Wednesday, September 28, 2005

Damai Dalam Rahmah

Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah fil 'ardh atau khalifah di muka bumi (Q.S. 2 : 30). Manusia diperintahkan untuk mengelola alam yang fana ini, semata-mata untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. 51 : 56), selain demi kemaslahatan alam dan umat manusia sendiri. Begitu besar kepercayaan Allah terhadap mahluknya yang bernama manusia. Bahkan malaikat yang tak lepas dari ibadah dan taat, bahkan iblis yang telah Dia ciptakan dari api membara, tak pernah sempat mengemban amanah sebesar itu. Bukan malaikat atau iblis, tapi manusialah yang diperintahkan Allah untuk menjadi penebar rahmat bagi sekalian alam.

Nabi Muhammad SAW diutus Allah tak lain untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam (Q.S. 21 : 107). Kita sebagai umatnya perlu mengikut contoh perilaku, ucapan dan perangai beliau, sebab Allah sendiri telah berfirman : “Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu contoh ikutan (uswatun hasanah) yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. 33 : 21) Maka perintah Allah untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam, sekaligus berlaku pula untuk seluruh umatnya yang bersaksi : “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah.”

Tidak mudah bagi manusia untuk menjadi rahmat sekalian alam. Ada setan yang selalu menggoda untuk berbuat ingkar, sampai kesesatan itu menjadi 'darah', menjadi 'daging', dalam diri seorang anak manusia. Namun, adakalanya manusia bersiteguh, selalu tegar dan istiqamah, mengikuti perintah dan menjauhi segala larangan Tuhannya. Dan ada diantara mereka pula yang kemudian bertobat, setelah diri berkubang dosa, karena terhasut setan yang selalu berbisik dalam hatinya.

Iblis telah bersumpah untuk mencelakai anak-cucu Adam. Bahkan sumpah itu ia ucapkan dihadapan Allah, Tuhan sekalian alam (Q.S. 7 : 16-17). Segala upaya dikerahkan iblis beserta keturunannya, hanya untuk menyesatkan keturunan Adam 'alaihissalam. Ada yang terbujuk, ada juga yang tidak. Maka : “...sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain.” (Q.S. 7 : 24) Kelompok manusia yang telah tersesat itupun memerangi para hamba Allah, yang masih bersiteguh memegang amanat rahmatan lil 'aalamiin.

Saat kaum musyrikin-kafirin-munafiqin menghalangi terlaksananya cita-cita kaum muslimin, Allah memerintahkan umat Islam untuk tidak berdiam diri. "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah).” perintah Allah SWT dalam Al Qur'an surat At-Taubah ayat 29. Bagi kaum muslimin yang mengambil Allah, Rasulullah dan orang-orang beriman sebagai penolong, Allah telah menjanjikan kemenangan (Q.S. 5 : 56) dan pahala jihad. Bila mereka ditakdirkan hidup maka hidupnya akan mulia, bila mereka gugurpun berhak digelari syuhada. Sesungguhnya, tak ada muslim yang menemui syahid, kecuali kelak mendapatkan surga.

Saat ini, kaum muslimin di Irak, Afghanistan, Sudan dan Palestina, sedang menghadapi ujian penindasan. Tokoh-tokoh dunia telah bergantian naik podium. Buat berpidato, untuk menerima anugerah Nobel Perdamaian. United Nation-pun tampak tak kurang sibuk mengurusi pihak-pihak yang bertikai, terlibat perang, bahkan mencanangkan tanggal 21 September sebagai : International Day Of Peace. Tapi bagi orang-orang Chechnya, Pattani, Bosnia dan Kosovo, apa yang sedang dan pernah mereka alami, tak jauh berbeda dengan apa yang kini tengah merundung saudara-saudaranya di Irak, Afghanistan, Sudan dan Palestina. Ada atau tidak ada Nobel Perdamaian, dicanangkan atau tidak Hari Perdamaian Internasional versi PBB itu, nasib kaum muslimin di negara-negara tersebut tetap tak berubah : masih terkungkung dalam 'penjara' penindasan.

Kaum muslimin mesti menarik diri dari wilayah samar, yang sengaja dibuat romantik lewat ajang-ajang pengusung pesan perdamaian dunia. Umat mesti menyadari bahwa pencanangan hari khusus, penyelenggaraan event-event khusus, -terutama berkenaan dengan hari perdamaian dunia- belum tentu sebuah solusi konkret bagi perdamaian di muka bumi. Hadiah Nobel, peringatan International Day Of Peace, atau konser-konser grup musik terkenal yang kerap mengusung pesan damai, sebenarnya adalah ide absurd yang kurang konkret, dan tak punya dampak langsung terhadap visi perdamaian umat. Perang Dunia (I & II), Perang Vietnam, Perang Teluk (I & II), Perang Balkan, Perang Palestina dan Perang Afghan adalah bukti bahwa tegaknya tatanan dunia yang dirahmati, tak cukup dengan pendekatan-pendekatan abstrak, diplomasi yang bertele-tele model Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Alih-alih memberi semangat kepada umat, moment seperti yang telah dipaparkan diatas malah membuat umat merasa cukup, menjadi sloganistik, lalu kurang empatik terhadap saudara-saudara seakidahnya. Padahal, Rasulullah SAW sendiri telah bersabda, bahwa seorang muslim seharusnya ikut merasa sakit, ketika muslim lainnya tersakiti (H.R. Bukhari). Ya, inilah dampak dari sikap tuturut munding umat Islam, sikap membebek dan membeo, sikap terima jadi, terhadap gagasan pemikiran kaum kuffar yang terang-terangan anti-Islam.

Garis perdamaian bagi umat Islam sebenarnya sudah demikian jelas, yaitu : dengan jihad fi sabilillah menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Tentu saja, bukan semata-mata dengan Jihadul Kuffar tapi melupakan Jihadun Nafsi dan Jihadus Syaithan, bukan semerta-merta menyerang secara fisik tanpa perhitungan. Ingat, kendati kita diperintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik dengan harta, diri dan lisan (H.R. Abu Daud, An Nasa'i, Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, Baihaqi, Baghawi dan Ibnu Asakir dari Anas r.a.), kitapun harus berpegang teguh pada firman : “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah” (Q.S. 8 : 61).

Ketiga potensi jihad itu harus tetap sinergis dalam praktek pelaksanaannya, sehingga umat Islam tidak terjebak dalam dakwah atau jihad yang kurang bil haq wal hasanah. Dengan begitu, harga diri kita sebagai khalifah fil 'ardh akan pulih, cita-cita rahmatan lil 'aalamiin akan tercapai, dan penindasan terhadap manusia- tak hanya umat Islam- takkan pernah terjadi lagi di muka bumi ini. Kita akan berdiri tegak diatas bumi yang dirahmati, bukan sekadar dunia yang damai. Ya. Kita mesti memahami, bahwa 'damai' hanya bagian kecil dari rahmat Allah 'azza wa jalla. Sehingga, rahmah sudah pasti berarti damai, sedangkan damai belum pasti berarti rahmah. (red/aea)

No comments: