Sunday, July 10, 2005

Nikah Beda Agama, Bolehkah ?

Tumbuhnya budaya kosmopolitan di berbagai kota besar dunia telah mengakibatkan lingkup dan gerak pergaulan antar manusia menjadi lebih luas, plural dan beragam. Pergeseran nilai yang disebabkan kondisi lingkungan tersebut berlangsung dengan lebih dinamis dibandingkan era-era lampau. Pergeseran nilai ini tidak hanya terjadi pada pakem-pakem non keagamaan yang tidak dogmatis, bahkan sekat-sekat keagamaan yang relatif rapat dan tertutup untuk kompromi menjadi sasaran untuk ‘direlevansikan’.

Gejala pergeseran bahkan perubahan nilai akibat budaya kosmo yang berbasis pada paham kebudayaan post-modernisme, sistem ekonomi kapitalistik dan metode komunikasi cyberistic yang meniscayakan liberalisasi, ikut mempengaruhi pola dan mengubah cara pandang kalangan umat Islam terhadap pergaulan antar sesama manusia. Salah satu dampak yang paling kentara adalah keberanian kalangan muslimin atau muslimat untuk memilih person-person non-muslim sebagai pasangan hidup. Meskipun, gejala ini sudah barang tentu dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari konsep mainstream, yang dianut mayoritas Islam Indonesia. Tak heran jika kondisi tersebut kerap menimbulkan gejolak, reaksi keras, serta kelimbungan berpikir di kalangan masyarakat Islam.

Dalam beberapa realitas pengalaman di kota-kota besar Indonesia akhir-akhir ini, pernikahan beda agama ini banyak terjadi justru di kalangan pemuda/pemudi Islam yang intelek dan memiliki pengetahuan keislaman yang lebih mapan dari rata-rata pemahaman kebanyakan orang Islam di Indonesia. Walaupun, ada juga separuh dari mereka berasal dari kalangan pemuda/pemudi Islam yang tumbuh besar di lingkungan keluarga yang sekuler, atau kurang intensif membangun iklim keberagamaan secara kaffah dalam keluarganya.

Karena fenomena pernikahan beda agama itu ternyata banyak dilakukan oleh mereka yang dianggap khalayak di lingkungannya memiliki pemahaman lebih mendalam terhadap Islam dibandingkan rata-rata pemahaman umat, maka diperlukan sebuah usaha dini, semacam sparring idea, untuk kembali mengemukakan konsep syari’at Islam yang jernih berkenaan dengan pernikahan beda agama yang melibatkan kaum muslimin dan muslimat. Pencerahan tersebut diawali dari pengumpulan asumsi yang mendukung serta asumsi yang menentang pernikahan beda agama di kalangan umat. Yang kemudian dikomparasikan dengan berbagai dalil agar seterusnya terbentuk sebuah bangun pikir atau ijtihad berlandaskan naluri fitrah, sehingga masalah pernikahan beda agama bisa disikapi secara jernih dan solusional di kalangan masyarakat Islam.

Mereka (umat Islam) yang melakukan dan mendukung pernikahan beda agama, memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama. Prediksi optimis terhadap bakal praktik berumah-tangga yang akan mereka tempuh sebagai pasangan yang lain akidah, ikut menentukan pula langkah yang mereka ambil.

Dalam salah sebuah situs Islam Liberal pernah diceritakan, optimisme seorang pemuda muslim yang mempersunting gadis konghucu. Argumen yang ia kemukakan sebagai niat yang melandasi tercetusnya pernikahan itu adalah : keyakinan secara teologis bahwasanya Islam membolehkan pernikahan seorang lelaki muslim dengan wanita non-muslim. Asumsi tersebut ia sandarkan pada firman Alloh SWT dalam Surat Al-Maa’idah ayat 5 yang membolehkan pria muslim menikahi seorang wanita ahlul-kitab. Pemuda muslim itu beranggapan bahwa seorang konghucu adalah juga ahlul-kitab, karena menurut pemahamannya siapapun yang percaya kepada Tuhan dan mempunyai kitab suci sebagai pegangan beragama, maka mereka termasuk kedalam kategori ahlul kitab. Argumen kedua yang dikemukakannya adalah karena ia berhasrat untuk menguji kebenaran asumsi yang berkembang di masyarakat yang mengatakan, bahwasanya pernikahan beda agama akan memunculkan banyak konflik atau ditengarai rentan perceraian. Di akhir paparannya ia bahkan menandaskan bahwa pernikahannya adalah sebuah “eksperimentasi”.

Menyimak surat Al-Maa’idah ayat 5 dan sebuah hadits riwayat Ibnu Jarir dimana Rasulullah SAW bersabda : “Kita boleh kawin dengan perempuan-perempuan ahlul kitab, tetapi mereka tidak boleh kawin dengan perempuan-perempuan kita”, secara sekilas dapat disimpulkan bahwa seorang muslimah tidak boleh menikahi pria non-muslim dan seorang pria muslim tidak boleh menikahi seorang wanita musyrik/kafir, tetapi ia boleh menikahi seorang wanita ahlul kitab. K.H. Miftah Faridl, seorang ulama besar dari kota Bandung, mencegah umat Islam untuk lekas-lekas mengambil kesimpulan dari landasan kedua dalil naqli tersebut seperti disimpulkan diatas.

Menurut K.H. Miftah Faridl, berkenaan dengan rencana pernikahan seorang muslim, maka ia perlu mempertimbangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi cegahan atau larangan menjadikan seseorang dari kalangan non-muslim sebagai walijah dan bithanah (teman terpercaya yang tahu akan rahasia diri) ; atau suami/istri yang jelas-jelas posisinya lebih tinggi dari seorang walijah atau bithanah. Al-Mukaram K.H. Miftah Faridl merujuk surat Ali ‘Imran ayat 118, At-Taubah ayat 16, At-Tahrim ayat 6, An-Nisa’ ayat 34 dan Thaha ayat : 132 untuk dicermati kembali oleh seorang pria muslim sebelum ia memutuskan untuk melakukan, atau mendukung pernikahan beda agama di kalangan kaum muslimin. Adapun berkenaan dengan seorang wanita muslim, cukup dengan sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Ibnu Jarir yang dikemukakan sebelumnya, maka haram baginya menikah dengan seorang pria non-muslim. Larangan tersebut secara logis seharusnya bisa diterima, karena jika seorang pria non-muslim menikahi seorang wanita muslim, maka posisinya sebagai kepala keluarga memungkinkannya untuk memaksakan kehendak terhadap Istri dan anaknya, agar mengikuti akidahnya yang bukan Islam.

Selain beberapa pertimbangan dalil yang dikemukakan diatas, faktor yang harus dipertimbangkan kemudian adalah konsekuensi praktikal di rumah tangga. Ada kekhawatiran jika seorang pria muslim menikahi seorang wanita non-muslim, maka anak-anaknya kemudian menjadi murtad. Hal itu disebabkan karena dalam keseharian seorang Istri lebih dekat dengan anak-anaknya, sehingga lebih mudah digugu, ditiru, dan otomatis lebih berpengaruh secara de-facto ketimbang suaminya. Bila sampai terjadi anak-anak mengikuti akidah Istrinya yang non-muslim, seorang Suami dapat dianggap gagal menjaga amanah Allah SWT yang termaktub dalam surat Thaha ayat 132 yaitu : “Dan suruhlah keluargamu untuk melakukan shalat dan peliharalah pelaksanaannya...” . Hal Itu berarti pula penyimpangan dari cita-cita sakinah, mawaddah, wa rahmah sebagai objektifitas utama tiap-tiap rumah tangga yang seharusnya diidamkan seorang muslim.

Akhirnya, untuk mensikapi berbagai mudarat yang kemungkinan besar timbul menyangkut keakidahan kita sebagai muslim jika kita menempuh pernikahan beda agama, alangkah lebih baiknya kita meletakkan perkara tersebut sebagai sebuah perkara syubhat yang meragukan dan sebaiknya dihindari. Berusahalah untuk terus istiqamah berikhtiar dan berdoa jika belum diperkenankan Allah SWT mendapatkan jodoh buat dinikahi sebagai pendamping kita dalam menjalani hidup untuk selamanya. Percayalah bahwa Allah SWT akan memberikan jodoh yang terbaik. Dan jika kita berusaha untuk menjadi umat-Nya yang shalih, maka jodoh yang kita dapatkan tentunya adalah pasangan hidup yang shalih atau potensial ‘dishalihkan’ oleh Allah SWT.

No comments: