Thursday, September 08, 2005

Sebatang Jarum Separuh Takut

Ada sepuluh kali lebih saya berhadapan dengan jarum suntik. Waktu kena virus typhus, waktu perawatan kecelakaan, saat operasi bedah mulut, dan yang paling tak bisa dilupakan : ketika kena 'asam urat.' Dokter Daim, ahli jaringan tempat saya berobat menusukkan jarum ke tempat yang sakit kurang-lebih 7 kali. Para penderita asam urat pasti mengerti, betapa sakitnya sendi ketika ditusuk jarum suntik. Jangankan ditusuk jarum, disentuh seulas saja sudah linu, ngilu dan membikin pasien berteriak : “Aaaaw !”

Meski berpengalaman menghadapi jarum suntik, tak pernah sekalipun saya terbebas dari perasaan trauma. Selalu ada perasaan khawatir, setiap tahu akan berhadapan dengan jarum suntik. Leher ini biasanya langsung mengucurkan keringat 'jagung', ketika saya berobat, dan Pak Mantri atau Pak Dokter berkata tenang : “Suntik dulu ya, Mas...”

Trauma, phobia, atau apalah namanya itu pula yang membuat batin saya bertarung, sebelum hendak mendonorkan darah. Kalau tak mendonorkan, takut berdosa dalam pandangan Allah. Kan sudah jelas saya tahu ada orang yang membutuhkan. Selain itu, sudah terang darahnya sama dengan golongan darah saya, yaitu : 'O'. Tapi kalau saya bersedia menjadi donor, sayapun harus menundukkan perasaan phobi terlebih dahulu. Sedang dari pengalaman yang sudah-sudah, tak mudah juga menundukkan ketakutan itu.

Setelah menghirup habis susu coklat di kantin “Sabar” bersama Aji, fotografer muda yang menurut ceritanya juga takut jarum suntik, saya memutuskan untuk mendonorkan darah. Dalam hemat saya, siapa tahu, suatu saat nanti malah saya yang membutuhkan darah orang lain. Singkat cerita, dengan ditemani Aji 'sang fotografer', saya berangkat menuju kantor Palang Merah Indonesia (PMI)-Bandung, pada pagi hari itu.

Baru pertama kali itu donor darah. Berarti pertama kali juga, berhadapan dengan jarum suntik tanpa perasaan terpaksa, dengan secara 'sukarela.' Rupanya hari itu cukup banyak orang yang mau mendonorkan darah. Ada pegawai dealer Suzuki yang berbondong-bondong datang. Ada rombongan pegawai RRI (Radio Republik Indonesia) yang mengantri di tempat timbang badan. Dan ada juga perorangan yang hendak mendonorkan darah, sama seperti saya dan Dulhadi, petugas sekuriti yang rupanya mau juga mendonorkan darah, buat adik teman sekantor yang bleeding pasca melahirkan.

Pada mulanya saya merasa santai. Apalagi ada Aji dan Dulhadi yang menemani. Sebelum pemeriksaan pertama dan masuk ruang tunggu transfusi, kami sempat berkelakar segala.

“Ji, Kasihan nanti adiknya Pak Levi. Dapat darah saya sama darahnya Dulhadi.”ujar saya.

“Iya. Entar keluarganya kaget, Bang. Nanti Bapak-Ibunya bertanya : Kunaon si Teteh sesudah sembuh teh malah jadi lincah dan konyol begini ?” timpal Dulhadi membuka canda.

Kontan saja kami tertawa bersama. Meski pada mulanya tak enak hati, sebab ada Pak Levi disitu. Tapi melihat ibu-ibu pegawai RRI dan bapak-bapaknyapun tampak riang dan ketawa-ketawa juga, maka kami teruskan saja candaan kami. Sambil berjaga-jaga, supaya canda kita tidak terlampau keluar batas, tidak sampai kelewat tak sopan. Ternyata, Pak Levipun malah tampak sedikit terhibur. Jadi ikut senyum-senyum kecil, padahal sejak malam nyaris nonstop mengusahakan kekurangan darah bagi sang adik. Terbayang oleh saya, bagaimana penatnya tubuh dan perasaan rekan kerja, yang sekilas pembawaannya mirip dengan Aa Gym itu.

***

Adrenaline saya kembali meningkat drastis, seusai pemeriksaan golongan darah dan haemoglobin di meja pertama. Tadinya sih tenang-tenang saja. Apalagi, waktu menyaksikan alat pengambil darahnya mirip benar dengan pulpen souvenir perusahaan obat. Namun bentuk tinggal bentuk. Waktu ujungnya diletakkan pada ujung jari, jari tengah saya terasa panas dan perih. Bak disengat lebah Jepang, sempat membuat saya kaget dan meringis. “Weh, lumayan juga.”batin saya.

Perasaan tenteram sentausa bersalin rupa kegelisahan menjadi-jadi. Setelah saya masuk ruang tunggu untuk menanti giliran sedot darah, yang berarti terpisah dari Bung Aji dan Pak Levi, tambah cekat-cekot saja dada ini. Deg-deg, deg-deg, deg-deg. Seakan-akan bunyi jantung memompa darah itu, bisa terdengar oleh seluruh penghuni ruangan tunggu. Meski Dulhadi lalu datang dan ikut menunggu panggilan, walau ibu-ibu di ruang tunggu tertawa ketika rekannya dinyatakan darah rendah (berarti tak boleh donor), tetap saja saya tercekam.

Pusing. Itu reaksi tubuh yang saya rasakan sesaat dipanggil. Suasana ruang transfusi yang mirip rumah sakit jaman Belanda membuat saya tambah tercekam. Saya menghadapi petugas pos donor terakhir, dengan hati tak menentu.

“Mas, tensinya biasa tinggi, ya ?”tanya petugas selesai mengukur tekanan darah.

“Nggak, pernah tuh.”

Petugas itu memanggil rekan wanitanya. Rekan perempuannya itu sedang berdebat dengan Dulhadi, sebab memanggil namanya dengan panggilan Dulfuad. Jauh sekali, pikir saya. Dari Dulhadi kok jadi Dulfuad ?

“Wah, ndak bisa donor dulu, Mas. Tensinya 160 ini. Memang punya hipertensi gitu ?”

“Ah, nggak, Mbak.”

“Mungkin tegang karena baru pertama, atau karena kecapekan, atau barangkali baru pulang dari luar kota, ya ?”

“Iya. Hari minggu lalu keluar kota.” jawab saya pendek.

Seharian saya merasa tak enak hati. Entah karena shock dinyatakan bertensi tinggi, atau menyesal tidak bisa memenuhi harapan Pak Levi. Dari siang hingga sore menjelang pulang, saya tak mampu menulis apa-apa, seperti biasanya. Gara-gara dicap hipertensi, saya jadi kontra-produktif, kata Indra, sang nakhoda keredaksian.

Apapun alasannya saya merasa tak puas, karena tak jadi mendonorkan darah. Aji memang menenangkan saya dengan berkata : “ Allah sudah mencatat pahala Abang atas niat dan kesediaan Abang menjadi donor.” Tetapi bukan itu masalahnya. Saya merasa, seandainya saya dinyatakan layak menjadi donor, andai jarum transfusi itu tertancap di lengan ini tadi, setidaknya satu ketakutan telah berhasil saya bunuh. Saya berhasil membunuh trauma atas jarum suntik, menaklukkan phobi sebab pengobatan dengan media sebatang jarum, jika perawat wanita tadi menyatakan layak buat saya, untuk menjadi donor darah.

“Sudahlah, Ed. Setidaknya kamu sudah berhasil membunuh separuh ketakutan itu. Atas niat dan kesediaan kamu menjadi donor.”sayup-sayup suara dalam hati. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah pada sore hari itu, perasaan menyesal terus saja hinggap didada ini. Sampai kemudian sayapun menyerah dan berbisik : “Alah, nanti-nanti masih bisa donor lagi. Yang penting, selamat adiknya Pak Levi. Yang penting adiknya selamat...”



*Penulis adalah redaktur pelaksana cyberMQ

No comments: