Thursday, August 11, 2005

Sabar Menghadapi Ulah Anak

Waktu saya duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya kerap mengikuti shalat Jum'at bersama banyak teman sekelas saya. Pada satu kesempatan shalat Jum'at, kami agak riuh bercakap-cakap ketika khatib sedang menyampaikan khutbah. Maklumlah, kami masih anak-anak kecil. Belum tahu banyak soal fikih atau aturan sunnah berkenaan dengan shalat Jum'at.

Saat kami asyik berguyon di shaf belakang shalat Jum'at waktu itu, seorang lelaki seumur Ayah menegur kami dengan keras. Tangannya ditepukkan pada bahu salah satu teman. Kontan saja kami berhenti mengobrol beberapa saat. Namun karena khatib membahas hal yang tak bisa kami mengerti, akhirnya kami tak tahan untuk kembali meneruskan obrolan. Kami terus mengobrol sampai khatib selesai berceramah. Tak kami pedulikan, tatap tajam dan gerundelan si Bapak penegur ke arah kami.

Setelah usai shalat, Bapak itu menghampiri kami lagi. Tak saya duga sebelumnya, ia lantas menampar saya, "setan kecil" yang kebetulan paling dekat dalam jangkauannya.

"Dasar anak setan!" bentaknya pada kami sambil menampar dua kali.

Sembari menahan sakit dan tangis karena malu, saya berlalu dari masjid itu. Jum'at berikutnya, saya dan beberapa orang teman sekelas tidak lagi mengikuti shalat jum'at di masjid itu. Meski masjid itulah yang terdekat dengan sekolah kami, namun kami masih memendam trauma atas kejadian yang menimpa saya pada Jum'at sebelumnya.

Hari jum'at yang baru lalu, saya melaksanakan shalat jum'at di masjid raya kota Bandung. Seusai shalat, telinga saya menangkap suara ribut-ribut di bagian shaf belakang. Di bagian shaf belakang itu, seorang anak tampak menangis diantara teman-teman sebaya.

Karena penasaran saya pun pergi menghampiri mereka. Saya tanyakan penyebab anak itu menangis begitu keras. Ternyata, anak itu baru saja dijewer seorang jama'ah yang merasa terganggu oleh kehadiran mereka. Saya pun mencoba menghibur dengan memberikan uang jajan alakadarnya. Dan syukur alhamdulillah, tangis si anak berangsur-angsur mereda.

Sambil mengucapkan terima kasih, si anak pun lantas pergi bersama rombongan kawan-kawannya. Persis seperti saya, ia mengalami perlakuan kasar itu, pada saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Dari kejadian yang menimpa saya dan anak tadi, saya kira ada yang mesti digugah pada hati dan nurani setiap orangtua atas kewajiban mereka dalam memberikan contoh suri-tauladan. Orangtua harus menyadari bahwa mereka diamanahi tanggung jawab besar terhadap perkembangan fisik dan mental seorang anak tanpa pengecualian anak kandung atau anak orang lain yang kebetulan berpapasan.

Dzhalim, jika orangtua erlaku kasar terhadap seorang anak, kendati pun sang anak nyata memang berbuat ulah. Sepatutnya orangtua menunjukkan sikap baik penuh kelembutan, agar sang anak mampu mengambil hikmah keteladanan dari perlakuan manis tersebut.

Bukankah Rasulullah SAW saja mampu bersabar bangkit dari sujudnya, disaat Hasan dan Husein, kedua cucunya itu menunggangi pundak beliau dikala shalat.

Orangtua tentunya kerap dibuat gusar, gelisah, tak enak, disaat anak-anaknya berbuat ulah. Ada yang bisa mensikapinya dengan tenang, sabar, lantas melakukan pendekatan persuasif dengan cara membuka komunikasi yang hangat saat menegur sang anak. Adapula orangtua yang bertindak represif. Menegur dengan hardikan, memukul bagian tubuh si anak ketika dia berbuat ulah.

Sikap terbaik dalam menghadapi ulah anak tentunya terdapat pada opsi yang pertama, yaitu menegur anak lewat komunikasi yang hangat dan terbuka.

Bisa dengan memanggil atau mencegah kenakalan anak dengan bertingkah jenaka. Penanganan represif terhadap ulah seorang anak, malah akan berdampak buruk terhadap kualitas mentalnya, karena ia potensial mencontoh perilaku kasar kita.

Bila anak sering kita perlakukan secara kasar, maka terhadap orang lain dan diri kita sendiri pun mereka tetap bertabiat kasar. Ketika saat itu tiba, kita tentu tidak adil jika malah menyalahkannya. Bukankah kita sendiri yang mengajarkan sikap demikian kepada si anak?

Orangtua perlu merenungkan makna dari perkataan bahwasannya seorang anak bagaikan selembar kertas putih. Kita sebagai orangtualah yang memberi warna, menuliskan sesuatu di lembaran kertas putih tersebut. Artinya, jika kita ingin melihat akan jadi apa anak kita di masa yang akan datang, maka periksalah bagaimana sikap dan cara kita mendidiknya pada waktu sekarang.

Sebaiknya orangtua sering melakukan introspeksi. Dengan begitu, setiap orangtua akan dapat mengevaluasi dan memperbaiki kualitas metode pendidikan dalam mengembangkan potensi sang anak, yang berarti mengupayakan kebaikan untuk keluarganya pula.

Sebagai orangtua, kitapun memiliki tanggung jawab yang tak kurang besarnya terhadap anak-anak selain anak kita sendiri. Pada hakikatnya mereka adalah anak-anak kita juga. Generasi penerus yang akan menyambung perjuangan dan dakwah demi tegaknya Dinul Islam di muka bumi.

Janganlah seorang anak dicontohi dan dibuat trauma dengan kekasaran seperti kejadian yang pernah saya alami dan penulis ceritakan pada paragraf awal. Dalam masa pertumbuhan fisik dan mentalnya, hal-hal demikian memiliki pengaruh besar terhadap kondisi kejiwaan seorang anak. Na'udzubillah, tsumma na'udzubillah, bilamana kita memegang andil dalam degradasi mental seorang anak yang merupakan amanah besar untuk diri kita.

Maka sebagai orangtua, mari kita dahulukan sikap sabar, dalam menghadapi setiap ulah anak kita maupun ulah anak-anak lain, yang kebetulan berinteraksi dengan kita. Orangtua sepatutnya istiqamah memberikan contoh perilaku terpuji, agar kebutuhan mereka akan figur panutan dapat terpenuhi, sehingga mereka tumbuh dewasa berhiaskan akhlaqul karimah.(red/aea)

No comments: