Sunday, August 21, 2005

Masyarakat Fasiqa

Al-Farabi, dalam kitab "Madinah Al Fadhilah", membagi masyarakat dalam tiga karakter. Karakter masyarakat fadhilah, masyarakat jahiliyah dan masyarakat fasiqa. Masyarakat fadhilah adalah masyarakat yang sangat menaati hukum dan aturan agama. Setiap anggotanya menjaga kualitas hablumminallah sekaligus hablum minannaas-nya. Selain berusaha menjalin hubungan baik dengan Allah sebagai Tuhan-nya, mereka berusaha pula mengeratkan jalinan persaudaraan dan kebersamaan antar sesama manusia. Contoh dari masyarakat fadhilah adalah masyarakat Madinah pasca hijrah Rasulullah SAW. Kala itu Muhajirin sebagai pendatang disambut terbuka oleh para penduduk Yatsrib, yang dikenal dengan sebutan kaum Anshar. Mereka kemudian hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Sama-sama mengikuti jalan Islam, yang risalahnya adalah wahyu Allah SWT kepada Rasulullah SAW.

Masyarakat jahiliyah adalah profil kebalikan daripada masyarakat fadhilah. Masyarakat jahiliyah tak mengenal norma hukum atau agama, sehingga mereka akrab dengan perbuatan dosa. Riba, zina, bahkan pembunuhan bukanlah dosa besar pada pandangan masyarakat ini. Contoh dari masyarakat jahiliyah adalah masyarakat Mekkah di era sebelum wahyu turun kepada Rasulullah SAW. Dimasa-masa tersebut Ka'bah dijadikan tempat pemujaan berhala, pesta Khamr kerap diselenggarakan semalam suntuk, perzinahan menjadi sesuatu yang biasa, dan budak-budak diperlakukan secara tak layak. Pada masa-masa jahiliyah itu, derajat wanita jauh lebih rendah dibandingkan kaum pria. Umar bin Khattab bahkan pernah mengubur bayi perempuannya hidup-hidup, karena merasa malu. Sebab adat kafir Quraisy menganggap hina kelahiran seorang bayi perempuan.

Bila masyarakat fadhilah sudah mengenali norma hukum disamping menaati peraturan agama, jika masyarakat jahiliyah sama sekali buta akan norma hukum serta akhlak agama, maka karakter masyarakat fasiqa merupakan gabungan ciri dari dua profil masyarakat yang diuraikan sebelumnya. Menurut keterangan Al-Farabi, masyarakat fasiqa adalah kelompok masyarakat yang tahu dan mengerti betul akan hukum dan norma agama. Namun dalam kenyataan sehari-hari, mereka tak pernah mengikuti norma hukum dan melaksanakan perintah agama secara kaffah. Masyarakat yang fasik ini sebetulnya tahu : bagaimana yang baik itu, seperti apa keburukan itu. Bahkan, merekapun sudah memiliki perangkat hukum yang canggih, lengkap dengan ajaran agama yang sempurna dan diyakini kebenarannya. Yang secara tertulis ataupun tidak, mengarahkan mereka untuk menaati Allah dan selalu bersikap respek terhadap sesama mahluk, terutama sesama manusia.

Dunia kita sekarang ini adalah sebuah dunia yang tak nihil dari paham keagamaan, aturan hukum dan etika, atau ilmu-ilmu yang berguna bagi pengaturan dinamika kehidupan sosial maupun religi. Banyak lembaga serta institusi tertentu telah dirancang dan didirikan demi keseimbangan kehidupan. Ada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), berikut sub-organisasi-sub-organisasi dibawahnya, yang siap mengelola berbagai masalah seputar hubungan bilateral dan multilateral bangsa-bangsa seluruh dunia. Ada World Health Organization (WHO) yang siap mewadahi problematika seputar kesehatan. Ada UNESCO yang fokus terhadap masalah-masalah sekitar kehidupan anak-anak di dunia ke-3, atau developing countries. Dan masih banyak organisasi lain, yang didirikan dan dalam pergerakannya ditopang oleh otak-otak brilian kalangan sarjana, pemikir, praktisi, yang menguasai metode problem solving, bagi pengentasan masalah edukasi, kemiskinan, dan berbagai permasalahan urgen yang kerap menghantui dunia.

Menengok kondisi internal Indonesia, masyarakat kitapun bukan tergolong masyarakat yang buta akan norma hukum maupun nilai-nilai religiusitas. Idul Fitri, Natal, Waisyak dan Nyepi dirayakan dan diakui sebagai hari-hari besar agama. Undang-undang mensahkan hari-hari besar itu sebagai hari libur nasional, dan agama-agama tersebut diakui sebagai agama-agama resmi. Berkenaan dengan bidang politik dan kenegaraan, masyarakat Indonesiapun dilengkapi oleh landasan idiil dan konstitusi. Misalnya Pancasila (landasan idiil), Undang-undang Dasar (landasan konstitusi), beserta perangkat lembaga sebagai pelaksana pengelolaan dan penyelenggaraan negara, seperti : Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Kabinet Pemerintahan yang dikepalai oleh seorang presiden. Dalam bidang hukum masyarakat Indonesiapun mengenal Kitab Undang-udang Hukum Pidana serta Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sangsi atas pelanggaran dan faedah mengikuti sebuah aturan sudah ditetapkan dan dijelaskan secara tertulis. Sehingga, akan mudah bagi orang per orang untuk memedomaninya.

Menatap dunia kita dihadapkan pada keprihatinan yang memerikan. Di Palestina dan Irak, perang terus berkecamuk, dengan menelan banyak korban dari kalangan sipil. Negara-negara di benua hitam Afrika diliputi kemiskinan dan wabah penyakit yang sangat menyengsarakan. Seiring dengan itu, negara-negara maju mengembangkan paham ekonomi kapitalisme. Suatu ide dan sistem yang mengamini cara-cara kanibalistik dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup. Kesenjangan sosial lalu terjadi. Perbedaan antara si kaya-si miskin semakin kentara saja. Dalam dunia yang timpang inilah negara adikuasa beraksi dengan watak kebijakan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang ambivalen. Disatu sisi mendukung terwujudnya perdamaian global dan tata dunia yang lebih beradab. Dilain sisi terus mengembangkan teknologi persenjataan, mengembangkan sistem ekonomi yang menciptakan kesenjangan sosial, dan juga mempengaruhi opini dunia, lewat media-media yang berada dalam pengaruhnya.

Meninjau keadaan didalam negeri, kitapun dihadapkan pada fakta yang cukup memprihatinkan. Sebagai negara dengan mayoritas Islam terbanyak di dunia, Indonesia ternyata malah dikenal luas sebagai bangsa dengan 'dua ekstrem' : disatu sisi tampil sebagai bangsa yang religius, disisi lain begitu permisif terhadap nilai-nilai kejahiliyahan. Kendati mayoritas penduduk mengaku berkeyakinan Islam, namun dalam praktek korupsi dan pornografi, dunia Internasional mengakui Indonesia sebagai 'yang terdepan'. Beberapa fakta yang mengemuka akhir-akhir ini menunjukkan pula penyakit buruk yang tengah menjangkiti masyarakat kita. Ada penyelewengan cara-cara ibadah shalat, ada penyalah-gunaan Al Qur'an untuk kepentingan jabatan, ada korupsi yang melanda dunia perbankan, mark-up di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan masih banyak lagi peristiwa penggusuran paksa, pembunuhan keji, serta kasus-kasus pelecehan seksual. Dan fakta terbaru : peledakan pasar Tentena di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Membaca kitab "Madinah Al Fadhilah", rasa-rasanya kita masih jauh dari karakter sebuah masyarakat yang fadhilah. Disebut jahiliyahpun rasa-rasanya akan terlalu ekstrem, mengingat mayoritas bangsa kita mengaku berkeyakinan muslim, bahkan banyak diantaranya diakui dunia sebagai teknokrat, cendekiawan, dan pemikir-pemikir yang handal. Karakter masyarakat kita agaknya lebih dekat pada ciri masyarakat fasiqa : mengaku sebagai bangsa yang religius, tapi dalam praktek kehidupan sehari-hari kerap menghalalkan cara-cara amoral. Dalam profil masyarakat fasiqa inilah tampaknya -diakui atau tidak- kita menemukan banyak keakuran. Keserupaan-keserupaan yang seharusnya menyadarkan kita, bahwa tanpa perbaikan kita akan kembali pada jaman kegelapan.

No comments: