Sunday, August 21, 2005

Merdeka Dalam Kemajemukan

Tarikh meriwayatkan, masyarakat Islam sebelum Futuh Mekkah hidup jauh dari merdeka. Rasulullah SAW tak leluasa melaksanakan dakwah, malah harus mengabarkan Islam yang mulia dengan cara sembunyi-sembunyi. Kaum kafir Quraisy selalu merongrong kebebasan para penganut Islam dalam menjalankan perintah agama. Ada juga yang menerima perlakuan keji, sebagaimana keluarga 'Amr Bin Yasir dan sahabat Bilal. Hubungan kerabat dan famili tak ampuh sebagai pelindung mereka. Untuk jangka waktu lama para penganut Islam diasingkan, dan kaum keluarga dihalangi dari melakukan interaksi apapun dengan mereka.

Kemerdekaan bisa diecap oleh umat Islam setelah Rasulullah SAW dan sekelompok muhajirin hijrah ke Madinah. Untuk menjaga kemerdekaan masing-masing kaum di Madinah, Rasulullah SAW – kaum anshar (penduduk Madinah) dan muhajirin membuat kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai kontrak politik Sahifah Madinah. Dalam Sahifah Madinah termaktub klausul pembentukan umat yang satu, umat yang bebas namun toleran, umat yang sepenuhnya menentukan bentuk dan corak pemerintahan.

Sahifah Madinah berguna sebagai panduan hidup bermasyarakat dalam masyarakat yang majemuk. Dalam Sahifah Madinah dianjurkan supaya bersahabat tanpa mengenal agama atau asal keturunan. Dianjurkan pula, untuk senantiasa tolong-menolong, bahu-membahu dalam kebaikan antara satu sama lain.

Asas-asas Sahifah Madinah baru bisa direalisasikan dalam kehidupan masyarakat yang merdeka. Masyarakat yang telah dibebaskan daripada belenggu penjajahan dan membentuk sebuah negara berdaulat. Negara Madinah, dengan demikian, melalui Sahifah Madinah telah membentuk satu identitas masyarakat sendiri, yaitu : masyarakat majemuk. Tidak semua negara memiliki identitas serupa, dibangun dari pelbagai karakter masyarakat atau agama. Indonesia, dalam pada ini mesti menyadari, bahwa iapun merupakan negara yang unik dalam konteks keberagaman suku, adat, ras dan agama.

Dalam sebuah negara merdeka bercirikan kemajemukan, perpaduan adalah unsur yang menuntut pengelolaan cepat, agar perbedaan dari kemajemukan tidak menjurus ke arah benturan atau konflik. Itulah yang dilakukan Rasulullah SAW saat mendirikan negara Madinah. Setidaknya, beliau melakukan dua kali langkah penyatuan. Pertama, menyatukan kalangan muhajirin dan anshar yang notabene Islam. Kedua, menyatukan golongan Yahudi dan penduduk Madinah secara keseluruhan. Jelas Rasulullah SAW mempertimbangkan betul latar belakang, budaya dan agama yang berbeda – sehingga beliau sangat mementingkan penyatuan antar umat yang berbeda karakteristik itu. Itu dilakukannya demi mematahkan kemungkinan bakal konflik, sehingga ciri kemajemukan itu menjadi perbedaan yang membawa rahmat. Karena, segala potensi bisa saling mengisi, berkembang, menutupi kelemahan satu sama lain.

Keberadaan berbagai suku, adat, ras dan agama adalah fakta sosiologis yang tak dapat dielakkan di negeri ini. Namun ketika wibawa kepemimpinan runtuh dan person pemimpin yang amanah tak kunjung menjadi tuan pemerintahan di negeri ini, suku- adat-ras- agama yang berbeda itu sering terlibat konflik satu-sama lain. Peristiwa Sampit, Ambon, Poso adalah fakta yang tak bisa kita pungkiri dalam peringatan 60 tahun kemerdekaan. Dilain pihak, ketika ditanya, pusat selalu bersikukuh bahwa Indonesia mesti utuh bersatu. Lalu bagaimana mau bersatu, jika masyarakatnya makin tidak menghargai satu sama lain ?

Masyarakat a-toleransi adalah masyarakat yang tidak merdeka. Masyarakat semacam ini akan senantiasa terkungkung dalam berpikir, berinteraksi, serta rentan oleh perbedaan sikap dan pendapat , yang bisa menjurus kearah debat berujung konflik. Masyarakat a-toleransi adalah masyarakat yang jauh dari matang atau dewasa. Sebab anggotanya selalu ingin menang sendiri, berbuat sekehendak hati, tanpa menyadari ada orang lain yang bakal terganggu sebab ketidak-acuhan mereka.

Masyarakat Indonesia tampaknya perlu belajar banyak dari interaksi anak kecil. Lihat dan perhatikan keseharian mereka. Waktu mereka bermain, tak ada 'Ucok', 'Udin' atau 'Chong Lee'. Tak ada istilah Batak, Cina, atau Sunda dalam organisasi bermain. Anak-anak tak pernah melihat suku-adat-ras-agama seorang kawan, dalam dunia permainan yang menjadi ajang interaksi satu sama lain. Mereka merdeka. Sebagaimana kaum Anshar dan Muhajirin, kaum minoritas dalam negara Madinah, semasa Rasulullah SAW hidup dan memegang betul Sahifah Madinah.

Filosofi “anak kecil bermain” itu tampaknya ampuh untuk kembali merekatkan jarak antar suku-adat-ras-agama yang berbeda di Indonesia. Tanpa kerendahan hati, tentu berat untuk menerapkan itu. Tapi tampaknya tak cuma kerendahan hati. Kita juga membutuhkan kepemimpinan yang kuat, shalih dan berwibawa, sebagaimana karakter kepemimpinan Rasulullah SAW. Agar ruang interaksi dan sikap toleransi itu berkembang secara intelek dan proporsional. Intelek dan proporsional itu perlu. Agar kita tak sampai bersikap bak orang-orang liberal. Yang berkoar-koar paling toleran, sembari mengorbankan jati diri suku-adat-ras serta agamanya sendiri. Atau bahkan, mengorbankan aqidah demi melintasi perbedaan keyakinan yang dikira sebagai sumber konflik.

No comments: