Thursday, September 08, 2005

Nilai Printer Dan Harga Sebutir Berlian

Saya belum begitu ngeh waktu Kang Deny mengatakan : “...jendela keluarga sekarang masuk cetakan ke-3.” Saya tidak pernah berhitung satu cetakan itu berapa buku. Tapi sewaktu Kang Deny bilang satu kali cetak itu 5000 buku, sayapun kaget setengah mati. Berarti buku pertama saya, Jendela Keluarga, sudah laku 10.000 buku ! Alhamdulillah.

Selama ini saya kurang memperhatikan soal perkembangan penjualan buku itu. Naskah-naskahnya sendiri kumpulan tulisan saya yang berserakan dimana-mana, soal seputar menikah muda dan keluarga. Kang Deny, Mas Aman, Inas-lah yang punya ide untuk merangkum naskah2 itu, plus naskah-naskah mereka untuk jadi sebuah buku. Singkat cerita Jendela Keluarga terbit. Tanpa saya tahu, tak hanya terbit, melainkan ikut pola mengorbit.

Tak pernah sekalipun saya menagih royalti, pada penerbit dimana Kang Deny dan Inas bertindak sebagai para pengelola. Saya pikir, sudah bagus punya portofolio, dan tak enak menagih royalti sama perusahaan yang baru saja tumbuh. Ya, saya berkata dalam hati :”Semoga buku itu ada manfaatnya bagi yang membaca.” Titik. Itu saja.

Alangkah kagetnya saya ketika Kang Deny, tiba-tiba meminta saya untuk mengambil royalti di kantor redaksi. Di kantor yang lebih mirip rumah tinggal ketimbang perkantoran itu, Kang Deny memberikan amplop tebal, yang katanya berisi uang royalti. Nyaris kelu waktu memandang angka yang tertera di kwitansi yang harus ditandatangani.

“Subhanallah. Alhamdulillah. Tidak salah ini, Kang ?”

“Punten, Bang. Rada terlambat.”ucap Kang Deny ramah.

Tak habis pikir. Buat saya yang kadang kerja lembur tanpa bayaran, tanpa uang tunjangan anak-istri, tambah menyaksikan karyawan ongkang-ongkang tapi bergaji besar, jadi terharu juga diberi upah sebesar itu.

“O.K. Bang. Sing manfaat nya...” kata Kang Deny waktu saya berlalu dari kantor penerbit, dengan perasaan exciting dan pelupuk mata yang nyaris tak mampu menahan gumpalan air yang menggenang disisi-sisinya. “Duh, Rashif, jadi nih sore ini kamu dapat mobil si Bean (Mr. Bean).”bisik saya didalam hati.

Sore hari itu saya mampir dulu ke toko mainan anak-anak. Setelah ngubek-ngubek etalase mobil-mobilan, akhirnya dapat juga mobil morris jenis mini chopper. Miniatur yang eksotik, puji Ajie yang memang hobinya ikut-ikut ke tempat mainan anak-anak. Rashif – yang baru selesai cibang-cibung mandi sore waktu saya datang- jelas girang dapet oleh-oleh mobil mainan. “Mobil si Bean, Papa, mobil si Bean, Papa.” teriaknya dipangkuan sang Mama, yang senyum-senyum tapi curiga : “Apa oleh-oleh buat saya ?”

“Dek, ini nih dapet nemu...”ucap saya sambil menyodorkan amplop tebal yang bikin saya jantungan siang tadi. Mir masih senyum-senyum seperti tadi. Cuma matanya yang belo indah itu tampak berkaca-kaca. Tapi...enggak lama seeeh. Habis itu dia bilang : “Kita jadi beli printer, Bang ?” Hmm, Mir, Mir. Istri orang lain minta perhiasan, kamu kok malah minta dibelikan printer selagi suaminya ada ridzki.

“Itulah istrimu, Bang. Lebih suka printer ketimbang berlian.”ucap Mir sambil menuju meja kerja, tempat ia menulis jurnal proyek-proyek penelitiannya.

Beberapa jenak saya tercenung. Memang sudah lama kami 'merindukan' sebuah printer. Bukan karena ingin, tapi kami memang memerlukannya. Perlu untuk mencetak artikel-artikel saya yang akan dikirim ke media cetak. Perlu untuk mencetak berkas-berkas penelitian istri saya, yang selama ini lebih sering numpang cetak di rumah orangtua. Ya. Pokoknya, mesin printer itu perlu. Untuk mempermudah kami dalam mencari nafkah, sehingga lebih mahal nilainya ketimbang sebutir berlian, dalam pemahaman kami yang polos.


*Penulis adalah Redaktur Pelaksana cybermq.

No comments: