Wednesday, September 28, 2005

Ramadhan Kita Jelang

Tak ada bulan yang paling mulia selain ramadhan. Rasulullah SAW sampai menggelari bulan ini : syahrul mubarak. Bulan yang penuh rahmat, ampunan dan pembebasan bagi setiap abdullah, yang melewati sepuluh hari pertama hingga sepuluh hari terakhirnya dengan amalan-amalan saleh. Dengan shaum, tarawih, tadarrus, qiyamul lail yang istiqamah, bahkan dengan sahur dan ifthar yang tertib (diakhirkan/ didahulukan), bulan ramadhan akan membuahkan hikmah yang tak ternilai, dalam qolbu siapapun yang ikhlas menjalaninya.

Banyak sekali keutamaan bulan ramadhan. Pada bulan ini Al Qur'an diturunkan, pahala dilipat-gandakan, pintu surga terkuak dan pintu-pintu neraka ditutup. Keutamaan ramadhan terletak pula pada curahan rahmat-Nya di sepuluh hari pertama, limpahan maghfirah atau ampunan-Nya di sepuluh hari kedua, dan janji pembebasan dari api neraka pada sepuluh hari terakhir. Di sepuluh hari terakhir itulah, terdapat malam lailatul qadr atau malam seribu bulan. Malam dimana setiap mereka yang ber-i'tikaf dan beribadah mendapat ganjaran sepadan dengan pahala seribu bulan. Bagaimana agar rahmat, maghfirah dan pembebasan yang dijanjikan Allah itu dapat kita raih dengan sempurna ? Rahasianya terletak pada sejauh mana persiapan kita, untuk menempuh perjalanan waktu di syahrul mubarak yang segera akan kita jelang.

Peran aktif da'i, ulama maupun organisasi Islam sangat diperlukan dalam masa penyambutan bulan ramadhan ini. Nasihat maupun seruan mereka amat berguna sebagai panduan bagi umat, agar dapat, tepat dan semangat menjalankan berbagai ibadah mahdhah dan ghayr mahdhah, yang dianjurkan selama syahrur ramadhan. Setidaknya kaum da'i dan aktivis Islam bisa memfasilitasi individu-individu muslim untuk melakukan : I'dad Ruhi Imani, yaitu meneguhkan keimanan kita (“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” [H.R. Muslim] ) ; I'dad Jasadi, yaitu mempersiapkan kesehatan jasmani kita ; I'dad Maliyah, yaitu mempersiapkan harta untuk melipat-gandakan sedekah kita ("Sebaik-baik sedekah adalah sedekah di bulan Ramadhan." [H.R. At Tirmidzi] ) ; dan I'dad Fikri wa Ilmi, yaitu mempersiapkan ilmu untuk diterapkan atau diamalkan, dalam keseharian kita selama ramadhan.

Kaum ulama, organisasi Islam dan seluruh umat mesti bersatu-padu, untuk mewujudkan suasana tenteram di seluruh negeri. Maka selain persiapan individu- lingkungan rukun warga sampai tingkat kota, lingkungan pesantren sampai tempat kerja, perlu juga disiapkan untuk menyambut syahrur ramadhan. Sarana-prasarana masjid atau mushola-mushola harus kembali ditata serta dibersihkan. Agar setiap orang khusyuk ketika beribadah di dalamnya, agar kaum muslimin dan muslimah merasa nyaman, tatkala mengikuti program-program ramadhan yang diselenggarakan oleh ta'mir masjid, pengurus mushola atau panitia sanlat ramadhan.

Jangan pula dilupakan persiapan dalam keluarga kita. Bapak sebagai kepala keluarga, selain harus lebih cepat dan sempurna dalam persiapan diri, mesti memeriksa kesiapan lingkungan rumah dan kondisi seluruh anggota keluarga. Apakah rumah sudah dibersihkan dan ditata rapi, apakah perlengkapan ibadah dan mushaf Al Qur'an sudah tersedia dan memadai, apakah semua anggota keluarga berada dalam kondisi fisik dan mental yang prima. Mumpung masih ada waktu satu minggu, mari kita benahi segala kekurangan yang kelak bisa menghambat ibadah shaum, atau ibadah ramadhan kita secara keseluruhan.

Ramadhan yang kita jelang adalah bulan yang terlalu sayang untuk dilewatkan tanpa persiapan khusus. Disamping persiapan memberi kita kemudahan dikala menjalani ibadah di bulan suci nanti, rehearsal juga merupakan wujud kegembiraan kita atas kedatangan 'tamu mulia' itu. “Barang siapa yang hatinya merasa gembira atas kedatangan bulan ramadhan, maka Allah kelak mengharamkan jasadnya dari api neraka.”demikian sabda Rasulullah SAW (H.R. Bukhari-Muslim). Semoga saja, kita semua tergolong sebagai kaum yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya itu. (red/aea)

Damai Dalam Rahmah

Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah fil 'ardh atau khalifah di muka bumi (Q.S. 2 : 30). Manusia diperintahkan untuk mengelola alam yang fana ini, semata-mata untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. 51 : 56), selain demi kemaslahatan alam dan umat manusia sendiri. Begitu besar kepercayaan Allah terhadap mahluknya yang bernama manusia. Bahkan malaikat yang tak lepas dari ibadah dan taat, bahkan iblis yang telah Dia ciptakan dari api membara, tak pernah sempat mengemban amanah sebesar itu. Bukan malaikat atau iblis, tapi manusialah yang diperintahkan Allah untuk menjadi penebar rahmat bagi sekalian alam.

Nabi Muhammad SAW diutus Allah tak lain untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam (Q.S. 21 : 107). Kita sebagai umatnya perlu mengikut contoh perilaku, ucapan dan perangai beliau, sebab Allah sendiri telah berfirman : “Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu contoh ikutan (uswatun hasanah) yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. 33 : 21) Maka perintah Allah untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam, sekaligus berlaku pula untuk seluruh umatnya yang bersaksi : “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah.”

Tidak mudah bagi manusia untuk menjadi rahmat sekalian alam. Ada setan yang selalu menggoda untuk berbuat ingkar, sampai kesesatan itu menjadi 'darah', menjadi 'daging', dalam diri seorang anak manusia. Namun, adakalanya manusia bersiteguh, selalu tegar dan istiqamah, mengikuti perintah dan menjauhi segala larangan Tuhannya. Dan ada diantara mereka pula yang kemudian bertobat, setelah diri berkubang dosa, karena terhasut setan yang selalu berbisik dalam hatinya.

Iblis telah bersumpah untuk mencelakai anak-cucu Adam. Bahkan sumpah itu ia ucapkan dihadapan Allah, Tuhan sekalian alam (Q.S. 7 : 16-17). Segala upaya dikerahkan iblis beserta keturunannya, hanya untuk menyesatkan keturunan Adam 'alaihissalam. Ada yang terbujuk, ada juga yang tidak. Maka : “...sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain.” (Q.S. 7 : 24) Kelompok manusia yang telah tersesat itupun memerangi para hamba Allah, yang masih bersiteguh memegang amanat rahmatan lil 'aalamiin.

Saat kaum musyrikin-kafirin-munafiqin menghalangi terlaksananya cita-cita kaum muslimin, Allah memerintahkan umat Islam untuk tidak berdiam diri. "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah).” perintah Allah SWT dalam Al Qur'an surat At-Taubah ayat 29. Bagi kaum muslimin yang mengambil Allah, Rasulullah dan orang-orang beriman sebagai penolong, Allah telah menjanjikan kemenangan (Q.S. 5 : 56) dan pahala jihad. Bila mereka ditakdirkan hidup maka hidupnya akan mulia, bila mereka gugurpun berhak digelari syuhada. Sesungguhnya, tak ada muslim yang menemui syahid, kecuali kelak mendapatkan surga.

Saat ini, kaum muslimin di Irak, Afghanistan, Sudan dan Palestina, sedang menghadapi ujian penindasan. Tokoh-tokoh dunia telah bergantian naik podium. Buat berpidato, untuk menerima anugerah Nobel Perdamaian. United Nation-pun tampak tak kurang sibuk mengurusi pihak-pihak yang bertikai, terlibat perang, bahkan mencanangkan tanggal 21 September sebagai : International Day Of Peace. Tapi bagi orang-orang Chechnya, Pattani, Bosnia dan Kosovo, apa yang sedang dan pernah mereka alami, tak jauh berbeda dengan apa yang kini tengah merundung saudara-saudaranya di Irak, Afghanistan, Sudan dan Palestina. Ada atau tidak ada Nobel Perdamaian, dicanangkan atau tidak Hari Perdamaian Internasional versi PBB itu, nasib kaum muslimin di negara-negara tersebut tetap tak berubah : masih terkungkung dalam 'penjara' penindasan.

Kaum muslimin mesti menarik diri dari wilayah samar, yang sengaja dibuat romantik lewat ajang-ajang pengusung pesan perdamaian dunia. Umat mesti menyadari bahwa pencanangan hari khusus, penyelenggaraan event-event khusus, -terutama berkenaan dengan hari perdamaian dunia- belum tentu sebuah solusi konkret bagi perdamaian di muka bumi. Hadiah Nobel, peringatan International Day Of Peace, atau konser-konser grup musik terkenal yang kerap mengusung pesan damai, sebenarnya adalah ide absurd yang kurang konkret, dan tak punya dampak langsung terhadap visi perdamaian umat. Perang Dunia (I & II), Perang Vietnam, Perang Teluk (I & II), Perang Balkan, Perang Palestina dan Perang Afghan adalah bukti bahwa tegaknya tatanan dunia yang dirahmati, tak cukup dengan pendekatan-pendekatan abstrak, diplomasi yang bertele-tele model Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Alih-alih memberi semangat kepada umat, moment seperti yang telah dipaparkan diatas malah membuat umat merasa cukup, menjadi sloganistik, lalu kurang empatik terhadap saudara-saudara seakidahnya. Padahal, Rasulullah SAW sendiri telah bersabda, bahwa seorang muslim seharusnya ikut merasa sakit, ketika muslim lainnya tersakiti (H.R. Bukhari). Ya, inilah dampak dari sikap tuturut munding umat Islam, sikap membebek dan membeo, sikap terima jadi, terhadap gagasan pemikiran kaum kuffar yang terang-terangan anti-Islam.

Garis perdamaian bagi umat Islam sebenarnya sudah demikian jelas, yaitu : dengan jihad fi sabilillah menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Tentu saja, bukan semata-mata dengan Jihadul Kuffar tapi melupakan Jihadun Nafsi dan Jihadus Syaithan, bukan semerta-merta menyerang secara fisik tanpa perhitungan. Ingat, kendati kita diperintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik dengan harta, diri dan lisan (H.R. Abu Daud, An Nasa'i, Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, Baihaqi, Baghawi dan Ibnu Asakir dari Anas r.a.), kitapun harus berpegang teguh pada firman : “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah” (Q.S. 8 : 61).

Ketiga potensi jihad itu harus tetap sinergis dalam praktek pelaksanaannya, sehingga umat Islam tidak terjebak dalam dakwah atau jihad yang kurang bil haq wal hasanah. Dengan begitu, harga diri kita sebagai khalifah fil 'ardh akan pulih, cita-cita rahmatan lil 'aalamiin akan tercapai, dan penindasan terhadap manusia- tak hanya umat Islam- takkan pernah terjadi lagi di muka bumi ini. Kita akan berdiri tegak diatas bumi yang dirahmati, bukan sekadar dunia yang damai. Ya. Kita mesti memahami, bahwa 'damai' hanya bagian kecil dari rahmat Allah 'azza wa jalla. Sehingga, rahmah sudah pasti berarti damai, sedangkan damai belum pasti berarti rahmah. (red/aea)

Thursday, September 15, 2005

Karena Penyakit Hubbud Dunya

"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (Q.S. At-Taubah ayat 34-35).

Allah SWT sangat murka kepada mereka yang melakukan al-kanzu (perbuatan menimbun harta), sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya diatas. Namun sering kita salah memahami pandangan-Nya, berkenaan dengan urusan harta duniawi tersebut. Ada dari kita yang menduga, bahwa Islam melarang orang kaya, bahwa mengumpulkan harta itu tercela, saat baru membaca satu ayat itu saja. Banyak juga dari kita yang menganggap : kepapaan itu lebih terpuji daripada kebercukupan, dalam pandangan risalah agama yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW ini.

Kebalikan dari al-kanzu adalah al- 'afwu, yaitu menginfakkan apa yang berlebih dari kadar kebutuhan pribadi. "Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir."firman Allah dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 219. Dalam kitab Al Jami li Ahkam al Qur'an, Al Qurtubhi mengutip tafsir dari Imam Abdullah Bin Abbas, Imam Hasan Al Bashri dan Imam Qatadah bin Du'amah As-Sadusi, berkenaan dengan makna ayat tersebut. Tafsirnya adalah “Infakkanlah harta yang berlebihan dari kebutuhan-kebutuhan pribadimu, namun jangan sampai membuat dirimu menjadi merugi sehingga menjadi orang miskin."

***

Jelas bagi kita, bahwa Allah sama sekali tak melarang kita memperkaya diri atau mengumpulkan harta, saat menyimak pembahasan teks Al Qur'an mengenai perbuatan al-kanzu maupun tindakan al-'afwu diatas. Islam melarang al- kanzu, sebab perbuatan itu menghalangi kemanfaatan suatu barang/jasa yang seharusnya dinikmati oleh banyak orang. Nilai utility sebuah produk menjadi minus, karena perbuatan al- kanzu yang diterapkan oleh perorangan atau lembaga usaha itu.

Sebaliknya, Islam menganjurkan al-'afwu, agar kelebihan harta kita bisa diinvestasikan kedalam usaha-usaha tertentu, yang tentunya harus juga memperhitungkan nilai profit, benefit dan keberkahan. Nilai profit adalah berapa besar usaha tersebut menghasilkan keuntungan atau laba materiil bagi kita. Nilai benefit atau manfaat adalah seberapa mampu usaha kita menyejahterakan diri,serta menyejahterakan orang-orang disekitar kita.

Disamping nilai profit dan benefit, jangan dilupakan : nilai keberkahan. Jika dua nilai sebelumnya terkait erat dengan urusan hablum minannaas, maka dalam perkara nilai keberkahan, segi hablum minallaah-nyalah yang lebih dominan. Artinya, jika nilai profit dan benefit terkait langsung dengan tanggung-jawab horisontal terhadap sesama, maka segi keberkahan menyangkut tanggung-jawab langsung seorang pelaku usaha kepada Allah SWT. Tips agar selamat dalam pertanggungjawaban diri dihadapan-Nya adalah dengan : memilih usaha yang halal dan thayyib.

Dari larangan melakukan al-kanzu maupun anjuran melakukan al-'afwu tersirat jelas, Islam menghendaki pemerataan dalam bangun perekonomian sebuah masyarakat. Tak boleh ada dalam masyarakat Islam, beberapa gelintir orang hidup bermewah-mewah, sementara mayoritas lainnya hidup dibawah garis kemiskinan. Hendaknya mereka yang berkecukupan ikut membantu pengentasan kemiskinan. Dengan sedekah harian, rutin mengeluarkan zakat fitrah, dan lebih penting lagi membuka jalan rejeki bagi orang lain. Niat itu bisa diwujudkan dengan menggagas pendirian sebuah badan usaha atau lembaga keahlian, perancangan sebuah proyek padat karya, sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Sayangnya Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, malah jauh dari cita-cita ideal pemerataan dalam bidang perekonomiannya. Banyak ketimpangan terjadi, semakin tampak kentara kesenjangan antara si kaya dengan si miskin. Di negeri ini belum banyak pengusaha besar yang aktif bertindak sebagai bapak angkat usahawan kecil. Yang paling sering kita temui adalah : penyabotan terhadap hak-hak rakyat kecil, demi kepentingan pengusaha besar dan segelintir orang-orang di birokrasi. Motif mereka jelas adalah al- kanzu, atau memperkaya diri dan kroni-kroni, sebuah perbuatan yang jelas diharamkan lewat ayat 34-35 Al Qur'an surat At-Taubah, yang telah dikutip dalam paragraf pembuka.

Fakta terkini dari perbuatan al- kanzu itu adalah kegiatan penimbunan dan penyelundupan bahan bakar minyak (BBM), dari perairan Indonesia ke luar negeri. Kasus tersebut kini ramai diberitakan oleh berbagai media cetak dan elektronik. Sebab ironisnya, terjadi ditengah kelangkaan beberapa jenis BBM di daerah-daerah tertentu, terjadi diantara kabar melonjaknya harga BBM di pasar minyak dunia. Berdasarkan bukti awal yang ditemukan pihak Pertamina, kalangan aparat, sindikat penyelundup mancanegara dan oknum pejabat Pertamina sendiri, termasuk sebagai pihak-pihak yang ditengarai telah bersekongkol dalam kriminal penyelundupan itu.

***

Realita penyimpangan tersebut menunjukkan kepada kita, bahwa satu diantara banyak penyakit kronis yang menjangkiti kalangan terhormat negeri ini adalah : al-kanzu. Lalu, mengapa orang berkelebihan dan berkecukupan sampai terjebak melakukan perbuatan yang diharamkan itu ? Tentu bukan masalah ekonomi, bukan masalah pemenuhan kebutuhan hidup, yang menjadi sebab utamanya.

Rasulullah SAW pernah mengingatkan kepada kita, jangan sampai hati ini terjangkiti hubbud dunya, yaitu : cintaan berlebihan terhadap harta dunia. Memang normal saja manusia mencintai harta dunia, sebab Allah SWT sendiri telah berfirman :"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan mewah), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik"(Q.S. Ali 'Imran : 14). Namun, jika cinta dunia melebihi cinta seorang hamba terhadap Rabb-nya, maka segala yang dicintai dan disukainya itu malah akan menjadi fitnah bagi diri.

Rasulullah SAW menggolongkan hubbud dunya sebagai fitnah terbesar bagi umatnya, sebagaimana sabda beliau : "Setiap umat memiliki fitnah dan ujian, dan fitnah terbesar bagi umatku adalah harta dunia."(H.R. Muslim) Selain siksa pedih terhadap mereka yang terlampau mencintai dunia, sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an surat At-Taubah ayat 34-35, Rasulullah SAW pernah juga mengingatkan umatnya akan siksa pedih dan murka Allah, bagi siapa-siapa yang terjangkiti penyakit hubbud dunya. "Sesungguhnya harta dunia ini adalah ibarat tanaman yang hijau (yang sangat menarik) dan terasa manis. Harta dunia akan menjadi sebaik-baiknya sahabat bagi kehidupan seorang Muslim, jika mendapatkannya dengan cara yang benar dan memanfaatkannya dengan cara yang benar pula, seperti untuk menegakkan agama Allah, menolong dan membantu anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Dan barangsiapa yang mendapatkannya dengan cara yang tidak benar, maka ibarat orang yang makan tetapi tidak pernah merasa kenyang, dan kelak akan menjadi saksi pada hari kiamat (yang memberatkan)."demikian peringatan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari.

Agar diri tak terjangkiti hubbud dunya, terbebas dari kotoran hati dan kelak kembali pada nafsul muthmainnah, hendaknya kita mampu memilah antara urusan 'kebutuhan' dengan perkara 'keinginan'. Kita canangkan ikhtiar kita untuk memenuhi apa-apa yang memang diperlukan, daripada untuk memenuhi syahwat keinginan. Islam menganjurkan kita untuk menggenggam harta sesuai kadar kebutuhan pribadi dan keluarga, serta memerintahkan infak dari sisa berlebih pemenuhan kebutuhan kita sehari-hari. Perlu diinsyafi bahwa jumlah infak itu, tak hanya sebatas ukuran sedekah recehan saja. Alangkah mulianya jika milik kita yang berlebih itu bisa bermanfaat untuk kepentingan umat, sebagai investasi pendidikan, usaha perdagangan atau apa saja yang berguna. Dengan begitu, hati kita akan terbebas dari hubbud dunya, dari perbuatan tercela seperti al- kanzu, sebagaimana dilakukan oknum aparat, pengusaha serta pejabat penimbun dan penyelundup BBM, yang kini tinggal menghitung waktu datangnya azab dari Allah 'azza wa jalla. Wallahu a'lam bish shawab. (red/aea)

Selagi Kita Belum Berangkat

Setiap terjadi musibah, kematian merasuk sebagai memori yang mencekam perasaan. Kita yang masih ditakdirkan hidup seolah diingatkan, bahwa kematian tak pernah bisa kita duga, meski tempo sedetik sebelum kedatangannya. Mati adalah rahasia, tapi juga kepastian bagi segala yang hidup. "Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mendahulukannya."(Q.S. 10 : 49), demikian firman Allah dalam Al Qur'an.

Kematian bukan hanya satu kepastian dari banyak kepastian. Ia bahkan merupakan satu-satunya perkara pasti, yang akan dirasakan oleh setiap mahluk bernyawa. Beda kematian dengan momentum lain semata hanya urusan prediksi. Peristiwa lain sedikit-banyak masih mengandung unsur predictable, sedang kematian tidak. Mati adalah sebuah peristiwa yang unpredictable. Tak bisa diprediksi, tak teramalkan, tak dapat diukur kapan waktu kejadiannya, dengan ilmu atau alat secanggih apapun. “...Kelahiran, rejeki, jodoh dan kematian hanya Allah saja Yang Mengetahui,” sabda Rasulullah SAW (H.R. Bukhari).

Kematian adalah peristiwa suci yang mengandung ujian. Pada episode ini manusia meninggalkan alam fana menuju ke alam kekal. Menjemput kemuliaan atau mendatangi kehinaan, sesuai nilai keimanan, tingkat ketakwaan, serta amal perbuatannya semasa hidup di alam dunia. “(Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. "(Q.S. 67 : 2). Maka berbahagialah orang yang senantiasa mengisi hidupnya dengan ilmu, amal dan ikhlas hati, sebab dalam pandangan Sang Khaliq, mereka termasuk orang yang beruntung lulus ujian. Namun begitu, celakalah mereka yang lemah iman lagi kerap berbuat dosa. Sepanjang hayat di alam yang kekal nanti, kesengsaraan adalah teman abadi. Yang akan mengisi lembar-lembar waktu, mengisi pergantian hari, yang tak akan kunjung atau pernah menemukan akhir. Itulah sebabnya, kehidupan dan kematian disebut paket ujian. Karena hidup dan mati berguna dalam menguji dan memilah siapa-siapa, orang yang boleh bertinggal dalam kebahagiaan abadi, dan siapa orang yang kelak menjadi umpan api neraka, ketika akhirat telah dikuakkan.

Sebaik-baik manusia adalah mereka yang selalu mengingat mati, sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari. Hamba Allah yang tak lepas dari mengingat mati, pastilah selalu bersiap diri. Agar sewaktu-waktu Izrail datang mencabut nyawa, ia sedang dalam keadaan beriman, dalam keadaan menaati perintah Allah dan melindungi diri dari larangan-Nya. Manusia demikian mencapai apa yang dinamakan : husnul khatimah. Insan yang mampu menyelesaikan tugas khalifatullah dengan akhir yang baik. Melalui sebuah happy ending. Meraih kembali nafsul muthmainnah-nya.

Mukjizat Isra' Mi'raj

Kuasa Allah nyata tak terbatas. Tinggal mengucap “kun” saja, maka terjadilah apa yang menjadi ketentuan-Nya. Apapun yang tak mungkin dalam pandangan manusia, mungkin dan mudah dalam pandangan Allah SWT. Sebagaimana begitu mudahnya Dia memperjalankan Rasulullah SAW dari Makkah ke Baitul Maqdis, dari bumi yang fana ini menuju hadirat-Nya : Sidratul Muntaha. Singkat saja waktu perjalanan yang ditempuh oleh Baginda Nabi. Cuma satu malam. Sampai-sampai hanya Abu Bakar As-Siddiq saja yang betul-betul penuh mempercayai tuturan pengalaman beliau. Penduduk kota Mekkah yang rata-rata belum menganut Islam malah menertawakan kabar di-mi'raj-kannya Rasulullah SAW.

Sebelum Rasulullah SAW di-mi'raj-kan Jibril a.s. "membedah" dada beliau, untuk membersihkan jiwa Baginda Nabi dari 'debu-debu' dunia. Kedalam hatinya kemudian didedahkan “iman” dan “hikmah”. Sebuah pelajaran bagi kita, bahwa untuk menghadap ke hadirat Allah SWT, bahkan seorang Rasul-pun mesti membersihkan diri dari pelbagai kotoran hati, dan menghiasi dirinya dengan akhlaqul karimah. Bekal untuk dapat berjumpa dengan Sang Khaliq yang paling utama adalah kebersihan jiwa. Sebab jiwalah yang menentukan apakah diri kita termasuk Islam, Iman, atau Ihsan. Sebaliknya, hati kita juga yang menentukan, apakah diri termasuk kafir, fasik, musyrik atau seorang munafik.

***

Saat Baginda Nabi sampai di Baitul Maqdis, Jibril a.s. memerintahkannya untuk menjalankan shalat dua raka'at. Setelah menunaikan shalat dua raka'at di Baitul Maqdis itu, Rasulullah SAW ditawari minum oleh Jibril a.s. Minuman itu adalah arak dan susu. Rasulullah SAW kemudian memilih untuk meminum susu, ketimbang menghirup arak yang harumnya sebenarnya sungguh menggoda indera. Seketika Jibril a.s. berkata lega : “Engkau telah memilih kesucian.” Kemuliaan Baginda Nabi sebagai teladan umat membuat beliau memilih minuman yang berkhasiat. Beliau tahu, jika saja arak yang ditenggak, maka umatnya akan menjadi sekumpulan manusia yang hilang akal, dan kerap dimabukkan oleh segala kenikmatan dunia.

Pada malam Isra Mi'raj itu, Rasulullah SAW menyaksikan pula berbagai peristiwa yang erat kaitannya dengan perilaku umatnya sebagai khalifatullah. Ditunjukkan kepada beliau akhirat, yang terbagi dalam dua wilayah : surga dan neraka. Baginda Nabi menyaksikan betapa penderitaan mereka yang berbuat durhaka. Baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Allah SWT juga telah menunjukkan kepada Rasulullah SAW, bahwa iman dan akidah yang teguh akan mendapat balasan baik dari-Nya. Orang yang rajin beramal saleh, kukuh berjihad di jalan Allah, akan diberi balasan berlipat-ganda. Bak seorang yang sekali menanam, namun hasil yang diperoleh bisa dituai berulang-kali. Baginda Nabi menyaksikan itu terjadi pada keluarga Mashitoh, pembantu Fir'aun yang dibunuh oleh suruhan Pharaoh. Allah SWT telah memuliakan Mashitoh dengan serba kenikmatan. Berkat ketabahannya menggenggam kalimat tauhid : “Tiada Tuhan selain Allah.”

Peristiwa Isra Mi'raj-pun menandaskan kepada manusia, bahwa sesungguhnya Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Mendengar. Nyata Allah telah meringankan kewajiban menunaikan shalat, ketika perintah shalat diturunkan kepada Rasulullah SAW. Bermula dari perintah agar umat Islam mengerjakan shalat 50 kali sehari-semalam. Setelah Baginda Nabi dihimbau oleh Nabi Musa a.s. untuk kembali mengajukan permohonan keringanan (sebanyak 9 kali), Allah SWT telah mengurangkannya hingga 5 kali saja sehari-semalam. Bukan tak niscaya, jika saja Baginda Nabi mengajukan permohonan untuk mengurangi bilangan kewajiban itu, Allah SWT akan mengabulkan permohonannya. Tapi karena besarnya rasa malu Rasulullah SAW terhadap Allah, kendati Nabi Musa a.s. pesimis bahwa umat Islam tak akan lalai dari mengerjakan kewajiban itu, Baginda Nabi tak lagi mengajukan pengurangan jadwal shalat wajib.

Seandainya umat Islam- atau seluruh umat manusia- mengimani bahwa peristiwa Isra' Mi'raj ini benar-benar dialami Rasulullah SAW, maka tak akan ada yang lalai dari berbuat benar dan menegakkan shalat lima waktu. Pada hakikatnya, setiap Isra' Mi'raj diperingati, setiap itu kita diuji. Apakah kita telah khusyuk dan tertib menunaikan kewajiban shalat lima waktu, apakah kita konsisten memilih kebenaran ketimbang keburukan, dan apakah kita percaya betul bahwa umat Islam adalah umat pilihan yang kelak lebih dulu masuk ke surga, daripada umat-umatnya yang lain ?

Peringatan Isra' Mi'raj menguji keteguhan umat Islam, apakah wahyu masih membimbing akal kita, apakah justru kita telah menafikan wahyu lantas keterlaluan asyik dengan logika dalam kehidupan beragama. Aneh memang, jika masih ada perdebatan tentang bagaimana Rasulullah SAW menempuh perjalanan Isra' Mi'raj itu. Aneh jika kita masih mengira-ngira apakah Baginda Nabi melakukan perjalanan berikut roh dan fisik, sekadar roh saja, dalam arti Rasulullah SAW mengalami peristiwa Mi'raj hanya dalam mimpi. Keraguan kita sama saja dengan pengingkaran terhadap firman-Nya : "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsa yang telah kami berkati sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Q.S. Al-Israa': Ayat 1).

Semoga Allah SWT membimbing akal kita dalam menempuh berbagai ujian terhadap aqidah kita sebagai muslim. Semoga moment Isra' Mi'raj membuat kita sadar, bahwa akal manusia selalu memerlukan bimbingan wahyu. Sebab akal hanya milik manusia yang rendah, sedangkan wahyu murni hanya milik Allah SWT. “Akal dan wahyu tidak boleh dipisahkan, sebab wahyu juga merupakan sumber dan landasan syariat Islam, sementara akal berfungsi sebagai alat untuk memahami syariat Islam yang diturunkan oleh Allah SWT tersebut.”demikian tulis Zamhasari Jamil, mahasiswa Department of Islamic Studies Jamia Millia Islamia, New Delhi, India, dalam artikel Isra’ Mi’raj: Antara Wahyu dan Akal.(red/aea)

Fitnah Atau Anugerah ?

Wanita adalah 'penyeimbang' bagi kaum pria. Sungguh mulia derajat perempuan, jikalau kita menyadari, keberadaannya adalah inti keseimbangan dalam penciptaan mahluk bernama manusia. Rasulullah SAW telah meninggikan derajat wanita sebagai 'perhiasan dunia yang paling indah'. Hal itu beliau ungkapkan dalam sebuah sabda : "Dunia ini penuh perhiasan dan perhiasan yang paling indah ialah wanita solehah." (H.R. Muslim).

Wanita bisa menjadi fitnah atau anugerah dalam hidup, bagi pria yang ia dampingi. Ketika suami tak mampu mendidik isterinya, maka keberadaan sang isteri lambat-laun hanya akan menjadi fitnah belaka. Namun ketika suami berhasil mendidik belahan hatinya itu, maka keberadaan sang isteri bak anugerah terindah, bak permata hati, bak mutiara masa, yang sanggup membahagiakannya sepanjang hidup.

Setiap suami mengharapkan kehadiran isterinya, sebagai anugerah, bukan sebagai fitnah yang menyengsarakan. Namun sebelum itu, ia harus menghadapi berbagai ujian hati, mengingat cita-cita mulia memang harus diwujudkan dengan ikhtiar keras. Ujian itulah kiranya, yang menentukan apakah isteri merupakan fitnah atau anugerah bagi sang suami.

Gampang-gampang sulit bagi seorang suami, untuk mendidik isterinya agar sesuai dengan akhlak Islam. Pasal pendidikan ini menjadi tidak mudah, mengingat seorang suami harus selalu siap menjadi teladan. Dalam tuntunan Islam, seorang suami dituntut untuk lebih maju beberapa langkah ketimbang isterinya. Terutama dalam urusan thalabul 'ilmi dan beramal saleh. Dengan ilmu dan amal yang mumpuni, maka setiap ada masalah, setiap itu juga seorang suami mampu menghadirkan solusi. Solusi itulah yang ditunggu oleh isteri dan anak-anaknya, sebagai sumber kewibawaan seorang ayah/suami yang patut dibanggakan dan bisa melindungi. Dengan kewibaan dan kebanggaan itulah, pasal pendidikan terhadap isteri menjadi lebih mudah. Sederhananya, menjadi mudah bagi suami untuk mengajak isteri agar selalu taat.

Untuk meminimalisir potensi fitnah dalam diri seorang wanita, maka selain melalui pendidikan pasca pernikahan, seorang pria diperintahkan untuk berhati-hati pula dalam memilih pasangan hidup. Rasulullah SAW telah memberi petunjuk kepada setiap laki-laki muslim, untuk perkara pemilihan calon pendamping hidup. "Janganlah kamu nikahi wanita karena kecantikannya, kelak kecantikannya itu akan membinasakannya; janganlah kamu nikahi wanita karena hartanya, boleh jadi hartanya akan menyebabkan kedurhakaanmu; sebaliknya nikahilah wanita yang beragama. Sesungguhnya wanita yang tak berhidung ataupun tuli tetapi beragama, itu adalah lebih baik bagimu." demikian nasehat beliau (H.R. Abdullah ibn Humaid).

Dapat disimpulkan, bahwa keberadaan wanita sebagai fitnah atau anugerah tergantung bagaimana pendidikan yang diterapkan oleh pendamping hidup, dalam hal ini : seorang pria sebagai suami. Wanita merupakan ujian bagi seorang pria, pun sebuah parameter kesejatian dan keberhasilan seorang muslim. Bila seorang muslim mampu mendidik isterinya, maka mulialah dirinya dimata Allah, berbahagialah ia dalam kehidupan dunia dan akhirat kelak. Namun bila ia gagal mendidik isterinya, selain kesengsaraan yang harus diecapnya sepanjang hidup, Allah-pun kelak akan menuntut pertanggung-jawabannya.

Thursday, September 08, 2005

Sebatang Jarum Separuh Takut

Ada sepuluh kali lebih saya berhadapan dengan jarum suntik. Waktu kena virus typhus, waktu perawatan kecelakaan, saat operasi bedah mulut, dan yang paling tak bisa dilupakan : ketika kena 'asam urat.' Dokter Daim, ahli jaringan tempat saya berobat menusukkan jarum ke tempat yang sakit kurang-lebih 7 kali. Para penderita asam urat pasti mengerti, betapa sakitnya sendi ketika ditusuk jarum suntik. Jangankan ditusuk jarum, disentuh seulas saja sudah linu, ngilu dan membikin pasien berteriak : “Aaaaw !”

Meski berpengalaman menghadapi jarum suntik, tak pernah sekalipun saya terbebas dari perasaan trauma. Selalu ada perasaan khawatir, setiap tahu akan berhadapan dengan jarum suntik. Leher ini biasanya langsung mengucurkan keringat 'jagung', ketika saya berobat, dan Pak Mantri atau Pak Dokter berkata tenang : “Suntik dulu ya, Mas...”

Trauma, phobia, atau apalah namanya itu pula yang membuat batin saya bertarung, sebelum hendak mendonorkan darah. Kalau tak mendonorkan, takut berdosa dalam pandangan Allah. Kan sudah jelas saya tahu ada orang yang membutuhkan. Selain itu, sudah terang darahnya sama dengan golongan darah saya, yaitu : 'O'. Tapi kalau saya bersedia menjadi donor, sayapun harus menundukkan perasaan phobi terlebih dahulu. Sedang dari pengalaman yang sudah-sudah, tak mudah juga menundukkan ketakutan itu.

Setelah menghirup habis susu coklat di kantin “Sabar” bersama Aji, fotografer muda yang menurut ceritanya juga takut jarum suntik, saya memutuskan untuk mendonorkan darah. Dalam hemat saya, siapa tahu, suatu saat nanti malah saya yang membutuhkan darah orang lain. Singkat cerita, dengan ditemani Aji 'sang fotografer', saya berangkat menuju kantor Palang Merah Indonesia (PMI)-Bandung, pada pagi hari itu.

Baru pertama kali itu donor darah. Berarti pertama kali juga, berhadapan dengan jarum suntik tanpa perasaan terpaksa, dengan secara 'sukarela.' Rupanya hari itu cukup banyak orang yang mau mendonorkan darah. Ada pegawai dealer Suzuki yang berbondong-bondong datang. Ada rombongan pegawai RRI (Radio Republik Indonesia) yang mengantri di tempat timbang badan. Dan ada juga perorangan yang hendak mendonorkan darah, sama seperti saya dan Dulhadi, petugas sekuriti yang rupanya mau juga mendonorkan darah, buat adik teman sekantor yang bleeding pasca melahirkan.

Pada mulanya saya merasa santai. Apalagi ada Aji dan Dulhadi yang menemani. Sebelum pemeriksaan pertama dan masuk ruang tunggu transfusi, kami sempat berkelakar segala.

“Ji, Kasihan nanti adiknya Pak Levi. Dapat darah saya sama darahnya Dulhadi.”ujar saya.

“Iya. Entar keluarganya kaget, Bang. Nanti Bapak-Ibunya bertanya : Kunaon si Teteh sesudah sembuh teh malah jadi lincah dan konyol begini ?” timpal Dulhadi membuka canda.

Kontan saja kami tertawa bersama. Meski pada mulanya tak enak hati, sebab ada Pak Levi disitu. Tapi melihat ibu-ibu pegawai RRI dan bapak-bapaknyapun tampak riang dan ketawa-ketawa juga, maka kami teruskan saja candaan kami. Sambil berjaga-jaga, supaya canda kita tidak terlampau keluar batas, tidak sampai kelewat tak sopan. Ternyata, Pak Levipun malah tampak sedikit terhibur. Jadi ikut senyum-senyum kecil, padahal sejak malam nyaris nonstop mengusahakan kekurangan darah bagi sang adik. Terbayang oleh saya, bagaimana penatnya tubuh dan perasaan rekan kerja, yang sekilas pembawaannya mirip dengan Aa Gym itu.

***

Adrenaline saya kembali meningkat drastis, seusai pemeriksaan golongan darah dan haemoglobin di meja pertama. Tadinya sih tenang-tenang saja. Apalagi, waktu menyaksikan alat pengambil darahnya mirip benar dengan pulpen souvenir perusahaan obat. Namun bentuk tinggal bentuk. Waktu ujungnya diletakkan pada ujung jari, jari tengah saya terasa panas dan perih. Bak disengat lebah Jepang, sempat membuat saya kaget dan meringis. “Weh, lumayan juga.”batin saya.

Perasaan tenteram sentausa bersalin rupa kegelisahan menjadi-jadi. Setelah saya masuk ruang tunggu untuk menanti giliran sedot darah, yang berarti terpisah dari Bung Aji dan Pak Levi, tambah cekat-cekot saja dada ini. Deg-deg, deg-deg, deg-deg. Seakan-akan bunyi jantung memompa darah itu, bisa terdengar oleh seluruh penghuni ruangan tunggu. Meski Dulhadi lalu datang dan ikut menunggu panggilan, walau ibu-ibu di ruang tunggu tertawa ketika rekannya dinyatakan darah rendah (berarti tak boleh donor), tetap saja saya tercekam.

Pusing. Itu reaksi tubuh yang saya rasakan sesaat dipanggil. Suasana ruang transfusi yang mirip rumah sakit jaman Belanda membuat saya tambah tercekam. Saya menghadapi petugas pos donor terakhir, dengan hati tak menentu.

“Mas, tensinya biasa tinggi, ya ?”tanya petugas selesai mengukur tekanan darah.

“Nggak, pernah tuh.”

Petugas itu memanggil rekan wanitanya. Rekan perempuannya itu sedang berdebat dengan Dulhadi, sebab memanggil namanya dengan panggilan Dulfuad. Jauh sekali, pikir saya. Dari Dulhadi kok jadi Dulfuad ?

“Wah, ndak bisa donor dulu, Mas. Tensinya 160 ini. Memang punya hipertensi gitu ?”

“Ah, nggak, Mbak.”

“Mungkin tegang karena baru pertama, atau karena kecapekan, atau barangkali baru pulang dari luar kota, ya ?”

“Iya. Hari minggu lalu keluar kota.” jawab saya pendek.

Seharian saya merasa tak enak hati. Entah karena shock dinyatakan bertensi tinggi, atau menyesal tidak bisa memenuhi harapan Pak Levi. Dari siang hingga sore menjelang pulang, saya tak mampu menulis apa-apa, seperti biasanya. Gara-gara dicap hipertensi, saya jadi kontra-produktif, kata Indra, sang nakhoda keredaksian.

Apapun alasannya saya merasa tak puas, karena tak jadi mendonorkan darah. Aji memang menenangkan saya dengan berkata : “ Allah sudah mencatat pahala Abang atas niat dan kesediaan Abang menjadi donor.” Tetapi bukan itu masalahnya. Saya merasa, seandainya saya dinyatakan layak menjadi donor, andai jarum transfusi itu tertancap di lengan ini tadi, setidaknya satu ketakutan telah berhasil saya bunuh. Saya berhasil membunuh trauma atas jarum suntik, menaklukkan phobi sebab pengobatan dengan media sebatang jarum, jika perawat wanita tadi menyatakan layak buat saya, untuk menjadi donor darah.

“Sudahlah, Ed. Setidaknya kamu sudah berhasil membunuh separuh ketakutan itu. Atas niat dan kesediaan kamu menjadi donor.”sayup-sayup suara dalam hati. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah pada sore hari itu, perasaan menyesal terus saja hinggap didada ini. Sampai kemudian sayapun menyerah dan berbisik : “Alah, nanti-nanti masih bisa donor lagi. Yang penting, selamat adiknya Pak Levi. Yang penting adiknya selamat...”



*Penulis adalah redaktur pelaksana cyberMQ

Nilai Printer Dan Harga Sebutir Berlian

Saya belum begitu ngeh waktu Kang Deny mengatakan : “...jendela keluarga sekarang masuk cetakan ke-3.” Saya tidak pernah berhitung satu cetakan itu berapa buku. Tapi sewaktu Kang Deny bilang satu kali cetak itu 5000 buku, sayapun kaget setengah mati. Berarti buku pertama saya, Jendela Keluarga, sudah laku 10.000 buku ! Alhamdulillah.

Selama ini saya kurang memperhatikan soal perkembangan penjualan buku itu. Naskah-naskahnya sendiri kumpulan tulisan saya yang berserakan dimana-mana, soal seputar menikah muda dan keluarga. Kang Deny, Mas Aman, Inas-lah yang punya ide untuk merangkum naskah2 itu, plus naskah-naskah mereka untuk jadi sebuah buku. Singkat cerita Jendela Keluarga terbit. Tanpa saya tahu, tak hanya terbit, melainkan ikut pola mengorbit.

Tak pernah sekalipun saya menagih royalti, pada penerbit dimana Kang Deny dan Inas bertindak sebagai para pengelola. Saya pikir, sudah bagus punya portofolio, dan tak enak menagih royalti sama perusahaan yang baru saja tumbuh. Ya, saya berkata dalam hati :”Semoga buku itu ada manfaatnya bagi yang membaca.” Titik. Itu saja.

Alangkah kagetnya saya ketika Kang Deny, tiba-tiba meminta saya untuk mengambil royalti di kantor redaksi. Di kantor yang lebih mirip rumah tinggal ketimbang perkantoran itu, Kang Deny memberikan amplop tebal, yang katanya berisi uang royalti. Nyaris kelu waktu memandang angka yang tertera di kwitansi yang harus ditandatangani.

“Subhanallah. Alhamdulillah. Tidak salah ini, Kang ?”

“Punten, Bang. Rada terlambat.”ucap Kang Deny ramah.

Tak habis pikir. Buat saya yang kadang kerja lembur tanpa bayaran, tanpa uang tunjangan anak-istri, tambah menyaksikan karyawan ongkang-ongkang tapi bergaji besar, jadi terharu juga diberi upah sebesar itu.

“O.K. Bang. Sing manfaat nya...” kata Kang Deny waktu saya berlalu dari kantor penerbit, dengan perasaan exciting dan pelupuk mata yang nyaris tak mampu menahan gumpalan air yang menggenang disisi-sisinya. “Duh, Rashif, jadi nih sore ini kamu dapat mobil si Bean (Mr. Bean).”bisik saya didalam hati.

Sore hari itu saya mampir dulu ke toko mainan anak-anak. Setelah ngubek-ngubek etalase mobil-mobilan, akhirnya dapat juga mobil morris jenis mini chopper. Miniatur yang eksotik, puji Ajie yang memang hobinya ikut-ikut ke tempat mainan anak-anak. Rashif – yang baru selesai cibang-cibung mandi sore waktu saya datang- jelas girang dapet oleh-oleh mobil mainan. “Mobil si Bean, Papa, mobil si Bean, Papa.” teriaknya dipangkuan sang Mama, yang senyum-senyum tapi curiga : “Apa oleh-oleh buat saya ?”

“Dek, ini nih dapet nemu...”ucap saya sambil menyodorkan amplop tebal yang bikin saya jantungan siang tadi. Mir masih senyum-senyum seperti tadi. Cuma matanya yang belo indah itu tampak berkaca-kaca. Tapi...enggak lama seeeh. Habis itu dia bilang : “Kita jadi beli printer, Bang ?” Hmm, Mir, Mir. Istri orang lain minta perhiasan, kamu kok malah minta dibelikan printer selagi suaminya ada ridzki.

“Itulah istrimu, Bang. Lebih suka printer ketimbang berlian.”ucap Mir sambil menuju meja kerja, tempat ia menulis jurnal proyek-proyek penelitiannya.

Beberapa jenak saya tercenung. Memang sudah lama kami 'merindukan' sebuah printer. Bukan karena ingin, tapi kami memang memerlukannya. Perlu untuk mencetak artikel-artikel saya yang akan dikirim ke media cetak. Perlu untuk mencetak berkas-berkas penelitian istri saya, yang selama ini lebih sering numpang cetak di rumah orangtua. Ya. Pokoknya, mesin printer itu perlu. Untuk mempermudah kami dalam mencari nafkah, sehingga lebih mahal nilainya ketimbang sebutir berlian, dalam pemahaman kami yang polos.


*Penulis adalah Redaktur Pelaksana cybermq.

Wanita Karier : Peran Strategis Atau Kendala ?

Seorang juru tera kenamaan asal Malaysia, Ir. Hj. Endok Sempo M Tahir pernah mengemukakan beberapa gejala 'kepincangan' wanita di era millenium. Salah satu gejala 'kepincangan' yang beliau paparkan itu berlandaskan pada realita : banyak wanita sukses dalam karier, tapi rumahtangganya malah hancur-lebur.

Sebagai mahluk sosial wanita bergerak dinamis dalam lingkup keluarga asal, keluarga bentukan, serta lingkungan tempat tinggal. Untuk waktu kini, lingkupnya bisa ditambah dengan : lingkungan mencari nafkah. Dari pendapat Ir. Hj. Endok Sempo M Tahir bisa diasumsikan, bahwa dalam lingkungan mencari nafkah inilah peran wanita tereduksi. Tereduksi sehingga melupakan tugas-tugas pokok dan gagal menyeimbangkan peran dalam lingkup-lingkup lainnya.

Melihat fenomena yang terjadi pada wanita kalangan atas- lebih spesifik lagi kalangan wanita selebritis- asumsi tersebut memang dikuatkan oleh banyak kasus dan fakta. Wallahu a'lam bish shawab, dengan soal birrul walidayni atau hidup bertetangga mereka sehari-hari. Tapi menurut pemberitaan media, khususnya dalam program infotainment, rumahtangga wanita selebritis ditengarai banyak terlilit masalah. Percekcokan, dugaan penyelewengan, kawin bawah tangan, sampai kasus-kasus perceraian tengah marak dikalangan artis wanita kita. Fakta inilah yang lalu membuat sebagian masyarakat menduga, semena-mena memberi cap : “rumah tangga artis sulit untuk harmonis.”

Menyimak fakta itu, penulis coba mencari dan menyimak realitas lain. Dan fakta-fakta yang terungkap kemudian mengisyaratkan, sebenarnya bukan profesi pilihan an sich yang menimbulkan keretakan rumahtangga. Pilihan karier dan cara menyikapinyalah, yang juga menentukan optimal tidaknya kiprah mereka di lingkup keluarga asal, keluarga bentukan, serta lingkungan tempat tinggal. Buktinya, masih banyak kaum wanita yang aktif tapi mampu mendidik anak, mengurus suami dan mengembangkan birrul walidayni.

Di lingkungan tempat tinggal penulis, contohnya. Rata-rata wanita menikah yang bekerja malah terlihat sangat aktif dan kerap menjadi inspirator dalam kegiatan lokal kampung. Ada Ibu Widyastuti (bukan nama sebenarnya), dosen ilmu pasti yang kerap didapuk sebagai MC dalam acara halal bil halal atau tabligh sebulan sekali. Ada juga Ibu Niar (bukan nama sebenarnya), karyawati BUMN yang selalu brilian menelurkan ide-ide acara, teristimewa dalam moment kemeriahan seperti idul fitri, idul adha, maulid Nabi SAW, atau peringatan kemerdekaan RI. Hubungan mereka dengan anak dan suamipun terlihat hangat dan akrab.



Dari pengamatan terbatas itu penulis berkesimpulan : pilihan profesi dan cara wanita menekuni profesinya sama-sama memengaruhi keseimbangan peran wanita dalam keluarga dan lingkungan tempat tinggal. Bila profesi yang dipilih tidak menganjurkan pada pelanggaran etos mereka sebagai wanita (ibu dan istri), tentu tak masalah jika mereka aktif berkarier. Waktu mereka masih bisa diluangkan untuk mengurus anak-suami, dan fitrah merekapun tetap terpelihara walaupun mesti berbaur dengan sejawat kerja, jika mereka tepat memilih profesi dan tepat memilih sikap dalam menggeluti profesinya. Lalu, bagaimana cara mereka memelihara marwah dan fitrah diri ketika bekerja ? Untuk ini, penulis punya beberapa kiat bagi para ibu-ibu atau istri-istri karier. Yaitu :


1. Pilihlah karier yang tidak mendekati mudharat, tidak membuat diri tergadai kesuciannya. Artinya karier yang memungkinkan untuk tidak ber- khalwat dengan rekan kerja pria, tidak berpakaian kecuali mengindahkan syari'at Islam, tidak harus pulang larut malam atau dinihari, serta tak sering berdomisili diluar kota, jauh dari suami dan anak-anaknya.

2. Tentukan alokasi waktu untuk menjalin hubungan baik dengan suami- anak, serta punya jadwal rutin silaturrahim dengan orangtua, mertua, maupun tetangga dekat.

3. Selalu mendahulukan kepentingan suami dan anak daripada prioritas-prioritas lainnya.

4. Tak terlalu ambisius dalam karier, tapi juga tidak menahan atau mengabaikan potensi diri yang dimiliki.


Mudah-mudahan kiat tersebut dapat membantu. Dan perlu dicamkan oleh para ibu dan istri-istri sekalian, bahwa Islam tak melarang seorang akhwat untuk bekerja dan berkontribusi penuh terhadap pekerjaannya. Dari anjuran menutup aurat dengan mengenakan jilbab yang buni-pun terbetik isyarat, bahwa Islam memang mendukung wanita untuk keluar rumah jika maksud dan tujuannya mulia. Disamping itu, suamipun perlu menghargai keinginan Istri untuk berkarier di jalur yang halal dan berkah. Ini penting. Mengingat jika suami meninggal lebih dahulu, istri dan anak-anaknya tak perlu berpikir berat untuk menanggung penghidupan sehari-hari. Sepeninggal ayahnya, toh sang Ibu masih bisa diandalkan untuk membiayai kehidupan keluarga. Nah, disitulah sebenarnya letak peran strategis seorang ibu atau istri yang berkarier, pada masa sekarang ini. Peran strategis yang menuntut pengakuan dan dukungan penuh dari suami beserta anak-anaknya. Bukan suatu yang berlebihan, jika penulis menganggap peran tersebut sebagai pokok, dalam dinamika jaman yang sangat mementingkan segi kekuatas ekonomis.

*Penulis adalah tim redaksi cyberMQ

Ta'aruf Bukan Pacaran Islami !

Dalam acara bimbingan pra-nikah yang penulis liput pada hari Sabtu lalu (27 Agustus 2005), Ustadz H. Darlis Fajar mengungkap banyak realita memprihatinkan, seputar relasi ikhwan-akhwat akhir-akhir ini.

Salah satu realita mencemaskan itu adalah pergeseran makna ta' aruf dari perkenalan biasa menjadi pacaran. Ustadz Darlis bahkan sempat juga mendapati, kasus tiga orang akhwat di-khitbah oleh ikhwan yang sama, dalam saat bersamaan. Playboy ? Bisa jadi. Cuma kostumnya saja berbeda. Dari kejadian itu kita bisa melihat, betapa aturan Islam yang indah dicerabuti sekedar simbolnya saja. Dikaburkan maknanya yang luhur, sehingga ide yang tak murni Islam sebab terkontaminasi itu malah populer sebagai 'cara Islam' dimata masyarakat. Inilah dampak buruk proses komodifikasi. Buah character assasination yang sangat pengecut, jika saja para pelakunya mau merenungkan dampak perbuatan tersebut.

Melalui ta'aruf-ta'aruf-an, sebagaimana paparan diatas, “hubungan tanpa status” kembali menyaru. Dalam topeng baru yang lebih canggih, lebih halus, bak srigala berbulu domba. Pelaku malah merasa aman berlindung di balik topeng kesalehannya. Ia merasa aman dari tanggapan manusia, dan na'udzubillah, gelagatnya merasa aman juga dari pengamatan Allah 'azza wa jalla.

Selain pelecehan terhadap makna ta'aruf dan kelakuan playboy yang sungguh tak terhormat itu, ada juga laki-laki yang meng-khitbah dengan janji akan menikahi empat tahun kemudian. Jangankan empat tahun, setahun atau dua tahun, beberapa bulan tanpa kepastian saja hubungan tersebut bisa dikategorikan 'cacat.' Artinya masih bisa terjadi khalwat, yang ujung-ujungnya bisa-bisa menimbulkan tak cuma zina hati, bahkan zina fisikpun memungkinkan. Kita perlu menekuri peringatan : jika ada dua orang lain jenis bukan mahram berkumpul, yang ketiganya pasti adalah setan. Yang akan membujuk dan menipu sekuat kemampuan, sehingga rusak jalinan hubungan yang lazimnya harus diikat dengan tali kesucian. Itulah sebabnya, sampai-sampai Allah memperingatkan kita dalam firman-Nya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sesuatu jalan yang buruk." (Q.S. Al Isra [17] : 32)

Kaum perempuan, setiap muslimah yang telah akil baligh dan berkeinginan menikah, sebaiknya betul-betul menimbang dulu calon yang hendak menikahi. Jangan lekas jatuh hati oleh niat khitbah yang diajukan seseorang. Karena belum tentu, lelaki yang menggunakan bahasa khitbah itu seorang yang ihsan sekaligus tekun menjalankan perintah agama. Seorang pembohong kan bisa saja kalau cuma mengatakan “ Saya meng-khitbah kamu.” Jadi, selidiki dulu karakter orang dan latar belakang orang yang hendak mempersunting diri. Jangan ukhti-ukhti cepat terpikat.

Muslimahpun hendaknya bisa mengenali resiko ketika dia mengikatkan diri dalam tali khitbah. Perlu diketahui bahwa ketika seorang pria meng-khitbah dan ukhti menerimanya, itu berarti ukhti sudah mengikatkan diri. Ukhti harus memahami betul, apakah sang peng-khitbah memang ingin mengukuhkan separuh agamanya, atau hanya sekadar menancapkan kuku dominasi terhadap diri ukhti. Ingat, dominasi itu karakter pria yang genetis. Dia cenderung ingin mengklaim sesuatu sebagai miliknya, dan mesti diakui walau terkadang tanpa melalui prosedur benar. Fakta-fakta diatas menegaskan hal tersebut. Ada seorang ikhwan ingin "memiliki" dan diakui hak miliknya, tapi dia sendiri tidak mau terikat penuh. Janjinya hanya sebatas "pengaman" bagi hak dia, tanpa memikirkan hak perempuan atau lelaki lain yang punya niatan baik. Jika ia ingin pindah ke lain hati, ya tinggal pindah saja, tanpa merasa berat. “Jangan nyimpen telor ayam di satu keranjang. Kalau pecah satu masih ada yang lain.” Itu kira-kira motto Playboy dikala memilih jodoh. Berhati-hatilah, ukhti !

***

Islam telah mengatur agar ketertipuan seperti paparan diatas tak perlu sampai terjadi. Ada koridor yang mengatur batas ta'aruf yang diperbolehkan. Ambil saja makna katanya yang secara etimologis berarti : berkenalan. Betul-betul perkenalan biasa. Tak ada embel-embel apapun, dan bukan ajang 'pacaran Islami' sebagaimana sering digembar-gemborkan. Pada prinsipnya, memang boleh-boleh saja berkenalan dan berteman dengan siapapun. Islam tidak mengekang niatan itu. Tapi kalau ingin hubungan lebih serius, jalurnya hanya pernikahan dan gerbangnya hanyalah peng-khitbah-an.

Lalu, bagaimana sih prosedur khitbah itu?

Sederhananya pengkhitbahan diawali dengan silaturahmi antar dua keluarga, bertemu dan meminta restu orangtua serta kesediaan akhwat yang diminati. Jika sudah bersedia, tentu ada rentang waktu antara khitbah dengan nikah. Bisa sehari sampai beberapa bulan, dan tentu saja, disarankan untuk tidak terlalu lama. Pada masa persiapan itu, barulah ikhwan-akhwat yang terikat khitbah dituntut untuk saling menjaga. Ikhwan tak boleh melamar wanita lain, akhwat tak boleh menerima pinangan dari siapapun. Jadi tak sembarangan! Kedua belah pihak dalam aturan Islam diakomodir secara baik. Lelaki bisa mengklaim sang wanita sebagai bakal milik, dan pihak wanitapun tak perlu berdiri sebagai pihak yang sengaja “diambangkan.” Wallahu a'lam bish shawab.



*Penulis adalah tim redaksi cyberMQ

Sunday, September 04, 2005

Jalan Islam Ratu Bulutangkis

Atas bimbingan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Selatan, Verawaty Wiharjo, ratu bulutangkis Indonesia diakhir 70-an, mengucapkan ikrar 2 kalimat syahadat. “Bismillaahirrahmaanirrahiim, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saya Verawaty Wiharjo, lahir tanggal 1 Oktober 1957 dengan ini menyatakan memeluk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat : asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah.” Haji Goesti Abdul Moeis, Ketua MUI Kalsel, memimpin dan memberikan taushiyah dalam acara yang khusyuk serta khidmat tersebut. Mulai April 1979 itu, Verawaty Wiharjo yang kemudian dikenal sebagai Verawaty Fajrin, telah menjadi seorang muslimah.

Pada tahun 1981, kala usianya mencapai 24 tahun, Verawaty menunaikan ibadah haji bersama sang suami, Fajrin Biduin Aham. Dalam acara Walimatusy Syafar yang digagas oleh Yayasan Ukhuwwah Islamiyyah, pimpinan Haji Junus Jahja, ratu bulutangkis itu mengutarakan alasan mengapa ia tak bisa ikut Non-Olympiade Games, Santa Clara, yang bertepatan dengan bulan ramadhan tahun itu.”Saya ingin menjadi muslimah yang baik dengan ber-shaum penuh di bulan ramadhan.”paparnya saat itu.”Lihat keringat saya. Seperti baru latihan saja.” ucapnya sambil membasuh peluh selesai pidato. Maklum, menurut keterangannya, baru pada kali itu didapuk untuk berpidato. Dalam kesempatan tersebut, Vera- demikian panggilannya- meminta doa dari seluruh hadirin, agar bisa memenangkan kejuaraan antar master di London, yang akan diikutinya sebelum berhaji.

Tanggal 20 Oktober 1981, Vera dan suami tiba kembali di tanah air, dengan menyandang gelar Hajjah. Keluarga dekat dan keluarga besar muslim Tionghoa Jakarta menyambut kedatangannya. Haji Junus Jahja bahkan sempat berkata : “Atas kepulangan Masagung dan Verawaty beserta suami, bertambah lagi jumlah anggota keluarga besar muslim Tionghoa Jakarta, yang telah menunaikan ibadah haji.” Menurut perkiraannya, warga keturunan Tionghoa Jakarta yang telah berhaji pada saat itu, kisarannya kurang-lebih sebanyak 30 orang.

Keinginan tertinggi umat Islam saat hidup di dunia adalah menunaikan ibadah haji. Bisa ber-thawaf, melakukan sa'i, menatap baitullah, bershalat dan berdoa di tempat-tempat yang makbul. Pasti tersirat juga sebersit keinginan untuk mencium hajar aswad. Dan saat cita-cita itu tercapai, maka alangkah luar biasanya kebahagiaan yang meresap ke dalam dada. Karena rasa bahagia itu pula, sepulang dari berhaji, Hj. Verawaty mengadakan acara malam tasyakuran di aula MUI Masjid Istiqlal, Jakarta. Rasa syukur dan kebahagiaan begitu besar. Sehingga sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dalam kesempatan itu Hj. Verawaty mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Ukhuwwah Islamiyyah, MUI, Departemen Agama (Depag), serta kaum handai taulan yang telah ikhlas membantu. Pada akhir sambutan ia bertekad untuk terus berupaya mengharumkan nama bangsa melalui cabang olahraga bulutangkis.

Saat ramah tamah, kepada wartawan Tempo, Hj. Verawaty menceritakan betapa seriusnya ia mempelajari manasik haji disela-sela kejuaraan antar master di London. Sebab keasyikan menghafal tata cara ibadah haji, nyaris tak pernah ia tidur tepat waktu. Padahal keesokan harinya ia mesti bertanding. Walhasil, entah karena kurang tidur atau memang lawan sedang berada diatas angin, ia akhirnya tumbang ditangan Lenne Koppen (Denmark). Namun begitu, buah ketekunannya adalah kemampuan berbahasa Arab dan shalat yang lebih khusyuk, sebagaimana pemaparan sang suami. Oleh karenanya tak mengherankan jika Hj. Verawaty bisa begitu khidmat melalui ibadah demi ibadah di tanah suci.

Mengingat reputasi Verawaty Fajrin sebagai ratu bulutangkis Indonesia ketika itu, maka jalan Islam yang ditempuhnya menarik perhatian banyak orang, terutama etnis Tionghoa. Muslimah non-Tionghoa menjadi tergugah untuk meningkatkan kualitas ibadah, berkat teladan yang dicontohkan oleh Hj. Verawaty Fajrin. Tak pelak, Juara Dunia Tunggal Putri tahun 1980 dan Juara Ganda Putri All England 1979 ini, tak hanya didapuk sebagai duta olahraga saja. Secara tak langsung ia ditahbiskan pula sebagai pembawa pesan Islam bagi banyak kalangan di Indonesia. Karena itulah, Ketua Bidang Luar Negeri & Organisasi PBSI, P.Soemarsono, menghimbau Verawaty Fajrin dan Yayasan Ukhuwwah Islamiyyah untuk ikut mengampanyekan olahraga bulutangkis. Ke lingkup madrasah, pesantren maupun majelis ta'lim. Dengan demikian bulutangkis dapat menjadi pilihan sehat bagi kalangan muslimin dan muslimah. Atau mungkin saja dunia pendidikan Islam bisa mencetak atlet-atlet tangguh, khususnya atlet bulutangkis.

Betapa berartinya kiprah sang ratu bulutangkis Verawaty Fajrin, diungkapkan pula oleh Ketua MUI saat itu, KH. Hasan Basri. Dengan prestasi tingginya dalam dunia olahraga, ikrarnya sebagai muslimah, bahkan sudah menyandang predikat hajjah pula, Verawaty otomatis menjadi aset dakwah bagi dien Islam yang mulia (Harian Indonesia, 22-11-1981). Keislaman Verawaty Fajrin adalah sebuah peristiwa penting dan besar. Sama besarnya dengan peristiwa keislaman Muhammad Ali, saat namanya tengah berkibar sebagai juara dunia kelas berat.



*Penulis adalah Redaktur Pelaksana cyberMQ

Wanita Yang Teguh 'Menggenggam' Tauhid

Alkisah di negeri Mesir, Fir’aun terakhir yang terkenal dengan keganasannya bertahta. Setelah kematian sang isteri, Fir'aun kejam itu hidup sendiri tanpa pendamping. Sampai cerita tentang seorang gadis jelita dari keturunan keluarga Imran bernama Siti Aisyah sampai ke telinganya.

Fir'aun lalu mengutus seorang Menteri bernama Haman untuk meminang Siti Aisyah. Orangtua Aisyah bertanya kepada Siti Aisyah :

“Sudikah anakda menikahi Fir'aun ?”

“Bagaimana saya sudi menikahi Fir'aun. Sedangkan dia terkenal sebagai raja yang ingkar kepada Allah ?”

Haman kembali pada Fir'aun. Alangkah marahnya Fir'aun mendengar kabar penolakan Siti Aisyah.

“Haman, berani betul Imran menolak permintaan raja. Seret mereka kemari. Biar aku sendiri yang menghukumnya !”

Fir'aun mengutus tentaranya untuk menangkap orangtua Siti Aisyah. Setelah disiksa begitu keji, keduanya lantas dijebloskan ke dalam penjara. Menyusul kemudian, Siti Aisyah digiring ke Istana. Fir'aun kemudian membawa Siti Aisyah ke penjara tempat kedua orangtuanya dikurung. Kemudian, dihadapan orangtuanya yang nyaris tak berdaya, Fir’aun berkata:"He, Aisyah. Jika engkau seorang anak yang baik, tentulah engkau sayang terhadap kedua orangtuamu. Oleh kerana itu, engkau boleh memilih satu diantara dua pilihan yang kuajukan. Kalau kau menerima lamaranku, berarti engkau akan hidup senang, dan pasti kubebaskan kedua orangtuamu dari penjara laknat ini. Sebaliknya, jika engkau menolak lamaranku, maka aku akan memerintahkan para algojo agar membakar hidup-hidup kedua orangtuamu itu, tepat dihadapanmu."

Karena ancaman itu, Siti Aisyah terpaksa menerima pinangan Fir’aun. Dengan mengajukan beberapa syarat :

Fir’aun harus membebaskan orangtuanya.

Fir'aun harus membuatkan rumah untuk ayah dan ibunya, yang indah lagi lengkap perabotannya.

Fir'aun harus menjamin kesehatan, makan, minum kedua orangtuanya.

Siti Aisyah bersedia menjadi isteri Fir’aun. Hadir dalam acara-acara tertentu, tapi tak bersedia tidur bersama Fir’aun.

Sekiranya permintaan-permintaan tersebut tidak disetujui, Siti Aisyah rela mati dibunuh bersama ibu dan bapaknya.

Akhirnya Fir’aun menyetujui syarat-syarat yang diajukan Siti Aisyah. Fir'aun lalu memerintahkan agar rantai belenggu yang ada di kaki dan tangan orangtua Siti Aisyah dibuka. Singkat cerita, Siti Aisyah tinggal dalam kemewahan Istana bersama-sama Fir’aun. Namun ia tetap tak mau berbuat ingkar terhadap perintah agama, dengan tetap melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.

Pada malam hari Siti Aisyah selalu mengerjakan shalat dan memohon pertolongan Allah SWT. Ia senantiasa berdoa agar kehormatannya tidak disentuh oleh orang kafir, meskipun suaminya sendiri, Fir’aun. Untuk menjaga kehormatan Siti Aisyah, Allah SWT telah menciptakan iblis yang menyaru sebagai Siti Aisyah. Dialah iblis yang setiap malam tidur dan bergaul dengan Fir’aun.

Fir’aun mempunyai seorang pegawai yang amat dipercaya bernama Hazaqil. Hazaqil amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Beliau adalah suami Siti Masyitoh, yang bekerja sebagai juru hias istana, yang juga amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Namun demikian, dengan suatu upaya yang hati-hati, mereka berhasil merahasiakan ketaatan mereka terhadap Allah. Dari pengamatan Fir'aun yang kafir.

Suatu kali, terjadi perdebatan hebat antara Fir’aun dengan Hazaqil, disaat Fir’aun menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang ahli sihir, yang menyatakan keimanannya atas ajaran Nabi Musa a.s. Hazaqil menentang keras hukuman tersebut.

Mendengar penentangan Hazaqil, Fir’aun menjadi marah. Fir’aun jadi bisa mengetahui siapa sebenarnya Hazaqil. Fir'aun lalu menjatuhkan hukuman mati kepada Hazaqil. Hazaqil menerimanya dengan tabah, tanpa merasa gentar sebab yakin dirinya benar.

Hazaqil menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tangan terikat pada pohon kurma, dengan tubuh penuh ditembusi anak panah. Sang istri, Masyitoh, teramat sedih atas kematian suami yang amat disayanginya itu. Ia senantiasa dirundung kesedihan setelah itu, dan tiada lagi tempat mengadu kecuali kepada anak-anaknya yang masih kecil.

Suatu hari, Masyitoh mengadukan nasibnya kepada Siti Aisyah. Diakhir pembicaraan mereka, Siti Aisyah menceritakan keadaan dirinya yang sebenarnya, bahwa iapun menyembunyikan ketaatannya dari Fir'aun. Barulah keduanya menyadari, bahwa mereka sama-sama beriman kepada Allah SWT dan Nabi Musa a.s.

***

Pada suatu hari, ketika Masyitoh sedang menyisir rambut puteri Fir’aun, tanpa sengaja sisirnya terjatuh ke lantai. Tak sengaja pula, saat memungutnya Masyitoh berkata : "Dengan nama Allah binasalah Fir’aun."

Mendengarkan ucapan Masyitoh, Puteri Fir’aun merasa tersinggung lalu mengancam akan melaporkan kepada ayahandanya. Tak sedikitpun Masyitoh merasa gentar mendengar hardikan puteri. Sehingga akhirnya, ia dipanggil juga oleh Fir’aun.

Saat Masyitoh menghadap Fir’aun, pertanyaan pertama yang diajukan kepadanya adalah : “Apa betul kau telah mengucapkan kata-kata penghinaan terhadapku, sebagaimana penuturan anakku. Dan siapakah Tuhan yang engkau sembah selama ini ?”

"Betul, Baginda Raja yang lalim. Dan Tiada Tuhan selain Allah yang sesungguhnya menguasai segala alam dan isinya."jawab Masyitoh dengan berani.

Mendengar jawaban Masyitoh, Fir’aun menjadi teramat marah, sehingga memerintahkan pengawalnya untuk memanaskan minyak sekuali besar. Dan saat minyak itu mendidih, pengawal kerajaan memanggil orang ramai untuk menyaksikan hukuman yang telah dijatuhkan pada Masyitah. Sekali lagi Masyito dipanggil dan dipersilahkan untuk memilih : jika ingin selamat bersama kedua anaknya, Masyitoh harus mengingkari Allah. Masyitah harus mengaku bahwa Fir’aun adalah Tuhan yang patut disembah. Jika Masyitoh tetap tak mau mengakui Fir’aun sebagai Tuhannya, Masyitoh akan dimasukkan ke dalam kuali, lengkap bersama kedua anak-anaknya.

Masyitoh tetap pada pendiriannya untuk beriman kepada Allah SWT. Masyitah kemudian membawa kedua anaknya menuju ke atas kuali tersebut. Ia sempat ragu ketika memandang anaknya yang berada dalam pelukan, tengah asyik menyusu. Karena takdir Tuhan, anak yang masih kecil itu dapat berkata, “Jangan takut dan sangsi, wahai Ibuku. Karena kematian kita akan mendapat ganjaran dari Allah SWT. Dan pintu surga akan terbuka menanti kedatangan kita.”

Masyitoh dan anak-anaknyapun terjun ke dalam kuali berisikan minyak mendidih itu. Tanpa tangis, tanpa takut dan tak keluar jeritan dari mulutnya. Saat itupun terjadi keanehan. Tiba-tiba, tercium wangi semerbak harum dari kuali berisi minyak mendidih itu.

Siti Aisyah yang menyaksikan kejadian itu, melaknat Fir’aun dengan kata-kata yang pedas. Iapun menyatakan tak sudi lagi diperisteri oleh Fir’aun, dan lebih memilih keadaan mati seperti Masyitoh.

Mendengar ucapan Isterinya, Fir’aun menjadi marah dan menganggap bahwa Siti Aisyah telah gila. Fir’aun kemudian telah menyiksa Siti Aisyah, tak memberikan makan dan minum, sehingga Siti Aisyah meninggal dunia.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Siti Aisyah sempat berdoa kepada Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya :

“Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata : “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi_mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (Q.S. At-Tahrim [66] : 11)

Demikian kisah Siti Aisyah dan Masyitoh. Semoga muslimah sekalian bisa mengambil hikmah dan mengikuti jejak keduanya, meninggal dalam keadaan teguh menggenggam “Tauhid.”



*Penulis adalah peminat sejarah. Tinggal di Bandung.