun buruk. Maqam ke-3 dan terakhir adalah Ihsan. Meski ditentukan sebagai maqam yang tertinggi, Ihsan ini rukunnya cukup satu saja. Yaitu : "Seseorang beribadah kepada Allah seakan-akan ia tengah melihat-Nya. Seandainya ia tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatnya."(H.R. Bukhari-Muslim). Dalil naqlinya sendiri adalah firman Allah SWT : "Sesungguhnya Allah bersama-sama orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan." (Q.S. An-Nahl : 128).

Panjang lebar Kang Rofik menerangkan soal ma'rifatur rabb dan ma'rifatuddin. Baru setelahnya ia menerangkan ihwal ma'rifatun nabi. Dalam Syarah Tsalatsatul Ushul, pengenalan terhadap diri Baginda Nabi meliputi pengetahuan nasab, pengetahuan sunnah, kehidupan kenabian dan mengetahui dengan apa beliau ditahbiskan sebagai nabi dan rasul, serta untuk apa beliau diutus kepada umat manusia. Mengenal nasab artinya mengetahui bahwa Baginda Nabi adalah manusia yang paling mulia nasabnya. Tahu bahwa beliau berasal dari keturunan Bani Hasyim, bersuku Quraisy dan berbangsa Arab. Termasuk pengetahuan nasab adalah mengetahui nama lengkapnya : Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim. Dari garis keturunan tersebut, diakui bahwa beliau termasuk keturunan Ismail a.s. putera pertama Ibrahim a.s. dari Siti Hajar. Setelah mengetahui nasab beliau, lalu dianjurkan untuk mengetahui apa-apa yang pernah disabdakan oleh Baginda Nabi (mengenali sunnahnya). Pengetahuan sunnah tersebut diperkuat lagi dengan pengetahuan tentang apa-apa yang beliau perbuat dalam lingkup dakwah beserta cara hidup keseharian (mengenali kehidupan kenabiannya). Dituliskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin dalam Syarah Tsalatsatul Ushul, bahwasanya Baginda Nabi SAW ditahbiskan sebagai nabi dengan turunnya firman Allah SWT : "Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari sesuatu yang bergantung ('alaq). Bacalah, dengan nama Rabb-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajar dengan perantaraan 'pena'. Dia mengajarkan kepada manusia sesuatu yang belum diketahuinya." (Q.S. Al-A'laq : 1-5). Sedangkan pentahbisan beliau sebagai rasul berlandaskan pada firman : "Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan. Agungkanlah Rabb-mu. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah perbuatan kotor (paganisme). Janganlah kamu memberi dengan tujuan memperoleh balasan yang lebih banyak. Bersabarlah untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu." (Q.S. Al-Muddatstsir : 1-7). Sebagai nabi dan rasul beliau diutus untuk menegakkan kalimat laa ilaaha illallaah, bahwasanya tiada yang patut disembah oleh manusia kecuali Allah SWT, Tuhan sekalian alam. Beliau diutus untuk mencegah manusia dari berbuat sesuatu yang dibenci Allah SWT, dan menyuruh manusia berbuat sesuatu yang bisa mengundang ridha-Nya. Pada hakikatnya, Baginda Nabi adalah rahmat bagi sekalian alam. Yang akan mengeluarkan manusia dari kegelapan dosa musyrik, kekufuran, kejahiliyahan. Terbebasnya manusia dari dosa-dosa besar tersebut membuat manusia berhak memperoleh maghfirah, keselamatan dari siksa neraka yang pedih dan kesempatan meninggali surga yang abadi.

***

Selain kuliah sorogan di beranda masjid Nurul Jamil, seringkali pula saya 'mengaji' ma'rifatun nabi di asrama Indramayu, tempat wong Karang Ampel bermukim di Bandung Utara. Rata-rata penghuni asrama yang letaknya persis di belakang outdoor equipment shop "Alpina" itu adalah kenalan baik. Maklum, beberapa diantaranya teman satu angkatan di universitas. Kebanyakan dari mereka pernah nyantri sebelum kuliah. Bahkan ada yang pernah mukim 10 tahun lebih di Buntet, pondok pesantren asuhan KH Fuad Hasyim (Mbah Hasyim), putra Al-Mukaram KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama.

Mustain, biasa saya panggil Mas Iin, adalah teman paling akrab yang saya dapuk sebagai guru, tempat ngalap elmu. Pengalamannya nyantri sejak kecil, membuat saya percaya untuk bertanya macam-macam hal berkenaan dengan syari'at, aqidah dan bidang spesialisasinya : tarikh Islam. Kang Rofik bahkan menganggap pengetahuan fiqh Mas Iin beberapa tingkat diatas dia. "Ustadz Rofik jelas lebih faqih dari saya. Sebab dia mengamalkan ilmunya dengan ngawuruk di Pesantren." ucap Mas Iin menimpali pujian Kang Rofik. Hal itu dicetuskannya ketika saya, Kang Rofik dan Mas Iin selesai Shalat Jum'at di Masjid Al-Amanah, Bukit Dago Utara, Bandung.

Dalam hemat Mas Iin, aqidah, syari'at dan tarikh perlu serentak dipelajari, agar seorang muslim mampu memahami korelasi antara sub-sub pokok yang terkandung dalam kajian Dinul Islam tersebut. Belajar aqidah dan syari'at tanpa ditunjang pengetahuan tarikh bisa menyebabkan taklid, ketidak-merdekaan dalam menganut Islam, serta salah pemahaman terhadap aspek ritual atau ibadah mahdhah dan ghair mahdhah tertentu. Misalnya, perkara menggerakkan telunjuk dikala tasyahud akhir dalam shalat. Tata cara yang dikuatkan oleh petunjuk hadits dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu itu, terbilang shahih bagi sebagian ulama. Mengingat kronologis atau sejarahnya, Ibnu Mas'ud datang ke surau memang untuk menyaksikan cara shalat Baginda Nabi. Dari takbiratul ihram sampai dengan salam, Ibnu Mas'ud memperhatikan cara shalat Baginda Nabi. Ternyata pada saat tasyahud akhir, Ibnu Mas'ud melihat Baginda Nabi menggerak-gerakkan jari telunjuknya. "Itulah sebabnya beberapa ulama mendukung sikap tasyahud yang demikian. Disinilah letak relevansi tarikh sebagai problem solving bagi masalah-masalah syar'i, khususnya terkait dengan ibadah mahdhah."jelas Mas Iin suatu kali.

Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW adalah teks inti dan urgen dalam tarikh, karena merupakan awal dari kronologi sejarah peradaban Islam, yang bermula dari Arab hingga menyebar ke seluruh penjuru dunia. Membaca teks riwayat hidup beliau, selain berkesinambungan dengan ikhtiar ma'rifatuddin sesuai petunjuk kitab Syarah Tsalatsatul Ushul, membawa diri seorang muslim pada penghayatan nilai-nilai perjuangan Baginda Nabi. Terkait dengan kejelasan unsur deskriptif, kerunutan naratif, akurasi informasi dan struktur bahasa, Mas Iin merekomdendasikan The Sealed Nectar karangan Safiyur Rahman Mubarak-puri dan History Of Life Prophet Muhammad karangan Muhammad Husin Haekal untuk saya pelajari. Mas Iin kebetulan tidak punya terjemahan dalam bahasa Indonesia. Dia hanya punya edisi Arab dan bahasa Inggris, oleh-oleh dari kawannya yang berkesempatan kuliah di Ummul Quro University, Mekkah, dan Madinah Al-Munawwarah University, Madinah. Karena tidak bisa berbahasa Arab, saya pinjam dua edisi terjemahan Inggris. Masing-masing saya khatamkan satu bulan lebih. "Alhamdulillah. Akhirnya buku kiriman kawan saya ini bisa dimanfaatkan. Terus terang saya belum baca yang versi Inggrisnya." kelakar Mas Iin, disaat saya mengembalikan dua buku berjilid hard cover tersebut.

Hampir semua bab dalam The Sealed Nectar maupun History Of Life Prophet Muhammad memberikan kesan kuat. Yatim-piatunya beliau pada usia kanak-kanak, bagaikan awal kisah balada yang sarat dengan pesan kemanusiaan. Membaca episode kehidupan di masa-masa remaja Baginda Nabi, tersimak bakat besar kepemimpinan yang ada dalam diri beliau. Dari biografi yang ditulis sarjana muslim terkemuka itu, saya baru mengetahui bahwa Baginda Nabi di usia 15 tahun pernah terlibat Battle Of Fajjar (peperangan Fijar) : perang antara suku Zubaid dengan Quraisy yang sudah berlangsung seabad lebih. Beberapa tahun setelah itu, Baginda Nabi tercatat sebagai aktivis termuda yang aktif dalam ikrar ishlah Hilful Fazul. Ikrar Ishlah untuk mendamaikan konflik kedudukan, materi dan ambisi kelompok ini kira-kira berisikan : ''Barangsiapa, dari suku mana pun yang menemukan anggota suku yang melanggar aturan, norma, dan nilai yang berlaku, maka perlu dikenai sanksi yang tepat tanpa memandang derajat dan kedudukannya.'' Reformist movement tersebut mengakhiri perseteruan panjang antara dua suku terkemuka di Arab.

Selain kagum akan jiwa kepemimpinan Baginda Nabi yang telah terpupuk selagi muda, selain takjub atas gelar Al-Amin yang diterakan orang-orang Quraisy kepada beliau, saya juga terkesan atas perjuangan Baginda Nabi yang sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis jazirah Arab. Cuaca yang ekstrem di areal gunung cadas dan padang pasir yang terdeskripsikan dalam teks, menggambarkan betapa peperangan melawan kaum kafir, khalwat di Gua Hira, sembunyi di Jabal Tsur, hijrah dari Mekkah ke Madinah, bukanlah semata perkara yang enteng dan demikian mudah. Kemenangan Badr yang diraih pada bulan suci ramadhanpun- dengan demikian- merupakan kemenangan yang sangat fenomenal dalam pandangan saya. Dengan jumlah pasukan yang kalah banyak, sambil menahan haus dan lapar, pasukan Islam mampu meraih kemenangan dikala itu.

Selesai tahajud di Raudhah, sayapun jadi teringat pengalaman ziarah Mekkah, saat mengambil miqat umrah ke-2 dari Masjid Ja'ranah sehari sebelumnya. Menyaksikan Jabal Tsur, Gua Hira, dan menempuh jarak perjalanan Mekkah-Madinah dengan bis milik Syarikat Tamimi, deskripsi dalam The Sealed Nectar dan History Of Life Prophet Muhammad seolah gugur kedahsyatannya. Apa yang saya saksikan lebih dari apa yang pernah terbayang. Jabal Tsur betul-betul terdiri dari batu cadas, Gua Hira begitu terpencil dari Ka'bah, pusat kota Mekkah. Tak terbayangkan oleh saya ketika Abdullah putera Abu Bakar Ash-Shiddiq mesti berjalan mundur dalam mencapai Gua Tsur. Dan lebih tak terbayangkan lagi, ketika saya mengenangkan saat-saat Baginda Nabi hijrah ditemani Abu Bakar r.a., mengarungi padang pasar dan bukit-bukit cadas sampai ke Madinah. Perjalanan hijrah itu tentu dinaungi oleh terik matahari jazirah Arab, yang sanggup mengeringkan kulit dan daging.

Renungan di Raudhah membuat saya mengerti, mengapa seorang nabi akhir zaman mesti menerima kabar pengutusannya di kota Mekkah. Melihat medan dakwah yang sulit, sesungguhnya Allah SWT betul-betul menyiapkan Baginda Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu yang paling sempurna, dibandingkan wahyu-wahyu dan utusan sebelumnya. Dia telah menyiapkan wadah bagi penyucian jasmani dan ruhani Baginda Nabi, agar tugas beliau sebagai pemberi kabar gembira bagi penyembah-Nya tunai, tuntas dan sukses. Kenyataan itu nyata terjadi di jaman kita hidup sekarang ini. Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia, Al-Qur'an menjadi kitab yang selalu dipelajari dan ditadzaburi sepanjang masa, dan Al-Hadits selalu dijadikan acuan komprehensif untuk pemecahan masalah kehidupan yang luas. Michael S. Hart, seorang kristiani, bahkan memposisikan Baginda Nabi sebagai orang nomor satu paling berpengaruh di dunia, dalam buku biografi orang-orang berpengaruh sepanjang masa : The Greatest Hundred In History.

Bukti diseganinya Islam berkat buah perjuangan Baginda Nabi, terlihat pula dari upaya Yahudi-Palangis-Qabalis untuk membekuk perkembangan din yang haq ini, pada waktu sekarang. Gerakan pembekukan itu tampak dari aksi-aksi pembantaian di Irak, Sudan dan Palestina ; atau isyu terorisme yang ditudingkan kepada organisasi-organisasi berbendera Islam. Disamping tindak represif dan propaganda politik, musuh-musuh Islampun rajin mengekspor budaya wadak, paham liberal, ke negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim. Dampak determinasi budaya itu melanda terutama kaum muda Islam. Kegilaan mereka terhadap materi membuat mereka konsumtif. Kehausan mereka akan edukasi seringkali hanya bermotifkan reward- baik reward dalam wujud benda ataupun reward dalam bentuk jabatan dus penghormatan. Lebih tragis lagi ketika pengaruh budaya menyaputkan mereka dari figur teladan. Selebritis, politikus, seniman, di era sekarang sudah lazim diidolakan oleh banyak generasi muda kita. Gaya berbicara, mode berpakaian, bahkan tindak-tanduk pesohor yang sesungguhnya buruk, tak jarang ditiru oleh kalangan anak muda di negara dengan mayoritas penduduk muslim. Nama-nama Richard Gere, Tom Cruise, Brad Pitt atau Ricky Martin, lebih akrab di telinga mereka daripada nama-nama sahabat Baginda Nabi. Polah centil Britney Spears, Christina Aguilera, sampai keseronokan Madonna, lebih menjadi buah bibir ketimbang akhlak luhur Siti Khadidjah, Siti 'Aisyah atau Fatimah Az-Zahra. Tak jarang juga anak-anak muda kita, mereka yang mengaku militan, lebih mengenal riwayat hidup 'Che' Guevara daripada kisah perjuangan Baginda Nabi. Dan tak jarang mereka yang intelek, lebih suka mempelajari filsafat Plato, Aristotles, Sartre, Nietszche dan Derrida, ketimbang mengurai hikmah Al-Qur'an dan mutiara hadits warisan Baginda Nabi.

Sungguh ironis, jika saya memalingkan langkah ke belakang, ke Leicester City, Inggris, pada 13 tahun lalu (1992). Di kota tempat mayoritas kristen bertinggal itu, seorang pemuda muallaf bernama Ahmad Von Denffer menerbitkan sebuah risalah singkat : A Day With The Prophet. Buku yang memuat keseharian Baginda Nabi Muhammad SAW mulai bangun tengah malam hingga kembali ke peraduan itu, mengundang kekaguman banyak orang di Inggris. Banyak dari mereka yang kagum lantas intens mempelajari Islam lalu mengucapkan kalimat syahadat. Buah karya Ahmad Von Denffer yang menurut dia sendiri adalah sebuah tulisan sederhana, diterjemahkan pula kedalam bahasa Arab, dengan judul : Yaumun Ma'a Ar-Rasul. Setelah penerjemahannya, buku tersebut menjadi buku yang laris di kawasan Arab, yang notabene merupakan daerah asal Islam. "Cara yang dilakukan Denffer sangat memikat bagi siapa saja yang membacanya. Saya melihatnya sebagai sebuah karya luar biasa, mendalam dan luas mengenai cara hidup Nabi SAW, meski tak seorangpun mampu melaksanakan seluruh perikehidupan beliau. Yang paling berkesan saat membaca buku ini adalah sisi kesederhanaan Nabi SAW. Begitu tampak kemerdekaan beliau dari menghambakan diri kepada materi, terutama yang berkaitan dengan manusia dan segala sifatnya. Cara Nabi SAW menempuh kesehariannya itu merupakan kabar gembira bagi kemerdekaan seluruh umat manusia." komentar DR. Khurram Murad, Chief of The Islamic Foundation. Ahmad Von Denffer sendiri mengharapkan para pembaca bukunya bisa mengikuti pola hidup - minimal sehari- sebagaimana cara Baginda Nabi menjalaninya. "Tidak ada karunia (kenikmatan) yang lebih besar daripada sehari yang dilalui dalam ketenteraman dan keserasian." ujarnya serius, saat ia menjelaskan isi buku yang referensinya kebanyakan diambil dari kitab : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Misykatul Mashabih dan Riyadush-Shalihin.

Dalam konteks pencarian figur teladan itulah, Pak Ero, Kang Rofik, Mas Iin dan Ahmad Von Denffer menjadi demikian berarti untuk saya. Dari tuturan dan tulisan mereka, saya bisa mengenali Uswatun Hasanah, manusia terbaik : Nabi Muhammad SAW. Atas bekal ilmu yang mereka berikan dan bekal materi yang diberikan orangtua saya untuk berumrah, saya bisa menikmati suasana, khusyuk berdoa dan shalat di ketenteraman raudhah. Selesai shalat subuh sayapun beranjak mengikuti antrian banyak orang. "Salaamun 'alaik Yaa Rasulullah. Salaamun 'alaik Yaa Habibullah." gumam mereka lirih. Sesampainya di gerbang makam Baginda Nabi SAW, yang menurut The Sealed Nectar adalah kamar Siti 'Aisyah r.a., shalawat dan salampun terucap dalam getar terbata-bata. Kendati tak bisa bertatap muka langsung dengan Baginda Nabi Muhammad SAW, setidaknya saya merasa telah 'berjumpa hati' dengan beliau. Maka kendati dengan terbata-bata, dengan pipi berlelehan air mata, bibir inipun terus mengucap : "Allahumma shalli 'alaa Sayyidina Muhammad an-'anbiyi wal 'umiyyi wa shalallaahu 'alaihi wa shahbihi wa saliim."

Nikah Beda Agama, Bolehkah ?

Tumbuhnya budaya kosmopolitan di berbagai kota besar dunia telah mengakibatkan lingkup dan gerak pergaulan antar manusia menjadi lebih luas, plural dan beragam. Pergeseran nilai yang disebabkan kondisi lingkungan tersebut berlangsung dengan lebih dinamis dibandingkan era-era lampau. Pergeseran nilai ini tidak hanya terjadi pada pakem-pakem non keagamaan yang tidak dogmatis, bahkan sekat-sekat keagamaan yang relatif rapat dan tertutup untuk kompromi menjadi sasaran untuk ‘direlevansikan’.

Gejala pergeseran bahkan perubahan nilai akibat budaya kosmo yang berbasis pada paham kebudayaan post-modernisme, sistem ekonomi kapitalistik dan metode komunikasi cyberistic yang meniscayakan liberalisasi, ikut mempengaruhi pola dan mengubah cara pandang kalangan umat Islam terhadap pergaulan antar sesama manusia. Salah satu dampak yang paling kentara adalah keberanian kalangan muslimin atau muslimat untuk memilih person-person non-muslim sebagai pasangan hidup. Meskipun, gejala ini sudah barang tentu dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari konsep mainstream, yang dianut mayoritas Islam Indonesia. Tak heran jika kondisi tersebut kerap menimbulkan gejolak, reaksi keras, serta kelimbungan berpikir di kalangan masyarakat Islam.

Dalam beberapa realitas pengalaman di kota-kota besar Indonesia akhir-akhir ini, pernikahan beda agama ini banyak terjadi justru di kalangan pemuda/pemudi Islam yang intelek dan memiliki pengetahuan keislaman yang lebih mapan dari rata-rata pemahaman kebanyakan orang Islam di Indonesia. Walaupun, ada juga separuh dari mereka berasal dari kalangan pemuda/pemudi Islam yang tumbuh besar di lingkungan keluarga yang sekuler, atau kurang intensif membangun iklim keberagamaan secara kaffah dalam keluarganya.

Karena fenomena pernikahan beda agama itu ternyata banyak dilakukan oleh mereka yang dianggap khalayak di lingkungannya memiliki pemahaman lebih mendalam terhadap Islam dibandingkan rata-rata pemahaman umat, maka diperlukan sebuah usaha dini, semacam sparring idea, untuk kembali mengemukakan konsep syari’at Islam yang jernih berkenaan dengan pernikahan beda agama yang melibatkan kaum muslimin dan muslimat. Pencerahan tersebut diawali dari pengumpulan asumsi yang mendukung serta asumsi yang menentang pernikahan beda agama di kalangan umat. Yang kemudian dikomparasikan dengan berbagai dalil agar seterusnya terbentuk sebuah bangun pikir atau ijtihad berlandaskan naluri fitrah, sehingga masalah pernikahan beda agama bisa disikapi secara jernih dan solusional di kalangan masyarakat Islam.

Mereka (umat Islam) yang melakukan dan mendukung pernikahan beda agama, memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama. Prediksi optimis terhadap bakal praktik berumah-tangga yang akan mereka tempuh sebagai pasangan yang lain akidah, ikut menentukan pula langkah yang mereka ambil.

Dalam salah sebuah situs Islam Liberal pernah diceritakan, optimisme seorang pemuda muslim yang mempersunting gadis konghucu. Argumen yang ia kemukakan sebagai niat yang melandasi tercetusnya pernikahan itu adalah : keyakinan secara teologis bahwasanya Islam membolehkan pernikahan seorang lelaki muslim dengan wanita non-muslim. Asumsi tersebut ia sandarkan pada firman Alloh SWT dalam Surat Al-Maa’idah ayat 5 yang membolehkan pria muslim menikahi seorang wanita ahlul-kitab. Pemuda muslim itu beranggapan bahwa seorang konghucu adalah juga ahlul-kitab, karena menurut pemahamannya siapapun yang percaya kepada Tuhan dan mempunyai kitab suci sebagai pegangan beragama, maka mereka termasuk kedalam kategori ahlul kitab. Argumen kedua yang dikemukakannya adalah karena ia berhasrat untuk menguji kebenaran asumsi yang berkembang di masyarakat yang mengatakan, bahwasanya pernikahan beda agama akan memunculkan banyak konflik atau ditengarai rentan perceraian. Di akhir paparannya ia bahkan menandaskan bahwa pernikahannya adalah sebuah “eksperimentasi”.

Menyimak surat Al-Maa’idah ayat 5 dan sebuah hadits riwayat Ibnu Jarir dimana Rasulullah SAW bersabda : “Kita boleh kawin dengan perempuan-perempuan ahlul kitab, tetapi mereka tidak boleh kawin dengan perempuan-perempuan kita”, secara sekilas dapat disimpulkan bahwa seorang muslimah tidak boleh menikahi pria non-muslim dan seorang pria muslim tidak boleh menikahi seorang wanita musyrik/kafir, tetapi ia boleh menikahi seorang wanita ahlul kitab. K.H. Miftah Faridl, seorang ulama besar dari kota Bandung, mencegah umat Islam untuk lekas-lekas mengambil kesimpulan dari landasan kedua dalil naqli tersebut seperti disimpulkan diatas.

Menurut K.H. Miftah Faridl, berkenaan dengan rencana pernikahan seorang muslim, maka ia perlu mempertimbangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi cegahan atau larangan menjadikan seseorang dari kalangan non-muslim sebagai walijah dan bithanah (teman terpercaya yang tahu akan rahasia diri) ; atau suami/istri yang jelas-jelas posisinya lebih tinggi dari seorang walijah atau bithanah. Al-Mukaram K.H. Miftah Faridl merujuk surat Ali ‘Imran ayat 118, At-Taubah ayat 16, At-Tahrim ayat 6, An-Nisa’ ayat 34 dan Thaha ayat : 132 untuk dicermati kembali oleh seorang pria muslim sebelum ia memutuskan untuk melakukan, atau mendukung pernikahan beda agama di kalangan kaum muslimin. Adapun berkenaan dengan seorang wanita muslim, cukup dengan sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Ibnu Jarir yang dikemukakan sebelumnya, maka haram baginya menikah dengan seorang pria non-muslim. Larangan tersebut secara logis seharusnya bisa diterima, karena jika seorang pria non-muslim menikahi seorang wanita muslim, maka posisinya sebagai kepala keluarga memungkinkannya untuk memaksakan kehendak terhadap Istri dan anaknya, agar mengikuti akidahnya yang bukan Islam.

Selain beberapa pertimbangan dalil yang dikemukakan diatas, faktor yang harus dipertimbangkan kemudian adalah konsekuensi praktikal di rumah tangga. Ada kekhawatiran jika seorang pria muslim menikahi seorang wanita non-muslim, maka anak-anaknya kemudian menjadi murtad. Hal itu disebabkan karena dalam keseharian seorang Istri lebih dekat dengan anak-anaknya, sehingga lebih mudah digugu, ditiru, dan otomatis lebih berpengaruh secara de-facto ketimbang suaminya. Bila sampai terjadi anak-anak mengikuti akidah Istrinya yang non-muslim, seorang Suami dapat dianggap gagal menjaga amanah Allah SWT yang termaktub dalam surat Thaha ayat 132 yaitu : “Dan suruhlah keluargamu untuk melakukan shalat dan peliharalah pelaksanaannya...” . Hal Itu berarti pula penyimpangan dari cita-cita sakinah, mawaddah, wa rahmah sebagai objektifitas utama tiap-tiap rumah tangga yang seharusnya diidamkan seorang muslim.

Akhirnya, untuk mensikapi berbagai mudarat yang kemungkinan besar timbul menyangkut keakidahan kita sebagai muslim jika kita menempuh pernikahan beda agama, alangkah lebih baiknya kita meletakkan perkara tersebut sebagai sebuah perkara syubhat yang meragukan dan sebaiknya dihindari. Berusahalah untuk terus istiqamah berikhtiar dan berdoa jika belum diperkenankan Allah SWT mendapatkan jodoh buat dinikahi sebagai pendamping kita dalam menjalani hidup untuk selamanya. Percayalah bahwa Allah SWT akan memberikan jodoh yang terbaik. Dan jika kita berusaha untuk menjadi umat-Nya yang shalih, maka jodoh yang kita dapatkan tentunya adalah pasangan hidup yang shalih atau potensial ‘dishalihkan’ oleh Allah SWT.

Semangat Madinah

Semua berawal dari Yatsrib. Di bawah sengat matahari jazirah Arab, laki-perempuan memenuhi gerbang kota, memandang jauh ke garis horison. Mereka mencari titik-titik hitam, mulai berhitung, lalu memastikan : bahwasanya di kejauhan sana ada sekelompok orang berjalan mendekati.

Ketika titik-titik hitam semakin dekat, penduduk Yatsrib yang berdiri-berkumpul di gerbang kota, makin merapatkan tubuh. Dan saat wajah-wajah pendatang jelas tampak dalam sorot kuning matahari, berlarianlah mereka, berhamburanlah mereka. Beramai-ramai penduduk Yatsrib menyambut kedatangan kelompok orang yang melangkah gontai dari arah horison sana.

Kaum muslimin Yatsrib, yang kemudian dikenal dengan sebutan anshar, dengan kegembiraan besar menyambut ketibaan kaum muhajirin, mereka yang hijrah dari wilayah Mekkah. Di pintu kota mereka saling bertegur dan berpeluk, sebelum orang-orang anshar lalu mengajak kaum muhajirin memasuki kota Yatsrib. Tak hanya sekedar mengajak melihat-lihat, menengok keadaan kota, berbondong-bondong penduduk Yatsrib menarik tamunya untuk singgah, bahkan untuk tinggal di rumah-rumah mereka.

Kisah penyambutan penduduk Yatsrib, kaum anshar, kepada kaum muhajirin yang hijrah bersama Rasulullah SAW, menjadi tonggak awal dari berdirinya masyarakat Madani. Untuk membangun masyarakat ideal berlandaskan nilai-nilai ketauhidan, Rasulullah SAW kemudian mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah, kota peradaban. Di kota inilah, Rasulullah SAW bersama kaum anshar dan muhajirin membangun Masjid Quba ; masjid yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan, melainkan berfungsi pula sebagai tempat musyawarah, tempat perumusan ide-ide untuk memberdayakan masyarakat muslimin, bahkan masyarakat non-muslim di Madinah. Di kota ini pula, Rasulullah SAW merekatkan persaudaraan antara kaum anshar dan muhajirin. Sehingga mereka- anshar dan muhajirin- bisa hidup berdampingan dengan damai, mementingkan toleransi, membudayakan sikap tenggang rasa, serta sama-sama menjunjung tinggi kepentingan umum. Dalam era tersebut, Mitsaq Al-Madinah, dokumen politik pertama dalam sejarah umat manusia dirancang dan disepakati sebagai undang-undang. Piagam yang terdiri dari 50 butir kesepakatan itu mampu mengakomodir berbagai kepentingan golongan, suku, agama, kelompok berbeda yang sama berdiam di Madinah.

Dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW, tatanan masyarakat yang baru terbentuk itu mengalami perkembangan yang mencengangkan. Robert N. Bellah, seorang sosiolog terkemuka, menilai masyarakat yang hidup di era tersebut sebagai : masyarakat yang sangat modern untuk ukuran waktu dan tempatnya. Tak pelak, cendekiawan muslim Prof. Nurcholis Madjid, memuji sikap egaliter, penghargaan prestasi individual (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, serta penafian terhadap faktor genealogis dalam prosedur pemilihan kepemimpinan yang terdapat dalam masyarakat Madinah ketika itu.

Hijrah Rasulullah SAW menandai awal dari era kebangkitan Islam. Setelah terkungkung secara politik dan sosial dibawah tekanan kaum kafir Quraisy yang bersekongkol dengan beberapa tokoh Yahudi Mekkah, kaum muslimin berada dalam kondisi yang kuat pasca hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Hijrah yang secara istilah mengandung arti : meninggalkan negeri asal yang berada dibawah kekuasaan pemerintah kafir ( Q.S. 4:75) ; hijrah dari keburukan menuju kebaikan.

Di jaman kekhalifahan Umar Bin Khattab r.a., tahun hijrahnya Rasulullah SAW dan kaum muslimin Mekkah, diabadikan sebagai tahun awal dalam kalender hijriyah. 17 tahun sesudah peristiwa hijrah terjadi, ketika khalifah Umar menerima surat dengan salah satu redaksional :"Saya telah menerima surat Paduka yang tidak mencantumkan tahun…" , tersadarlah beliau, bahwasanya selama ini masyarakat Arab umumnya, atau kaum muslimin pada umumnya, belum menetapkan patokan waktu dalam penghitungan tahun. Menurut Ustadz Ahmad Sarwat Lc, ulama muda lulusan Universitas Islam Al-Imam Muhammad Ibnu Suud, Saudi Arabia , pada saat itu, penanggalan mereka menggunakan sistem qamariyah : berpedoman pada peredaran bulan terhadap bumi. Mereka sudah menggunakan hitungan hari dalam sebulan dan mereka juga telah mengenal nama-nama bulan yang setahunnya ada 12 bulan. Namun, mereka belum mempunyai hitungan tahun, kecuali dengan mengaitkan pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah, seperti : serangan pasukan gajah pimpinan Abrahah terhadap Ka'bah. Peristiwa itu sering dijadikan sebagai salah satu patokan dalam penyebutan angka tahun. "Hari ini hari apa, tanggal berapa, bulan apa? mereka bisa menjawab dengan tepat. Tapi kalau ditanya, Sekarang tahun berapa? maka mereka akan berbeda-beda dalam menjawabnya. Sebab, mereka belum mempunyai patokan penghitungan tahun yang tetap," tambah Ustadz Ahmad Sarwat lagi.

Dalam menetapkan penghitungan tahun hijriyah, Khalifah Umar Bin Khattab menerima masukan dari sahabat-sahabat yang lain. Pertama, seorang sahabat mengusulkan supaya tahun kelahiran Rasulullah SAW digunakan sebagai awal dari tahun hijriyah. Kemudian, seorang sahabat lain mengusulkan agar tahun wafatnya Rasulullah SAW, digunakan sebagai tahun awal dalam kalender hijriyah. Beberapa sahabat menolak usulan tersebut, karena penentuan itu diperkirakan bisa menimbulkan kesedihan bagi kalangan muslim. Merekapun lalu mengusulkan supaya tahun terjadinya Perang Badr digunakan sebagai patokan, disamping beberapa usulan-usulan lainnya.

Ensiklopedia Islam Untuk Pelajar menuliskan, bahwasanya Ali Bin Abu Thalib k.w., kemudian ikut angkat suara mengemukakan usulnya. Salah seorang sahabat Nabi yang tercerdas ini mengusulkan supaya peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah), digunakan sebagai awal dari tahun Islam. Dalam Dialog Jumat, tabloid Republika, diketahui bahwasanya Khalifah Umar menerima usulan Sayyidina Ali. Khalifah Umar dan para sahabat menganggap hijrah sebagai titik pemisah antara masa Mekkah dan masa Madinah. Hijrah merupakan awal perjuangan Rasulullah SAW dalam menyebarkan Islam.

Semangat solidaritas telah membuat kaum anshar menyambut dengan tangan terbuka kedatangan kaum muhajirin. Dengan gegap gempita kaum anshar dan muhajirin menyambut kedatangan junjungan mereka, Rasulullah SAW, yang didampingi oleh sahabat Abu Bakar as-Siddiq. Setelah berpayah-payah mengarungi gurun pasir yang seakan tak berujung, setelah sempat bersembunyi dari kejaran prajurit Kafir Quraisy dalam Gua Sur yang gelap, lunas semua rasa lelah Baginda Rasul menyaksikan betapa suka citanya penduduk Yatsrib dikala menyambut kedatangannya bersama Abu Bakar. Tambah berseri wajah beliau, disaat menyaksikan betapa kaum anshar dan muhajirin tampak begitu akrab satu sama lain. Seakan-akan mereka adalah saudara, kerabat, sahabat, yang sudah lama berkumpul dan telah saling mengenal lama sebelumnya.

Menyimak sejarah penetapan tahun hijriyah, hendaknya kaum muslimin kembali melakukan evaluasi terhadap ukhuwwah Islamiyah yang telah terjalin selama ini. Semakin kuatkah ? Semakin longgarkah ikatan antara kita, umat Islam Indonesia, dengan umat Islam lainnya yang tersebar di seantero dunia. Mari kita bertanya, apakah diri kita yang mengaku Islam ini masih memiliki empati terhadap sesama umat yang berdiam jauh, dekat, atau bahkan mereka yang memiliki hubungan darah dengan kita sendiri. Hasil evaluasi terhadap ukhuwwah kita selama inilah, yang akan menjadi dasar rancangan strategi untuk menyambut masa depan yang lebih gemilang, bagi pengentasan nasib sesama kita yang tertindas dan didera penderitaan di : Palestina, Irak, Afghanistan, Nanggroe Aceh Darussalam, dan lain-lain.

Tanpa evaluasi terhadap ukhuwwah kita yang telah terjalin selama ini, kekuatan kita yang utama, yaitu solidaritas, tak akan pernah mengemuka sebagai senjata pamungkas yang ampuh, sebagaimana pernah dibuktikan oleh generasi pertama Islam, dibawah pimpinan Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya yang setia. Tanpa evaluasi terhadap ukhuwwah Islamiyah tersebut, umat Islam tak akan pernah bisa berdaulat. Bahkan niscaya, awal dari tahun baru hijriyah malah berarti awal dari semakin terpuruknya nasib saudara-saudara kita yang tinggal di daerah konflik, juga mereka yang berdiam di daerah yang tengah didera bencana. Dan bukan tidak mungkin, kita sebagai umat Islam yang sebelumnya hanya menjadi komentator dari kejahilan prajurit Kufar Amerika di kawasan Irak, penonton aksi-aksi kebrutalan prajurit Israel terhadap rakyat Palestina, akan segera menjadi objek dari penindasan yang dilakukan oleh negara-negara neo-imperialisme itu. Baik dengan senjata, atau dengan sistem perdagangan kapitalistik yang telah merasuki tatanan perekonomian dunia, bagaikan penyakit kanker tulang yang ganas menggerogoti.

Namun jikalau kita suka mengevaluasi, memperbaiki jalinan ukhuwwah antara kita sesama muslim, insya Allah, awal tahun hijriyah ini menjadi tahun bangkitnya solidaritas, tahun sinerginya hati dan pikiran seluruh umat Islam, yang mendiami berbagai pelosok di muka bumi ini. Generasi pertama Islam telah membuktikan, cukup dengan solidaritas, "Semangat Madinah" saja ; tak perlu senjata, harta, atau jumlah pasukan yang luar biasa banyak, umat Islam bisa berdaulat dan disegani. Dus, bisa menegakkan panji-panji Allah, atas spirit yang hakiki : amar ma'ruf, nahi munkar.

Fastabiqul Khairat

Sejak mula mendakwahkan Islam di kota Mekkah, Rasulullah SAW mengikat simpul persaudaraan antar sesama muslim- yaitu mereka yang sedari awal mengikuti ajaran beliau (asabiqunal awwalun). Pada intinya beliau mengajarkan kepada umatnya, baik yang akhir maupun terdahulu untuk selalu menjaga hablumminallah dan hablumminannaas. Media penyeimbang bagi hubungan vertikal (kepada Rabb) dan horisontal (kepada sesama manusia) tersebut adalah ibadah. Ibadah terdiri dari ibadah mahdhah dan ghair mahdhah. Ibadah mahdhah berhubungan dengan setiap peribadatan langsung kepada Allah, tanpa perantara apapun. Contoh ibadah mahdhah adalah shalat, shaum, umrah dan haji. Sedangkan ibadah ghair mahdhah berkaitan dengan setiap peribadatan yang melibatkan sesama manusia dalam gerak aktivitasnya. Termasuk dalam ibadah mahdhah diantaranya adalah zakat, sedekah, amal jariyyah, wakaf, muamalat, serta berbuat baik terhadap sesama.

Perbuatan baik dekat dengan ketaatan. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwasanya : "Taat itu hanyalah pada yang baik" (Al Jamius Shahih, Bukhari-Muslim). Dengan demikian, setiap ketaatan terhadap Allah SWT dan Rasulullah SAW kelak akan membuahkan kebaikan besar, dan setiap kebaikan yang diupayakan senantiasa membawa kita untuk lebih dekat pada ketaatan. Perbuatan baikpun merupakan salah satu bai'at (janji) sahabat kepada Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari 'Ubadah bin Ash-Shamit r.a., bahwasanya Rasulullah SAW pernah mengatakan dalam sebuah halaqah bersama sahabat-sahabatnya : "Berikan bai'at kalian kepadaku untuk tidak mempersekutukan Allah, tidak mencuri, tidak melakukan zina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak memfitnah atau berdusta, dan tidak meninggalkan perintah untuk melakukan perbuatan ma'ruf (baik)." Sebelum mengambil bai'at dari para sahabatnya, Rasulullah SAW kemudian berkata lagi : "Siapapun yang memenuhi janjinya, Allah 'Azza wa 'Jalla akan memberinya pahala dan siapapun yang melakukan perbuatan-perbuatan (dosa) ini (misalnya : malah mempersekutukan Allah, mencuri, berzina, dst...), lalu ia memperoleh hukumannya di dunia ini, maka hal itu merupakan penghapus baginya. Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan ini dan Allah 'Azza wa 'Jalla menutupi (perbuatan dosanya), terserah kepada-Nya untuk menghukumnya atau memaafkannya di hari kiamat kelak." (H.R. Bukhari).

Mengenai perintah berbuat baik atau melakukan kebajikan, selain disabdakan oleh Rasulullah SAW, kita bisa membuka Al-Qur'an surat An Nahl ayat 90. Dalam surat An-Nahl ayat 90 tersebut Allah SWT berfirman : "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi pada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." Lalu kepada siapa kita diperintahkan berbuat baik ? Allah SWT memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu." Perintah itu termaktub dalam Al-Qur'an surat An Nisaa' ayat 36.

Orang yang berbuat baik terhadap orangtuanya kelak menjadi orang yang paling baik di sisi Allah SWT, dan juga akan dipanjangkan umurnya dalam kebaikan. Hendaknya seorang muslim bisa meluangkan waktu untuk sekedar menengok orangtua, bahkan jikalau mampu membantu hari tuanya dengan sokongan materi. Paling utama adalah memperlakukan mereka dengan lemah lembut. Orang yang tidak suka bersikap lembut terhadap orangtuanya ditunggu Allah SWT dalam kemurkaan-Nya yang besar. Rasulullah SAW sendiri menjelaskan : "Barangsiapa yang merelakan diri terhadap kedua orangtuanya berarti ia rela (suka) kepada Allah, dan barangsiapa yang memarahi kedua orangtuanya maka ia seperti memarahi Allah."(H.R. Bukhari). Disamping perbuatan baik yang dilakukan secara langsung dalam porsi hubungan anak dan orangtua, memanjangkan tali silaturrahim yang telah dijajagi sebelumnya oleh sang ayah merupakan kemuliaan di sisi Allah dan Rasul-Nya. "Sesungguhnya kebaikan yang terbaik yaitu orang yang mau bersilaturrahim (mengunjungi) orang yang disenangi ayahnya (orangtuanya) sesudah ayahnya itu tiada." (H.R. Bukhari-Muslim).

Terhadap kaum-kerabat (famili ataupun rekan) seorang muslim diperintahkan pula untuk berbuat baik. Ganjaran bagi orang yang kerap bersilaturrahim kepada kaum-kerabatnya adalah surga, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang dirawikan oleh Imam Bukhari dari Abu Ayub Khalid bin Zaid Al Anshari r.a. Kepada Abu Dzar Al-Ghifari r.a. Rasulullah SAW-pun pernah memberi nasihat : "Hai Abu Dzar, jika engkau membuat kuah daging maka perbanyaklah airnya dan janjikanlah untuk diberikan pada tetanggamu." (H.R. Muslim). Jika berbuat baik kepada kaum-kerabat dan tetangga diganjari surga, maka melakukan perbuatan tercela terhadap kaum-kerabat atau tetangga, bisa berarti sebuah 'pas jalan' untuk masuk neraka. "Seseorang tidak akan dapat memasuki surga bagi siapa yang tidak merasa aman tetangganya oleh kejahatannya."(Al Jamiush Shahih, Bukhari-Muslim). Seseorang yang paling jahat dicirikan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang dijauhi oleh orang lain karena kejahatannya. Pada hari kiamat kelak manusia dengan ciri demikianlah yang akan menerima siksa pedih, sebab besarnya murka Allah kepadanya.

Berkenaan dengan kewajiban berbuat baik terhadap sesama muslim, tanpa memandang garis keturunan dan hierarki apapun, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwasanya terdapat enam kewajiban bagi seorang muslim terhadap orang muslim lainnya. Keenam kewajiban yang dinasehatkan kepada kita tersebut adalah :

1. Jika engkau berjumpa dengan seorang muslim maka ucapkanlah salam.

2. Jika dia mengundangmu maka datangilah.

3. Jika dia meminta nasehat maka berilah nasehat.

4. Jika bersin lalu dia membaca "alhamdulillah" maka ucapkanlah doa (yarhamukallah).

5. Jika dia sakit jenguklah.

6. Jika dia meninggal maka antarkanlah jenazahnya. (H.R. Bukhari)

Perbuatan baik membutuhkan niat yang ikhlas dan tekad yang kuat. Karena ganjarannya adalah keridhaan Allah SWT dan cinta dari Rasul-Nya, setan pasti mengerahkan upaya sekuat tenaga untuk merusak akhlak kita terhadap orangtua, memutuskan silaturrahim dengan kaum kerabat dan tetangga, sampai kelak nama kita terhapus dari catatan penghuni surga. Melalui firman-Nya dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 148, Allah SWT menyemangati umat muslim agar selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Minimal dengan mengetahui enam kewajiban kita terhadap sesama ikhwah yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah SAW, dengan berpegang teguh pada perintah dan janji Allah yang termaktub dalam ayat-ayat Al Qur'an tentang keutamaan berbuat baik, semoga kita bisa istiqamah menjaga akhlak dan perbuatan kita. "Allahummarhamni bitarkil ma'aashii abadan maa abqaitanii, warhamnii an atakallafa maa laa ya'niinii, warzuqnii husnan nazhari fiimaa yurdhiika 'anni." Semoga Allah SWT senantiasa menghindarkan kita dari dosa, dan hati kita selalu dicahayai oleh hikmah kebaikan.