Tuesday, July 19, 2005

Fatwa Sesat Ahmadiyah

Merunut sejarahnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan sebagai lembaga penengah antara umat dan pemerintah. MUI berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dan umat, dan sebaliknya, sebagai saluran aspirasi umat Islam kepada pemerintah. Lembaga ini seharusnya menjadi sebuah lembaga independen. Untuk urusan fatwa yang menjadi salah satu spesialisasinya, pemerintah tak berhak memengaruhi para ulama syuro, yang bernaung dalam wadah tersebut. Keputusan yang diambil MUI harus murni berdasarkan musyawarah ulama. Bukan diarahkan oleh pemerintah, sebagai justifikasi dukungan atas sebuah kebijakan politik.

Namun faktanya, MUI tidak bisa memosisikan diri secara bebas, sebagaimana janji pemerintahan Orde Baru, yang kala itu dijuru-bicarai oleh Menteri Agama, Prof. Munawir Sjadzali. Akh. Muzakki dalam makalah "Relasi Islam-Negara di Era Orde Baru (1980-1990) : Akomodasi Atau Politik Islam ?" mengemukakan :..realitas membuktikan bahwa posisi MUI pada masa itu tidak boleh berseberangan dengan pemerintah, apalagi menentangnya. Lebih lanjut lagi, Prof. Deliar Noer dalam buku Islam And Indonesia menegaskan bahwa MUI saat itu bak lembaga semi pemerintah (a semi-government body). Ia tak banyak berperan penting dalam memengaruhi kebijakan pemerintah terhadap Islam, atau dalam memberikan arahan-arahan penting teruntuk masyarakat muslim.

Pada mulanya pemerintah tidak berkeberatan atas fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI. Fatwa sesat atas kelompok Islam Syi'ah dan Ahmadiyah (1980), adalah fatwa yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Golongan tersebut ditengarai sesat oleh MUI, dianggap bisa merongrong kekuasaan yang absolut, oleh pemerintahan saat itu. Bila MUI mengeluarkan fatwa sesat demi menyelamatkan aqidah umat, maka pemerintah mendukung fatwa tersebut atas pertimbangan stabilitas politik. Dengan simpati umat Islam dan justifikasi fatwa MUI, pemerintah dapat leluasa mengeliminir kelompok-kelompok sempalan. Potensi gejolak yang bisa timbul karena keberadaan kelompok-kelompok itu, diminimalisir sedemikian rupa, untuk menjaga homogenitas politik yang lazim di era Orde Baru.

Namun ketika MUI berbeda pendapat dengan pemerintah, serta-merta pemerintah mengeluarkan peringatan keras terhadap MUI. Misalnya, saat MUI yang diketuai oleh Prof. Dr. Hamka, mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam untuk mengikuti perayaan natal bersama. Pemerintah serta-merta menolak fatwa tersebut. Bila MUI khawatir umat akan masuk dalam aktivitas sakral yang bertolak-belakang dengan keyakinan Islam, pemerintah justru khawatir fatwa tersebut bisa mengganggu tatanan masyarakat homogen yang tengah dibangun, dalam rangka proses pelanggengan kekuasaan. Politik homogenisasi, kendali pemerintah agar rakyat tetap satu sikap-satu suara, adalah motif dibalik penolakan itu. Tak jadi masalah, meskipun harus menafikan fatwa MUI yang shahih, ataupun mengorbankan aqidah umat muslim yang notabene adalah mayoritas.

Pada saat ini, relasi antara MUI dengan pemerintah masih menunjukkan kecenderungan sama dengan realita dimasa-masa awal pendiriannya (MUI berdiri tahun 1980). Kecenderungan itu bisa dilihat dalam kasus fatwa haram MUI, berkenaan dengan keikut-sertaan Putri Indonesia ke ajang Miss Universe. Kala itu Pemerintah tak cepat mengambil inisiatif memanggil pulang Artika Sari Devi, sementara banyak kaum muslimin resah dan mengajukan penolakan keras. Pemerintah sepertinya mengelak dari mengambil keputusan tegas, dengan justifikasi fatwa haram MUI. Mungkin pemerintah takut dicap anti-demokrasi, tidak menghormati HAM, atau menutup pintu keterbukaan- oleh kalangan dalam/ luar negeri yang menganut pola pikir liberal. Mengingat kelompok liberal ini lebih besar dalam jumlah dan lebih berpengaruh dari kelompok Islam kaffah, maka ketimbang mendukung fatwa yang sebetulnya bertujuan menyelamatkan umat secara keseluruhan, pemerintah cenderung berpihak pada kepentingan liberal. Langkah tersebut menjadi mungkin demi terpeliharanya status quo. Walaupun dengan begitu, aqidah umat terpaksa harus disisihkan, ditempatkan sebagai prioritas ke-2.

Kesenjangan pendapat antara MUI dan pemerintahpun dikhawatirkan akan kembali terjadi, saat menyoal aliran sempalan Ahmadiyah, yang kembali menjadi isyu nasional diwaktu-waktu sekarang ini. Kendati Ahmadiyah telah dinyatakan sebagai aliran sesat, mengacu pada fatwa MUI yang ditandatangani ketua pertamanya Prof. Dr. Hamka pada tanggal 1 Juni 1980, ada wacana yang berkembang dikalangan pemerintah untuk kembali meninjau fatwa dan ketetapan yang menyusul setelahnya. Wacana untuk kembali meneliti fatwa MUI itu kembali mengemuka, pasca penyerangan Kampus Mubarak, pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berlokasi di Parung, Bogor, beberapa waktu lalu. Dorongan untuk meneliti fatwa tersebut berkembang diantara tudingan, bahwasanya fatwa tersebut adalah picu kekerasan terhadap JAI, sebagaimana disampaikan oleh Koordinator Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) : Ulil Abshar Abdalla (Tempo Interaktif, Sabtu, 16 Juli 2005).

Salah seorang Ketua MUI, Amidhan, menepis tudingan bahwa fatwa organisasinya adalah pemicu kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Menurut dia, fatwa MUI mengenai Jemaah Ahmadiyah telah dikeluarkan sejak Musyawarah Nasional MUI, 26 Mei-1 Juni 1980 (Bpost,17 Juli 2005), serta mengacu pada Deklarasi Liga Muslim Dunia- tahun 1974, yang dihadiri oleh 140 negara Islam. "MUI cuma membuat peringatan kepada umat, bukan membuat pelarangan," tambahnya lagi. Beliaupun menandaskan bahwa peringatan tersebut bersifat pribadi. Dan setelah fatwa dikeluarkan, yang berhak untuk melarang tentunya adalah pemerintah.

Sikap MUI yang kukuh ditunjukkan dengan tidak pernah digugurkannya fatwa, bahwasanya Ahmadiyah merupakan aliran sesat. Sedang pemerintah tampaknya akan kembali berhitung soal resiko politik. Jika pemerintahan era Soeharto menilai pengeliminasian Ahmadiyah sebagai langkah strategis, pemerintahan sekarang mungkin tak akan mengambil langkah serupa. Karena, langkah pelarangan terhadap jemaat Ahmadiyah berada diluar misi dan kepentingan politik liberal, yang dominan memengaruhi kinerja pemerintahan kita selama era reformasi. Artinya : jika dulu dengan melarang Ahmadiyah pemerintah berusaha menjaga stabilisasi kekuasaan, maka kini, pemerintah berupaya menjaga status quo dengan berlaku permisif, terhadap keberadaan aliran sesat tersebut. Jika begitu, segala sesuatu kemudian menjadi abu-abu. Yang benar dipertanyakan untuk kelak disalahkan. Yang salah mencari alasan pembenaran lantas dibenarkan. Dan akhirnya, umat kebingungan memilih mana Islam yang kaffah, setengah-setengah, atau sesat sekalian.

Penulis berharap paparan diatas hanyalah sebuah prediksi atau dugaan yang keliru. Masih mungkin, pada realitasnya nanti, pemerintah sudi mengikuti fatwa MUI- dengan melarang segala bentuk aliran yang membahayakan aqidah umat, bukan hanya melarang keberadaan Ahmadiyah saja. Selain membekukan Ahmadiyah yang terang-terangan meresahkan umat itu, sekalian juga diusut para provokator dan pelaku penyerangan terhadap Kampus Mubarok. Pemerintahpun perlu melakukan itu. Mengingat umat Islam pada umumnya tidak pernah respek dengan cara-cara represif, kendati itu terpaksa dilakukan untuk memperingatkan golongan yang terang-terangan merusak agama mereka. Semoga harapan penulis bisa cepat terealisasi. Demi gugurnya mitos bahwa pemerintah tak pernah solid dengan MUI, organisasi yang sebetulnya berfungsi mulia sebagai mediator umat dengan pemerintah sendiri. Semoga harapan penulis segera bisa menjadi kenyataan, demi gugurnya mitos bahwa, pemerintahan kita selalu menomor-duakan kepentingan umat, menomor-satukan kepentingan status quo atau kepentingan politik belaka. (red/aea)***

No comments: