Sunday, July 10, 2005

Semangat Madinah

Semua berawal dari Yatsrib. Di bawah sengat matahari jazirah Arab, laki-perempuan memenuhi gerbang kota, memandang jauh ke garis horison. Mereka mencari titik-titik hitam, mulai berhitung, lalu memastikan : bahwasanya di kejauhan sana ada sekelompok orang berjalan mendekati.

Ketika titik-titik hitam semakin dekat, penduduk Yatsrib yang berdiri-berkumpul di gerbang kota, makin merapatkan tubuh. Dan saat wajah-wajah pendatang jelas tampak dalam sorot kuning matahari, berlarianlah mereka, berhamburanlah mereka. Beramai-ramai penduduk Yatsrib menyambut kedatangan kelompok orang yang melangkah gontai dari arah horison sana.

Kaum muslimin Yatsrib, yang kemudian dikenal dengan sebutan anshar, dengan kegembiraan besar menyambut ketibaan kaum muhajirin, mereka yang hijrah dari wilayah Mekkah. Di pintu kota mereka saling bertegur dan berpeluk, sebelum orang-orang anshar lalu mengajak kaum muhajirin memasuki kota Yatsrib. Tak hanya sekedar mengajak melihat-lihat, menengok keadaan kota, berbondong-bondong penduduk Yatsrib menarik tamunya untuk singgah, bahkan untuk tinggal di rumah-rumah mereka.

Kisah penyambutan penduduk Yatsrib, kaum anshar, kepada kaum muhajirin yang hijrah bersama Rasulullah SAW, menjadi tonggak awal dari berdirinya masyarakat Madani. Untuk membangun masyarakat ideal berlandaskan nilai-nilai ketauhidan, Rasulullah SAW kemudian mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah, kota peradaban. Di kota inilah, Rasulullah SAW bersama kaum anshar dan muhajirin membangun Masjid Quba ; masjid yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan, melainkan berfungsi pula sebagai tempat musyawarah, tempat perumusan ide-ide untuk memberdayakan masyarakat muslimin, bahkan masyarakat non-muslim di Madinah. Di kota ini pula, Rasulullah SAW merekatkan persaudaraan antara kaum anshar dan muhajirin. Sehingga mereka- anshar dan muhajirin- bisa hidup berdampingan dengan damai, mementingkan toleransi, membudayakan sikap tenggang rasa, serta sama-sama menjunjung tinggi kepentingan umum. Dalam era tersebut, Mitsaq Al-Madinah, dokumen politik pertama dalam sejarah umat manusia dirancang dan disepakati sebagai undang-undang. Piagam yang terdiri dari 50 butir kesepakatan itu mampu mengakomodir berbagai kepentingan golongan, suku, agama, kelompok berbeda yang sama berdiam di Madinah.

Dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW, tatanan masyarakat yang baru terbentuk itu mengalami perkembangan yang mencengangkan. Robert N. Bellah, seorang sosiolog terkemuka, menilai masyarakat yang hidup di era tersebut sebagai : masyarakat yang sangat modern untuk ukuran waktu dan tempatnya. Tak pelak, cendekiawan muslim Prof. Nurcholis Madjid, memuji sikap egaliter, penghargaan prestasi individual (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, serta penafian terhadap faktor genealogis dalam prosedur pemilihan kepemimpinan yang terdapat dalam masyarakat Madinah ketika itu.

Hijrah Rasulullah SAW menandai awal dari era kebangkitan Islam. Setelah terkungkung secara politik dan sosial dibawah tekanan kaum kafir Quraisy yang bersekongkol dengan beberapa tokoh Yahudi Mekkah, kaum muslimin berada dalam kondisi yang kuat pasca hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Hijrah yang secara istilah mengandung arti : meninggalkan negeri asal yang berada dibawah kekuasaan pemerintah kafir ( Q.S. 4:75) ; hijrah dari keburukan menuju kebaikan.

Di jaman kekhalifahan Umar Bin Khattab r.a., tahun hijrahnya Rasulullah SAW dan kaum muslimin Mekkah, diabadikan sebagai tahun awal dalam kalender hijriyah. 17 tahun sesudah peristiwa hijrah terjadi, ketika khalifah Umar menerima surat dengan salah satu redaksional :"Saya telah menerima surat Paduka yang tidak mencantumkan tahun…" , tersadarlah beliau, bahwasanya selama ini masyarakat Arab umumnya, atau kaum muslimin pada umumnya, belum menetapkan patokan waktu dalam penghitungan tahun. Menurut Ustadz Ahmad Sarwat Lc, ulama muda lulusan Universitas Islam Al-Imam Muhammad Ibnu Suud, Saudi Arabia , pada saat itu, penanggalan mereka menggunakan sistem qamariyah : berpedoman pada peredaran bulan terhadap bumi. Mereka sudah menggunakan hitungan hari dalam sebulan dan mereka juga telah mengenal nama-nama bulan yang setahunnya ada 12 bulan. Namun, mereka belum mempunyai hitungan tahun, kecuali dengan mengaitkan pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah, seperti : serangan pasukan gajah pimpinan Abrahah terhadap Ka'bah. Peristiwa itu sering dijadikan sebagai salah satu patokan dalam penyebutan angka tahun. "Hari ini hari apa, tanggal berapa, bulan apa? mereka bisa menjawab dengan tepat. Tapi kalau ditanya, Sekarang tahun berapa? maka mereka akan berbeda-beda dalam menjawabnya. Sebab, mereka belum mempunyai patokan penghitungan tahun yang tetap," tambah Ustadz Ahmad Sarwat lagi.

Dalam menetapkan penghitungan tahun hijriyah, Khalifah Umar Bin Khattab menerima masukan dari sahabat-sahabat yang lain. Pertama, seorang sahabat mengusulkan supaya tahun kelahiran Rasulullah SAW digunakan sebagai awal dari tahun hijriyah. Kemudian, seorang sahabat lain mengusulkan agar tahun wafatnya Rasulullah SAW, digunakan sebagai tahun awal dalam kalender hijriyah. Beberapa sahabat menolak usulan tersebut, karena penentuan itu diperkirakan bisa menimbulkan kesedihan bagi kalangan muslim. Merekapun lalu mengusulkan supaya tahun terjadinya Perang Badr digunakan sebagai patokan, disamping beberapa usulan-usulan lainnya.

Ensiklopedia Islam Untuk Pelajar menuliskan, bahwasanya Ali Bin Abu Thalib k.w., kemudian ikut angkat suara mengemukakan usulnya. Salah seorang sahabat Nabi yang tercerdas ini mengusulkan supaya peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah), digunakan sebagai awal dari tahun Islam. Dalam Dialog Jumat, tabloid Republika, diketahui bahwasanya Khalifah Umar menerima usulan Sayyidina Ali. Khalifah Umar dan para sahabat menganggap hijrah sebagai titik pemisah antara masa Mekkah dan masa Madinah. Hijrah merupakan awal perjuangan Rasulullah SAW dalam menyebarkan Islam.

Semangat solidaritas telah membuat kaum anshar menyambut dengan tangan terbuka kedatangan kaum muhajirin. Dengan gegap gempita kaum anshar dan muhajirin menyambut kedatangan junjungan mereka, Rasulullah SAW, yang didampingi oleh sahabat Abu Bakar as-Siddiq. Setelah berpayah-payah mengarungi gurun pasir yang seakan tak berujung, setelah sempat bersembunyi dari kejaran prajurit Kafir Quraisy dalam Gua Sur yang gelap, lunas semua rasa lelah Baginda Rasul menyaksikan betapa suka citanya penduduk Yatsrib dikala menyambut kedatangannya bersama Abu Bakar. Tambah berseri wajah beliau, disaat menyaksikan betapa kaum anshar dan muhajirin tampak begitu akrab satu sama lain. Seakan-akan mereka adalah saudara, kerabat, sahabat, yang sudah lama berkumpul dan telah saling mengenal lama sebelumnya.

Menyimak sejarah penetapan tahun hijriyah, hendaknya kaum muslimin kembali melakukan evaluasi terhadap ukhuwwah Islamiyah yang telah terjalin selama ini. Semakin kuatkah ? Semakin longgarkah ikatan antara kita, umat Islam Indonesia, dengan umat Islam lainnya yang tersebar di seantero dunia. Mari kita bertanya, apakah diri kita yang mengaku Islam ini masih memiliki empati terhadap sesama umat yang berdiam jauh, dekat, atau bahkan mereka yang memiliki hubungan darah dengan kita sendiri. Hasil evaluasi terhadap ukhuwwah kita selama inilah, yang akan menjadi dasar rancangan strategi untuk menyambut masa depan yang lebih gemilang, bagi pengentasan nasib sesama kita yang tertindas dan didera penderitaan di : Palestina, Irak, Afghanistan, Nanggroe Aceh Darussalam, dan lain-lain.

Tanpa evaluasi terhadap ukhuwwah kita yang telah terjalin selama ini, kekuatan kita yang utama, yaitu solidaritas, tak akan pernah mengemuka sebagai senjata pamungkas yang ampuh, sebagaimana pernah dibuktikan oleh generasi pertama Islam, dibawah pimpinan Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya yang setia. Tanpa evaluasi terhadap ukhuwwah Islamiyah tersebut, umat Islam tak akan pernah bisa berdaulat. Bahkan niscaya, awal dari tahun baru hijriyah malah berarti awal dari semakin terpuruknya nasib saudara-saudara kita yang tinggal di daerah konflik, juga mereka yang berdiam di daerah yang tengah didera bencana. Dan bukan tidak mungkin, kita sebagai umat Islam yang sebelumnya hanya menjadi komentator dari kejahilan prajurit Kufar Amerika di kawasan Irak, penonton aksi-aksi kebrutalan prajurit Israel terhadap rakyat Palestina, akan segera menjadi objek dari penindasan yang dilakukan oleh negara-negara neo-imperialisme itu. Baik dengan senjata, atau dengan sistem perdagangan kapitalistik yang telah merasuki tatanan perekonomian dunia, bagaikan penyakit kanker tulang yang ganas menggerogoti.

Namun jikalau kita suka mengevaluasi, memperbaiki jalinan ukhuwwah antara kita sesama muslim, insya Allah, awal tahun hijriyah ini menjadi tahun bangkitnya solidaritas, tahun sinerginya hati dan pikiran seluruh umat Islam, yang mendiami berbagai pelosok di muka bumi ini. Generasi pertama Islam telah membuktikan, cukup dengan solidaritas, "Semangat Madinah" saja ; tak perlu senjata, harta, atau jumlah pasukan yang luar biasa banyak, umat Islam bisa berdaulat dan disegani. Dus, bisa menegakkan panji-panji Allah, atas spirit yang hakiki : amar ma'ruf, nahi munkar.

No comments: