Wednesday, July 13, 2005

TERORIS YANG SESUNGGUHNYA

Sudah bisa ditebak, reaksi warga barat terhadap kaum muslimin, pasca rangkaian peledakan bom di ibukota Inggris, London. Seperti pasca peledakan World Trade Center tahun 2001, kebencian terhadap Islam segera merebak diantara masyarakat Uni- Eropa, warga Amerika, warga Australia, serta negara-negara dimana muslim adalah minoritas. Ketika media-media barat mulai bermain prediksi (tentunya melalui berita yang menyudutkan kelompok Islam), sedang beberapa situs yang mengatasnamakan Islam mengklaim bertanggung-jawab atas aksi teror tersebut, emosi warga barat meluap tak terbendung. Media pertama yang memuat dugaan bahwa pelaku pemboman tersebut berasal dari kelompok jihad Islam adalah Der Spiegel, majalah terbitan Jerman.

Adalah pemimpin negara-negara G8 – negara-negara maju dimana muslim kebetulan menjadi minoritas-, yang ikut memanas-manasi masyarakat barat, serta ikut memperkeruh momen yang sungguh memilukan ini. Bush dan Blair, dua tokoh pencetus “perang dunia ke-4” ( mengutip kata-kata Subcomandante Insurgente Marcos, pemimpin gerilyawan EZLN di Chiapas, Mexico), kembali melantangkan pesan basi mereka, agar dunia tak undur dari : 'Memerangi Terorisme'. Satu perang yang sebenarnya berawal dari inisiatif mereka sendiri. Satu perang yang sebenarnya ditunggangi beberapa tujuan licik, terutama : neoliberalisasi dan kolonialisasi dunia Islam.

Retorika para pemimpin G8 menjadi pengesahan aksi brutal terhadap minoritas muslim di barat. Sehingga, dengan dalih 'demi memusnahkan agama yang kejam dan fanatik', warga barat yang menganggap Islam sebagai virus berani membakar masjid, melecehkan qur'an, menganiaya lelaki muslim, menjahili anak-anak sekaligus menghina para muslimahnya. Belum puas dengan seluruh kebrutalan itu, warga barat yang kalap mencoretkan hinaan dan cemoohan, sebagai ungkapan anti terhadap Islam, pada tembok atau fasilitas umum yang kentara di kawasan kota. “Hancurkan Islam” begitu bunyi grafiti kebencian mereka, yang tertoreh di beberapa halte di kota London.

***
Bukan kali ini saja kaum muslimin didaulat sebagai kambing hitam. Tak hanya kali ini, pemerintah dan masyarakat barat, pada khususnya, atau negara-negara dengan minoritas Islam, pada umumnya, melakukan pelecehan terhadap umat Islam. Sejak tragedi WTC, tak henti-hentinya konspirasi barat mengganyang nama baik 'agama yang sempurna' ini. Afghanistan adalah negara Islam yang pertama diterjang agresi AS, menyusul peristiwa “911 Tragedy.” Waktu itu Bush mengemukakan dalih : “ Operasi pasukan kami bertujuan menangkap Osama Bin Laden dan memusnahkan gerakan Al Qaeda.” Namun pada kenyataannya, sebelum dan setelah Taliban diberangus, rakyat sipil Afghanistan ikut pula menjadi objek kekerasan dan pemusnahan tentara AS. Sampai detik inipun, menyimak fakta peristiwa pelecehan Al Qur'an di Guantanamo, betapa 'perang terhadap teror' yang dipelopori AS justru melahirkan teror lain yang tak kalah pengecutnya.

Tak selang lama setelah agresi militer AS di Afghanistan, dengan dalih untuk memusnahkan senjata kimia dan menumbangkan rejim Saddam Hussein, pasukan AS kembali menyerang Irak. Negeri berjuluk “Negeri 1001 Malam”itu kini telah luluh lantak. Bumi tempat peristirahatan terakhir Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w., Imam Hussein r.a., dan Syaikh Abdul Qadir Jaelani itu, diinjak-injak, diobrak-abrik, oleh pasukan yang konon mengatasnamakan demokrasi dan perdamaian. Selain Baghdad, Fallujah dan Ramallah-pun mencatat banyak korban sipil berasal dari kalangan perempuan dan anak-anak. Bersama kaum lelakinya, banyak dari mereka yang gugur dan berhak digelari Asy-syahidusy Syuhada- syahid menemui Tuhannya. Sementara jauh dari negeri mereka, sebagian warga dunia memandang remeh nasib dan kematian para perlaya itu. Tak cuma anggapan remeh atau pengabaian saja. Niscaya ada kalangan warga dunia, yang membenarkan tindak imperialis AS dan para sekutunya tersebut. Mereka berpendapat, pemusnahan massal itu sesuatu yang mungkin, demi menumpas bahaya terorisme sampai ke akar-akarnya.

***
Skenario pasca ledakan bom di London mengikuti pola runtut dari kejadian-kejadian sebelumnya. Terjadi teror bom- dilakukan pengusutan- kesimpulan sementara menunjuk pelaku dari kelompok Islam –sampai akhirnya dugaan tersebut menyulut perbuatan anarkis terhadap minoritas Islam di negara sasaran teror. Untuk kasus WTC telunjuk AS langsung ditudingkan pada Al Qaeda, padahal sampai saat inipun tuduhan itu belum bisa dibuktikan. Untuk kasus sebelumnya - pemboman di kota Oklahoma- warga AS yang apriori terhadap Islam berbuat anarkis juga terhadap masyarakat muslim di sana. Padahal, kemudian diketahui pelakunya bukanlah orang dari kelompok muslim. Melainkan Timothy McVeigh, seorang mantan anggota marinir, bule asli kelahiran negeri 'Paman Sam' sendiri.

Dalam peristiwa London Underground Bomber, media pertama yang memuat dugaan bahwa pelaku pemboman tersebut berasal dari kelompok jihad Islam adalah Der Spiegel, majalah terbitan Jerman. Semakin dramatik dan tragik, mengingat kejadian bom terjadi setelah London terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2012, dan konferensi tingkat tinggi G8 dibuka hanya satu hari sebelumnya. Gosip media dan efek dramatik adalah tonik sempurna bagi pemicu energi negatif dalam diri manusia. Maka setelah Der Spiegel menyebarkan fitnah-ghibah-nya, sesudah Bush-Blair main retorika bak negawan besar lewat tudingan basinya, vandalisme terhadap warga muslim merebak dimana-mana. Empat Islamic Center dirusak di Auckland, Al-Farouq Cultural Center dilempari di Otahuhu dan Mesjid Mt Roskill dikotori oleh berandalan Sandringham. Tak kalah keji ekspresi vandalistik yang dilakukan di Amerika. Islamic Center Bloomington dibakar oleh orang-orang tak bertanggungjawab. Ditemukan pula beberapa mushaf Al Qur'an yang telah hangus terbakar, pada beberapa penjuru kota negara bagian Indiana itu.

Apapun yang dikoarkan George Bush atau Tony Blair, apapun yang disangkakan mereka yang apriori terhadap muslim juga Islam sebagai agama, dunia seharusnya bisa menatap : siapa yang kemudian menanggung derita setiap usai peristiwa teror selama ini ? Warga Amerika-kah ? Warga Inggris-kah ? Warga Spanyol, Prancis, Portugal, Belanda, New Zealand, Skotlandia atau penduduk Jerman-kah ? Ah, selesai ini mereka akan kembali bersiap menikmati ratusan entertainment, puluhan konser musisi ternama, liga sepakbola lokal atau perhelatan World Cup setahun depan. Sementara kalangan minoritas Islam yang kebetulan berdiam di negara-negara tersebut, menjalankan aktivitas keseharian dalam bayangan trauma vandalisme. Dan jangan lupa, saat warga-warga negara makmur itu sudah kembali asyik dengan kehidupan keluarga, kantoran, atau samen-leven-nya, di Kabul, Baghdad, Fallujah, Karbala, Ramallah, Gaza, Jerussalem, banyak orang tak pernah lagi bisa : menikmati keseharian bersama keluarga, mencari nafkah dengan berikhtiar di tempat kerja, atau duduk khusyuk menjalani ibadah lima waktu. Orang-orang malang di Kabul, Baghdad, Fallujah, Karbala, Ramallah, Gaza, Jerussalem itu telah lama tinggal dalam cekaman imperialisme 'Polisi Dunia' dan kaum sekutunya. Banyak dari mereka telah kehilangan suaminya yang saleh, putra-putrinya yang lucu, atau istrinya yang kerap menunggu dengan senyum di pintu rumah. Mungkin suami mereka saat ini tengah mendekam dalam 'kerangkeng' Guantanamo atau 'gulag' Abu-Ghraib. Mungkin istri dan anak-anak mereka kini telah berpulang selamanya- menjadi korban roket salah sasaran, sebagaimana laporan media massa. Maka, sungguh rendah akal, mata, hati dan orang yang masih belum juga memahami : siapa teroris yang sesungguhnya. (red/aea)

No comments: