Sunday, July 10, 2005

Keadilan Untuk Semua

Hukum cambuk bukanlah jenis hukuman fisik yang lazim diterapkan kepada pelanggar hukum pidana berat ataupun ringan di Indonesia. Pada masa-masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, masyarakat Indonesia hanya mengenal hukuman kurungan atau -paling berat- hukuman mati dengan cara ditembak. Di era kolonial, hukum cambuk diterapkan untuk mengintimidasi para pejuang kemerdekaan dan menginterogasi orang-orang yang diperkirakan sebagai pengikut setianya. Dalam legenda masyarakat Marunda (Jakarta Utara), hukum cambuk diterapkan marsose untuk mengorek keterangan dari pengikut Si Pitung- "Robin Hood" Betawi yang dikenal kerap merampok tuan tanah, lalu membagikan hasil curiannya di perkampungan rakyat jelata. Masyarakat pesisir Cirebonpun mengenal hukum cambuk dan hukum picis - mengiris tubuh pesakitan lantas membubuhi bekas irisan dengan garam atau cuka- sebagai cara ampuh alat-alat kompeni dalam penginterogasian anak buah Jaka Sembung, seorang Pangeran Cirebon yang juga termasyhur sebagai penentang penjajahan Belanda. Selain dari catatan sejarah tersebut, masyarakat Indonesia mengenal hukum cambuk sebagai salah satu jenis hukuman yang lazim dipraktekkan oleh jirannya : Malaysia. Hukuman itu diterapkan kepada pendatang ilegal yang kedapatan bekerja tanpa surat ijin. Disamping Malaysia, bagi rata-rata masyarakat di negeri ini, hukuman fisik seperti hukum cambuk, potong-tangan, hukum rajam, adalah jenis hukuman yang identik dengan negara-negara Timur Tengah. Negara-negara yang menerapkan syari'at Islam sebagai landasan hukumnya.

Isu hukuman fisik adalah isu umum yang berkembang seiring dengan wacana penegakan syari'at Islam di Indonesia. Wacana penegakan syari'at islam sendiri muncul ke permukaan bersamaan dengan lahirnya gerakan reformasi. Kegagalan sistem ekonomi dan politik yang sekuler semasa Orde Baru, membuat rakyat mencari alternatif konsep bagi pengaturan negara. Ketidak-pastian dan diskriminasi di bidang hukum adalah aspek yang kerap dikeluhkan oleh rakyat. Ketidak-tegasan hukum membuat pelanggaran atau kejahatan dalam skala besar maupun kecil sulit dieliminir. Sang pelaku tak pernah merasa kapok sebab sangsi yang diterakanpun memang tidak sebanding. Maka kejahatan yang samapun terus berulang. Dan sang bromocorah, penjahat kambuhan yang sering berbuat keonaran, keluar-masuk penjara laksana pelancong keluar-masuk penginapan dengan leluasa.

Diskriminasi adalah kanker berikutnya yang telah menggerogoti sistem hukum dan keadilan di Indonesia. Usia diskriminasi di bidang hukum ini, jika dihitung-hitung, bahkan lebih tua dari usia republik Indonesia sendiri. Sejak jaman penjajahan kolonial, masa pendudukan Jepang dan masa-masa kabinet pemerintahan RI yang telah berganti lebih dari lima kali, diskriminasi kerap menjadi hantu dalam sistem pengadilan kita. Sampai saat ini saja rakyat masih memiliki anggapan : "Hukum dibuat hanya untuk mengatur si miskin yang lemah tak berdaya. Tak berlaku untuk orang kaya, pejabat tinggi atau penguasa yang nyata-nyata melanggar hukum."

Diantara ketidak-pastian dan diskriminasi hukum, syari'at Islam diajukan sebagai jalan solusi permasalahan oleh elemen-elemen umat. Banyak juga yang mengklaim bahwa syari'at Islam seharusnya sudah berlaku lama di republik ini, andai tujuh kata pada "Piagam Jakarta" dimasukkan dalam Preambule Undang-undang Dasar 1945. Klaim itupun mengemukakan satu prediksi : "Bila saja syari'at Islam telah diterapkan sejak lama, mungkin tak akan pernah terjadi diskriminasi dan ketidak-pastian hukum di negeri kita."

Tentu saja, wacana tersebut langsung ditanggapi banyak opini kontra, yang dihembuskan oleh pihak-pihak yang merasa jeri jika syari'at Islam diterapkan dalam kehidupan hukum di negeri kita. Opini kontra itu diperkuat oleh alasan bahwasanya hukuman fisik yang include dalam penerapan syari'at Islam, merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM dan oleh karenanya sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di Republik ini. Opini itupun mengemukakan satu kecurigaan : "Jika syari'at Islam akhirnya diterapkan, belum tentu diskriminasi dan ketidak-pastian praktis tereliminasi dari praktek hukum dan peradilan di negeri kita."

Pendapat pro-kontra seperti diataslah yang kemudian muncul, menyusul penandatanganan Surat Keputusan Tata Cara Pelaksanaan Hukum Cambuk oleh Pelaksana Tugas Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Haji Azwar Abubakar. Teuku Naser Waly, Pimpinan Pesantren Serambi Mekah, Meulaboh, tempat acara penandatanganan SK tersebut diselenggarakan, mendukung penuh pemberlakuan hukuman cambuk yang sudah tertunda selama dua tahun itu. Dan sambutan pemerintah pusat ? Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh telah menyampaikan dukungan lewat juru bicaranya, pun perwakilan dari kalangan pakar hukum dan cerdik-cendekia. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), menyampaikan respeknya atas keputusan tersebut dalam salah satu artikel liputan REPUBLIKA. "NAD dengan otonomi khususnya memang harus diberi keleluasaan untuk menjalankan pemerintahan sendiri."menurut Ketua Program Doktoral Ilmu Hukum UNDIP dan anggota Komnas HAM asal Semarang itu. Keputusan tersebut dengan demikian merupakan pelaksanaan hak pemerintah propinsi NAD yang diatur dalam Undang-undang No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Polemik yang seru tampak juga dalam opini pendapat yang digalang oleh website majalah Gatra. Salah seorang peserta polling mengatakan bahwa hukuman fisik seperti itu adalah sesuatu yang sadis, brutal dan tidak manusiawi. "Saya sangat tidak setuju atas penerapan hukuman cambuk, rajam, potong tangan dan lain sebagainya. Itu menunjukkan kesadisan, kebrutalan dan sesuatu yang tidak manusiawi. Coba bayangkan bila hukuman itu diterapkan di indonesia. Tentu banyak orang-orang akan cacat, sedang mereka juga punya anak istri yang perlu dikasih makan. Manusia tempatnya salah dan khilaf. Tentu suatu saat dengan dipenjara bisa saja dia akan sadar lalu bertobat. Relakah kita merusak mahluk ciptaan Tuhan ? Yang lebih bijak adalah sediakan lapangan pekerjaan, lalu tugasi para agamawan, aparat polisi, untuk menyadarkan orang yang masih keliru dan menjaga mereka dari berbuat pelanggaran yang berikutnya. Tuhan saja mau mengampuni manusia, mengapa kita tidak bisa mengampuni sesama ?" alasan peserta polling tersebut. "Coba pikir baik-baik, apakah hukuman semacam itu relevan untuk zaman ultra modern sekarang ?", tanya peserta polling lain yang merasa keberatan atas penerapan hukum cambuk di Propinsi NAD itu.

Zukhradi Setiawan, mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia, mengemukakan pendapat cerdas berkenaan dengan pelaksanaan hukum cambuk di Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam artikel "Ketika Otsus Aceh Menelan Korban" yang dimuat Harian Media Indonesia tanggal 2 Juni 2005, Zukhradi menengarai UU No. 18/2001 itu terlahir bukan semata-mata sebagai payung hukum penerapan syariat Islam, melainkan juga sebagai salah satu pendekatan pemerintah pusat untuk mengatasi konflik politik antara RI-GAM (Gerakan Aceh Merdeka) serta ekses yang ditimbulkan dari konflik tersebut. Menurut Zukhradi, ditengah kondisi sosial masyarakat Aceh sekarang ini, kebijakan syariat Islam bisa bergerak terlalu progresif dibanding pencapaian tujuan utama kebijakan otonomi khusus. Beliau mengkhawatirkan apabila pemberlakuan syariat Islam ini tidak segera dihentikan untuk sementara, tidak berlebihan jika dikatakan kebijakan otsus bukan sebuah solusi bagi penderitaan panjang rakyat Aceh. Penerapan syari'at Islam lebih tepat dikatakan sebagai alat baru pemerintah, yang -untuk kesekian kalinya- menempatkan rakyat Aceh sebagai 'korban'. Alasannya, selain tingkat kesejahteraan rakyat Aceh yang tidak kunjung terpulihkan dengan adanya otsus ini, dalam praktiknya hukum di Indonesia hanya berlaku efektif bagi masyarakat golongan kecil saja.

''Jangan kami rakyat kecil saja yang harus menerima hukuman cambuk di depan umum. Orang-orang kaya atau orang-orang penting yang melakukan pelanggaran hukumpun harus dihukum cambuk dan ditonton masyarakat umum, jika ia terbukti melakukan kesalahan.'' demikian diucapkan Alamsyah, salah seorang terpidana hukum cambuk, dalam kesempatan interview dengan awak MetroTV. Apa yang dikemukakan oleh Zukhradi Setiawan dalam artikelnya, serta harapan yang dikemukakan oleh Alamsyah selaku terpidana hukum, sama-sama mengandung pertanyaan penting berkenaan dengan konsistensi pemerintah dan aparat penegak hukum di negeri ini. Bolehlah -bahkan seharusnya wajib- syari'at Islam digunakan sebagai pedoman pelaksanaan hukum. Akan tetapi, masih menjadi pertanyaan : sampai dimana kemampuan aparat penegak hukum dan pemerintah dalam mengentaskan diskriminasi dalam praktek hukum di negeri ini ? Pengalaman Polisi Syari'ah di Propinsi NAD menegaskan bahwa kekhawatiran tersebut bukanlah sesuatu yang tidak beralasan. Menurut Sutan M Rusdi, Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Banda Aceh kepada Harian AcehKita pada akhir 2004 lalu, pihak Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) banyak mengalami kendala dalam menindak pelaku pelanggar syariat, apalagi jika pelanggar itu berasal dari oknum aparat keamanan. Menurut beliau, Polisi Syariah bisa tidak berdaya sama sekali, ketika berhadapan dengan pelanggar khalwat (mesum) dari oknum aparat keamanan. Di pantai Alue Naga, Ulee Lheue, dan sejumlah café remang-remang yang ada di sejumlah titik Kota Banda Aceh, kejadian demikian kerap terjadi. Bila demikian, pantaslah jika kita masih bertanya : keadilan untuk siapa ? Sebab keadilan untuk semua, serta praktek hukum yang bersih dari diskriminasi, masih sebuah cita-cita yang menuntut perjuangan dan kesadaran semua elemen masyarakat. Maka bisa disimpulkan, bukan syari'at Islamnya yang tidak relevan dan ketinggalan jaman, melainkan subjek dan objek syari'at tersebutlah yang berangsur mundur ke peradaban purba ; manusianyalah yang sengaja undur ke jaman kegelapan- bertingkah jahil seolah tak tahu aturan hukum dan makna ketertiban.

No comments: